Cunong Nunuk Suraja
Judul sajak yang sangat menyaran untuk mengundang dimaknai dari karya Kurniawan Yunianto yang juga dapat ditemukan pada laman hutansemarang.blogspot.com. Penyair yang mukim di Semarang dan bersembunyi dalam info kelahiran: Birthday:June 19, 1919 sungguh menjadi ketidak-sederhanaan ungkapan sajaknya.
Dalam bahasa teka-teki silang kalau sudah tidak ditemukan jawaban pengisi kotak-kotak kosong lalu menuliskan asal nyambung. Meminjam tulisan Seno Gumira Ajidarma dalam Kentut Kosmopolitan (2008) * [P]ada mulanya adalah teori bahasa. Namun ketika bahasa disepakati sebagai system tanda, ketandaan itu terdapat di mana-mana, yang berkemungkinan ditafsirkan dengan sebaliknya: bahwa di mana-mana tanda dapat dibahasakan pula.
Segala tanda membahasakan sesuatu, yang tentu saja masih harus dibaca. Segala tanda adalah teks – dan begitu juga Jakarta. Masalahnya, dan di sanalah menariknya, tidak ada kebenaran tunggal mengenai suatu tanda, bawa artinya akan menjadi apa.
Dalam teks terdapat konteks, tetapi juga setiap teks adalah interteks, yakni bahwa suatu teks selalu mengacu kepada teks lain, tergantung kepada konteksnya. keseluruhan konteks itu. tanpa sisa, meski akan selalu berkembang, kita sebut wacana. Maka, dengan sendirinya, wacana (Jakarta) mempunyai sejuta makna.
(5-6)
Walau menurur Seno dalam beberapa baris sebelumnya wacana itu bukan puisi gelap tahun 70-an yang boleh ditafsirkan semaunya. Sedang puisi KY: MTSL bukanlah semacam puisi gelap. Dalam Facebook (FB) selama ini jarang penyair menuliskan puisi gelap karena sifat FB yang terbuka dan merdeka. Bukan ajang pelatihan atau uji nyali asal beda. FB juga bukan semata keranjang sampah olah rasa dan pikiran tentang cinta dan kepedihan luka kehidupan yang terlarat, bahkan kalau ditilik secara detil penulis FB lebih berhati-hati kalau mau bermain explorasi makna bahasa maupun mengungkapan konstalasi bangunan pikiran dalam puisi eksperimen.
Puisi KY: MTSL menjadi menarik karena menolak makna sederhana seperti layaknya hidup yang dapat dipandang dalam konteks sederhana dan tak sederhana (rumit).
putih hitam siang malam
sudah semestinya jadi sepasang
saling menggenapi saling melengkapi
Puisi ini jadi mengungkapkan teka-teki manakala penggunaan huruf besar ditengah baris. Karena perbedaan dan kekhususannya menjadi penanda maupun petanda.
betapa katakata diperbudak pengakuan
hanya Tertulis di kertas di koran
haruskah Terbaca
sekedar pengumuman
Perhatikan kata [T]ertulis dan [T]erbaca dapat diacukan pada makna kata [T]uhan yang juga menurunkan Al Quran dan Al Kitab yang tidak dapat sekedar dimaknai sebagai pengumuman di kertas koran.
Bagaimana dengan sentuhan bunyi kesunyian dalam bait meski masing-masing sunyi/dalam riuh nafasnya sendirisendiri? Ungkapan ini mengingatkan semua penyair dari Amir Hamfah dan Hamsah Fansyuri melewati Chairil Anwar dan Sutarji CB tanpa menghilangkan jejak Rendra/Sapard Djoko Damono/ Goenawan Mohammad tak pernah senyap mengumandangkan sunyi dalam sajak-sajaknya. Hal ini tentunya hanya merupakan para frase atau semacam summary menuju ke refleksi penyair pada pembelajaran atas karya-karya penyair (papan atas atau lama atau terdahulu).
Tidak ada kesalahan yang sederhana dalam memaknai perjalanan jejak puisi Indonesia untuk diungkap ulang dalam beda bahasa dan media . Zaman menandai dan menyisihkan penyair pada wacananya. Penyairpun mengakui dalam bait sajaknya:
sementara kau aku masih sering lupa
mencantumkan alamat pada yang tersurat
yang tersirat belum juga mau lekat
Sebagai pembaca juga sering lupa membadingkan kucing dengan singa atau kadal dengan komodo tentu saja lain kalau itu cicak dan buaya karena yang satu pemakan seranggga yang satunya binatang buas pemakan segala. Demikian makna yang disederhanakan dari satu sajak MENJADI TAK SEDERHANA LAGI.
Senopun berujar menutup esainya tentang “Jakarta sebagai Teks”: Betapapun, wacana dominan sangat dapat dilawan, karena hegemoni hanya dapat bertahan dalam negosiasi terhadap perlawanan itu, terutama di Jakarta, tempat segala perubahan lebih dimungkinkan. Jakarta adalah teks tempat kita bertarung untuk memperjuangkan pembermaknaan kita.
***
MENJADI TAK SEDERHANA LAGI
by Kurniawan Yunianto on Sunday, November 28, 2010 at 5:00am
putih hitam siang malam
sudah semestinya jadi sepasang
saling menggenapi saling melengkapi
meski masingmasing sunyi
dalam riuh nafasnya sendirisendiri
sementara kau aku masih sering lupa
mencantumkan alamat pada yang tersurat
yang tersirat belum juga mau lekat
betapa katakata diperbudak pengakuan
hanya Tertulis di kertas di koran
haruskah Terbaca
sekedar pengumuman
28.11.2010
* Seno Gumira Ajidarma. 2008. Kentut Kosmopolitan. Depok: Penerbit Kekoesan.
***