“Dari Dolly Surabaya, Madura, hingga Air Mata”:

Hibriditas Dunia Sosial dan Individual dalam Antologi Puisi Salam Mempelai Karya Tengsoe Tjahjono

Yusri Fajar
__Pelangi Sastra Malang

Sebelum saya mulai ‘membaca’ antologi puisi Tengsoe Tjahjono Salam Mempelai(2010), saya ingin bercerita sedikit tentang perkenalan saya dengan penyair yang juga dosen Universitas Negeri Surabaya ini. Saya pertama kali bertemu Tengsoe pada acara bedah novellet Bukan Pinang di Belah Dua karya Ratna Indraswari Ibrahim di Jalan Diponegoro Malang sekitar tujuh tahun yang lalu. Waktu itu Tengsoe sebagai pembedah. Setelah itu saya bertemu lagi dengan Tengsoe pada musyarawah seniman yang dilaksanakan Dewan Kesenian Malang sekitar enam tahun yang lalu. Hingga suatu hari saya berkunjung ke rumah Tengsoe untuk mengantar surat permohonan mengajar mata kuliah “Manusia dan Kesenian Indonesia” di Program Bahasa dan Sastra Universitas Brawijaya. Saya dan Tengsoe akhirnya cukup sering bertemu di kampus Unibraw. Namun mulai awal 2008 saya tidak pernah lagi bertemu langsung dengan Tengsoe karena saya harus melanjutkan studi. Pada masa ini saya hanya beberapa kali berkomunikasi melalui facebook. Hingga suatu malam di bulan Januari 2011, setelah kurang lebih tiga setengah bulan saya kembali dari studi di Jerman, Denny Misharuddin memberikan buku antologi terbaru Tengsoe di kafe Cethe jalan Soekarno Hatta Malang dan meminta saya membedahnya. Saya sebenarnya ragu dan berpikir: pembacaan dari sudut pandang apa yang bisa saya tawarkan pada puisi-puisi penyair sekaliber Tengsoe?

Antologi “Salam Mempelai” karya Tengsoe Tjahjono

Pertama kali membaca puisi Salam Mempelai, saya merasa dibawa ke dalam ‘labirin’ puisi romantik dengan narator aku lirik. Puisi yang berisi ungkapan emosi dan perasaan personal serta deskripsi alam semacam ini diwarnai penanda-penanda figuratif. Blasing menyatakan bahwa kode-kode bahasa puitik (poetic language) sangat mempengaruhi konstruksi puisi lirik (2007). Oleh karena itu, pembaca puisi lirik seringkali dihadapkan pada ambiguitas makna. Kata ‘mempelai’ misalnya, secara literal, bisa berarti dua insan penuh cinta dan rindu yang menyatu dalam pelaminan sakral, namun secara metaforis bisa mengandung makna lain. Apakah antologi Salam Mempelai (2010) dipenuhi puisi-puisi lirik-romantik?

Saya kemudian membaca daftar isi antologi yang dibagi dalam tiga tema utama yaitu ‘Labirin Mata Angin’, ‘Labirin Perjalanan’ dan ‘Labirin Kabut’. Kesan perpaduan perjalanan dan eksplorasi alam hinggap dalam pikiran saya. Sekedar berupaya membaca puisi-puisi Tengsoe secara intertekstual, saya membaca salah satu antologi puisi Tengsoe sebelumnya. Dalam antologi Sajak Pertanyaan Daun(2003) Tengsoe banyak menggunakan metafor dan simbol alam. Namun, objek alam (natural objects) tidak semata digunakan penyair sebagai sumber simbol namun sebagai entitas yang dideskripsikan. Alam, waktu dan ruang (sosiologis) menjadi sorotan dalam antologi ini. Apakah Tengsoe tetap bersetia mengeksplorasi berbagai tanda alam sebagai penanda untuk mencapai ‘dunia ideal’ dan estetika puisi-puisinya? ‘Dunia ideal’, sebagaimana pendapat para pengagung simbol asal Prancis, bisa dihadirkan melalui simbol-simbol yang merepresentasikan imaji penyair untuk membentuk sebuah dunia ‘tersendiri’ yang memiliki jarak estestis dengan dunia nyata.

