Masa Depan “Manusia Indonesia”-nya Mochtar Lubis

100 Tahun Kebangkitan Nasional


St Sularto
cetak.kompas.com

Seabad kebangkitan nasional ditandai gejala keterpurukan bangsa dan negara Indonesia. Indonesia tidak sendirian. Negara-negara tetangga juga demikian. Krisis pangan tidak hanya dialami Indonesia, tetapi juga dunia.

Kondisi krisis global yang berpengaruh besar untuk Indonesia tidak bisa dijadikan kambing hitam. Globalisasi dan neoliberalisme juga tidak. Kondisi sakit akut parah disebabkan antara lain oleh demokratisasi pascareformasi yang telanjur diartikan serba boleh dan saling berebut menang.

Ada yang memanfaatkan situasi keterpurukan untuk membesar-besarkan ketidakmampuan pemerintahan incumbent. Apa yang berkembang membenarkan petuah Niccolo Machiavelli, penasihat Dinasti Medici dari Firenze pada abad ke-16.

Dalam konteks Indonesia saat ini, nasihat Machiavelli itu memecah perhatian pemerintah. Di satu sisi mendahulukan kesejahteraan / kebaikan umum, di sisi lain mempertahankan kekuasaan.

Makna sosial kekuasaan dipertentangkan dengan makna rakus kekuasaan. Dalam kondisi demikian dibutuhkan pemimpin yang bersosok kepemimpinan kuat, dalam istilah Machiavellian yang berani menggunakan ”kekerasan”. Tantangan yang dihadapi pemerintahan pascareformasi—SBY-JK—sangatlah berat.

Faktor manusia menjadi ujung tombak mencegah keterpurukan bangsa-negara. Sumber daya manusia adalah kunci sehingga perlu dipersiapkan secara terstruktur dan terencana strategis. Repotnya pengembangan kompetensi dan karakter manusia Indonesia kurang mendapat perhatian serius, tidak hanya tecermin dalam penganggaran, tetapi juga dalam pengembangan praksis pendidikan.

Pengenalan manusia Indonesia justru dengan menonjolkan sisi-sisi negatifnya amat relevan, kontributif, dan produktif untuk membangun manusia Indonesia yang postmo (JB Mangunwijaya), yang well informed (Soedjatmoko), yang mandiri dan tahu batas kemampuan diri (Slamet Iman Santoso), yang tidak gagap teknologi (BJ Habibie).

Mengenali sisi-sisi negatif mengacu uraian ”manusia Indonesia”-nya Mochtar Lubis dan ”mental menerabas”-nya Koentjaraningrat. Disampaikan lisan tahun 1977, dibukukan dengan judul Manusia Indonesia, diterbitkan pertama tahun 2001 oleh Yayasan Obor Indonesia, uraian Mochtar Lubis bergaung lama dan luas. Menempatkan masalah dalam sekat hitam dan putih, budayawan-wartawan itu menyebut enam ciri manusia Indonesia. Meliputi hipokrit alias munafik (1), enggan bertanggung jawab atas perbuatan dan keputusannya (2), berjiwa feodal (3), percaya takhayul (4), artistik (5), dan berwatak lemah (6). Untuk ciri-ciri lainnya, Mochtar Lubis mendaftar ciri-ciri yang buruk.

Ketika tahun 1982 Mochtar Lubis diminta merefleksikan kembali ”manusia Indonesia”, dengan tegas ia mengatakan tidak ada perubahan. Makin parah. Andaikan permintaan itu disampaikan kembali, di saat Mochtar Lubis sudah tiada (meninggal 2 Juli 2004), niscaya ia menangis di alam baka.

Mansyur Semma lewat buku Negara dan Korupsi (Yayasan Obor Indonesia, 2008) mengutip pendapat Samuel P Huntington tentang kondisi masyarakat yang mempersubur korupsi. Korupsi cenderung meningkat dalam periode pertumbuhan dan demokratisasi yang cepat karena perubahan nilai dan sumber-sumber baru kekayaan dan kekuasaan.

Bisa diubah

Manusia Indonesia masa depan perlu dipahami bukan sebagai ”sudah begitu, mau apalagi”, tetapi bisa diubah, semacam strategi kebudayaan. Caranya, membuat perbandingan pengalaman negara lain sebagai bahan belajar. Perbandingan yang disampaikan Huntington dalam artikelnya ”Culture Count” di bunga rampai Culture Matters (New York, 2000) yang disuntingnya bersama Lawrence Harrison merangsang kita punya keyakinan. Sumber persoalan adalah nilai-nilai. Nilai-nilai itu dihidupi dan dikembangkan oleh manusia, yang adalah subyek atas perilaku dan tindakannya.

Huntington menggambarkan Ghana pada tahun 1960-an serba sama dengan Korea Selatan. Namun, 30 tahun kemudian, Korsel melampaui Ghana dalam segala hal. Mengapa? Pertanyaan ini dijawab Lawrence Harrison dalam artikel ”Promoting Progressive Culture Change” di buku yang sama. Akar masalahnya, Korsel menghidupi dan mengembangkan budaya progresif dengan 10 tipologi manusia, di antaranya berorientasi waktu, kerja keras, hemat, pendidikan, dan menghargai prestasi.

Kata kunci mengatasi keterpurukan Indonesia adalah culture matters, kata Jakob Oetama dalam pidato peluncuran Koentjaraningrat Memorial Lecture I, 15 Maret 2004. Tipologi manusia budaya statis—yang terjadi sehari-hari dengan rumusan Mochtar Lubis—perlu diubah menjadi tipologi manusia berbudaya progresif.

Pemahaman dan keprihatinan kondisi terpuruk menjadi pelecut gerakan sosial. Mengubah kondisi terpuruk dan potensial melapuk perlu diatasi bersama: pemerintah, masyarakat dengan perangkat lembaga swadaya masyarakatnya, dan dunia bisnis.

Dengan gerakan sosial, masa depan ”manusia Indonesia”-nya Mochtar Lubis bisa terlepas dari tipologi serba ”hitam dan buruk”. Kalau tidak, seumur-umur potret ”manusia Indonesia”-nya Mochtar Lubis akan lestari! Lewat gerakan sosial dibangun kepercayaan kembali, optimisme masa depan Indonesia. Tipologi ideal manusia Huntington dan Harrison semakin jauh! Ghana itu Indonesia, Korsel itu Vietnam!

Indonesia tentu tidak dicita-citakan para bapak bangsa pendiri negara ini terus melapuk. Indonesia, manusia Indonesia, jauhkan dari kondisi melapuk!

Kompas, Senin 21 Juli 2008.