Sastra “Kebacut”

Beni Setia
cetak.kompas.com

Pada 29 September itu saya seharusnya hadir di forum Temu Sastra Jatim-meski yang bertemu itu ya sastrawan bukan sastra. Lepas tengah malam ada sepak bola dan istri saya sedang ikut forum peningkatan guru kesenian di Surabaya.

Jadi, ketika terjaga oleh ribut anak-anak membuat sarapan sebelum sekolah, saya tak bisa gegas mencegat bus karena sudah terlambat, meski jarak dari Purbaya ke Menanggal cuma seloncatan.

Makalah Fahrudin Nasrullah bisa diakses di internet, lainnya hanya berita koran dan tulisan Lan Fang. Satu laporan rinci serta kritis, meski saya bimbang ketika membaca penutup artikel. Ia mengutip tulisan lain di Kompas dan kesannya jadi aneh.

Saya pikir Surat As Syu’ara hadir tak dalam konstatasi harus berhati-hati kepada sastra atau sastrawan. Tak persis seperti itu, tapi Allah SWT justru memperingatkan penyair agar tak liar mengumbar imajinasi dan kefasihan berbahasa, dan membuat kitab suci tandingan karena beranggapan Al Qur’an karya puisi yang kaya imajinasi dan diksi.

Ada aspek pemalsuan firman Allah dan apa azab bagi yang berlagak nabi palsu, yang bikin kitab palsu dengan perangkat imajinasi dan kelihaian diksi penyair. Aneh sekali kesimpulan Lan Fang karena Allah sedang memperingatkan para penyair, agar jangan sesekali menyair menyaingi-Nya, bukan berteriak agar semua orang berhati-hati pada sastra dan sastrawan. Apa hebatnya sastra dan sastrawan?

Pada Kamis (14/10), seorang teman mengirim kabar dari Bandung. Ia baru saja usai membuat kata pengantar untuk sekumpulan cerpen (terjemahan) Rusia, yang khusus bertema tentang cinta, yang diterjemahkan dengan bagus oleh seorang dosen muda di Sastra Rusia Unpad.

Ia bilang, Fasa Unpad akan serentak menerbitkan tujuh buku fiksi, selain antologi cerpen Perancis dan buku puisi. Ini gejala aneh karena biasanya penerbitan PT selalu memilih menerbitkan buku teks dan kajian ilmiah.

Ia juga bercerita tentang peluncuran kumpulan puisi Putri Sarinande (PS) yang diberi nama Nyanyian Putri. Ia mengeluh tentang kualitas puisi PS sekaligus heran dengan ketegaran PS yang bilang, ”Saya menulis secara bebas dan jujur.” Kenapa PS begitu tegar? Apakah itu ada hubungannya dengan fakta ia menulis via blog, dan puas ketika semua puisi yang ditulisnya bisa diunggah ke blog, lalu dibaca oleh sembarang orang yang mampir ke blognya.

Sebuah penekanan bila menulis itu (hanya) ekspresi sementara kebebasan berekspresi dijamin oleh negara cq UU sebagai hak asasi. Tapi apakah menulis bermakna bersastra, lebih persisnya berkesusastraan?

Ini persoalan pokoknya: yang namanya kesusastraan itu pujian yang timbul akibat ada pihak yang mengapresiasi karya sastra yang dipublikasikan seseorang. Siapa saja bisa menulis puisi, bahkan mencatatkan dirinya sebagai si penulis karya sastra paling banyak di catatan Muri, tapi kualitas sastra–yang menyebabkan si kreatornya disebut sastrawan–hadir setelah karya itu diapresiasi dan dievaluasi.

Tidak dianggap spam di komputer redaktur koran, tapi dipertimbangkan dan diteruskan ke bagian pracetak. Setelah tampil di media cetak, apa cukup berharga untuk dibaca atau sama sekali pantas dilupakan.

Ini yang terkadang dilupakan banyak pihak, orang yang merasa telah menulis sangat banyak tapi tidak kunjung diberi kesempatan tampil di media massa. Lantas marah dan membuat buku sendiri, mengedarkannya sendiri, sambil membacanya sendiri. Sebuah semangat yang mengherankan dan telah membuat Taufik Ismail terkaget-kaget.

Itu mengingatkannya pada pengalaman menulis, ketika puisi pertamanya langsung terbit di koran kepunyaan ayahnya, dan banyak karya yang dikirimkan berulang-ulang pada HB Jassin tak kunjung muncul. Sesuatu yang menunjukkan, HB Jassin memang bukan ayahnya Taufik Ismail.

Ini probelama sastra–di Jatim, di Jabar dan Indonesia–, ketika sastrawan terlalu percaya pada ekspresi individual yang ada dijamin UU sebagai manifestasi kebebasan berekspresi, lantas menulis serta suntuk menulis tanpa melakukan swa-resepsi dengan mengapresiasi karya yang telah ditulis itu.

Melupakan pendekatan disiplin manajemen pemasaran dalam berkarya sehingga sastrawan jadi orang yang bangkrut sebab terlalu getol berproduksi tanpa kontrol takaran dan ukuran respons apresiasi ekstrinsik. Secara lebih sekuler di luar konteks Surat As Syu’ara: level pol ”kemaruk ekspresi” dan ”gila imajinasi” yang menghasilkan sastra kebacut itu yang diperingatkan Allah SWT. Jadi, kalau ber-Tuhan dan bukan si palbegu, berhati-hatilah berkesusastraan.
***

*) Beni Setia, lahir di Bandung 1 Januari 1954. Tahun 1974 lulus SPMA di Bandung dan sejak itu belajar sastra secara otodidak. Ia menulis dalam bahasa Sunda dan terutama dalam bahasa Indonesia, tersebar di berbagai media cetak terbitan Jakarta, Bandung, Surabaya, Jogjakarta. Buku antologi puisinya: Legiun Asing (1983), Dinamika Gerak (1987), Harendong (1993). Kini ia tinggal bersama keluarganya di Madiun, dan tulisan-tulisannya, terutama cerpen dan kolomnya, terus mengalir. Beberapa esainya dimasukkan ke dalam Inul (Bentang, 2003). Beni memilih menulis sebagai profesi tunggalnya.