Terlepas dari kecenderungan penciptaan atmosfer individual, Tengsoe ternyata tidak semata menfokuskan diri pada penciptaan puisi-puisi lirik. Dia juga tidak membatasi penciptaan puisi dengan bertumpu pada metafor-metafor alam untuk menawarkan makna denotatif. Sebagai perbandingan, dalam antologi Sajak Pertanyaan Daun (2003), Tengsoe menulis puisi bertema sosial. Dalam puisi berjudul Puisi I, puisi dianggap sebagai perlawanan. Sebut saja namamu:puisi/lahir dari kemelut sejarah dan benteng terakhir/perlawanan. […]:Negerimu? Masih saja belukar/tanah lembab tanpa cahaya. Sementara dalam puisi Kepada Jakarta Tengsoe dengan kritis menulis: jakarta, aku/tak ingin bersahabat/denganmu/(pesona malam yang membenamkanku ke keruh ciliwung).Fenomena dunia sosial yang banal dan kritik ekologis menjadi perhatian Tengsoe. Masihkah Tengsoe menulis puisi yang merefleksikan fenomena sosial?

Potret Sosial

Tema relasi personal antara dua insan, hingga fenomena sosial seperti pelacuran dan kritik implisit fasilitas publik tercermin dalam puisi-puisi dalam antologi Salam Mempelai. Dalam karya sastra kontekstual yang oleh Arif Budiman (1985) dinilai lebih ‘berpijak ke bumi’, muatan-muatan sebagai pembentuk tema sosial ditekankan.

Potret sosial bisa ditemukan dalam ‘Labirin Mata Angin’. Narasi dunia remang-remang pelacuran tergambar dalam puisi Rembang Dolly. Tengsoe memetaforkan ‘hutan’ untuk kawasan pelacuran yang diklaim terbesar di Asia Tenggara ini. Di hutan ini/siapa sengaja tersesat/sebelum tersesat di larang/oleh waktu.Menggunakan metafor ‘hutan’ untuk lokalisasi Dolly tentu memerlukan pengetahuan memadai atas Dolly. Hutan dikenal sebagai sarang makluk-makhluk ciptaan Tuhan yang ‘liar’ dan tumbuh berkembangnya hukum rimba. Siapapun yang masuk perangkap penguasa hutan harus siap dikomodifikasikan sebagai ‘santapan’, budak, dan hiasan. Akuarium/ikan telanjang/di air warna warni/seorang pelayan/melemparkan umpan/ ke dalam keling gersang. Tengsoe memperhalus stereotipe objek dunia komersialisasi perempuan dengan kata ‘hutan’ dan ‘ikan’, metafor yang menggantikan kata-kata vulgar dalam kamus perlendiran. Kekuatan puisi, seperti disampaikan oleh Whitworth (2010) memang terletak pada puitika bahasanya yang bersifat figuratif, paradoksial, dan tak langsung. Namun dalam puisi ini Tengsoe juga menggunakan bahasa lugas dan menggelitik ketika mendeskripsikan dan mengkritik tingkah polah hidung belang pelanggan Dolly yang sepatunya tertinggal di depan kamar tempat nafsu sesaat tersesat: sepasang sepatu/tertinggal di depan pintu/’bukankah itu alas kakiku?/ Nuansa humor, yang hanya bisa dicapai dengan bahasa sehari-hari, terasa dalam bait ini. Dengan demikian baik bahasa metaforis (konotatif) dan literal (denotatif) membangun makna keseluruhan puisi.

Potret ironis fasilitas publik bisa ditemukan dalam puisi Cuaca Abu-Abu. Tempat persinggahan orang dari berbagai penjuru ini memang seringkali tidak ‘bermutu’. Kritik implisit terhadap sarana umum ini terlihat jelas, meskipun ungkapan deskriptif dikedepankan. Kritik selalu berimplikasi pada harapan akan kondisi ideal.Dalam dinding wc umum tertulis anjing/disisinya ada nama sebuah kota/pesen pendek tentang cinta/tergores tepat di bawah jendela/bau kencing lumer di udara/rontok dari langit-langit penuh jerit. Dalam puisi ini, Tengsoe keluar dari mainstream puisi lirik dengan menegasikan dunia personal aku lirik dan dengan menekankan atmosfer sosial. WC umum juga menjadi entitas yang sangat terkait dengan perjalanan. Mayoritas fasilitas yang berada di terminal, stasiun, bandara, dan tempat-tempat publik lainnya ini adalah tempat pengembara singgah sejenak sebelum melanjutkan perjalanan menelusuri ruang (lokasi) membelah waktu. Dalam perjalanan, dengan demikian, ada eksplorasi fenomena sosial yang kemudian dipuisikan hingga kritik menjelma di dalamnya.

Menyapa dan Mengeksplorasi Madura

Dalam “labirin perjalanan” Tengsoe mengawali dengan puisi Angin Madura,kemudian secara bertahap menghadirkan lanskap pesisir dan agraris Madura melalui berbagai penanda alam, semacam siwalan, garam, pantai, teluk, dan ombak hingga penanda lokasi seperti Sumenep, Slopeng dan Kamal. Kepiawaian dan ciri khas Tengsoe dalam menjadikan khasanah alam sebagai metafor sekaligus sebagai sumber gambaran-gambaran visual dalam puisi-puisinya membuat ‘labirin perjalanan’ terasa menggumuli eksotisme hamparan alam Madura. Deskripsi-deskripsi lokasi Madura lebih bisa cepat dipahami dari pada deskripsi emosi dan perasaan dalam puisi-puisi personal Tengsoe.

Sebagian besar dari penanda alam yang muncul dalam ‘labirin perjalanan’, pada tahun 70an menjadi ciri khas puisi-puisi penyair celurit emas, Zawawi, dalam antologi puisinya Nenek Moyangku Airmata dan Bulan Tertusuk Ilalang. Terlepas dari beberapa pantainya yang menakjubkan-termasuk bunga-bunga bakau, Madura, seperti yang diungkapkan sebenarnya tak menawarkan kesempurnaan keindahan karena tanahnya didominasi oleh susunan dan endapan kapur. Namun ekologi tegal yang begitu dominan tetap menghadirkan keunikan, termasuk pohon-pohon siwalan yang menginspirasi Tengsoe. Siapa berburu air segar/dari kepundan siwalan/kecuali para pejalan/yang letih mengurai tapak/siwalan meredam dentum ombak/barisan pohon di ladang kering/mendekam aum jadi nyanyian. (Siwalan, hal.92). Kontradiksi ladang kering dan air segar dari kepundan siwalan merupakan binari oposisi dari superioritas tanaman penghasil minuman segar dan inferioritas tekstur tegalan madura yang minim lanskap penghijauan.

Pesisir juga tak lepas dari pengamatan Tengsoe: biduk jiwa berlayaran mendendangkan ole-olang/memburu ikan ke dasar samudra (Slopeng 15, hal.124). Jika penyair Zawawi Imron berupaya menggali dunia agraris dan pesisir Madura untuk mengkonstruksi, mencitrakan dan mengklaim identitas ke-Madura-an aku lirik (‘Madura akulah darahmu), Tengsoe Tjahjono dalam ‘labirin Perjalanan’ menekankan pengalaman ‘travelling’ dan kesan individual aku lirik, yang notabenenya adalah seorang pengembara, dalam menelusuri Madura mulai kota dan desa. Perjalanan yang tak bisa dilepaskan dari keberangkatan (perpindahan dari satu tempat ke lokasi lain), persinggahan, pencarian dan pengenalan lokasi, hingga kepulangan, tergambar dalam puisi yang misalnya berbicara tentang kapal Feri di selat Kamal, hotel persinggahan, terminal, dan atmosfer perjalanan itu sendiri. Puisi-puisi yang berjudul Peta menjadi representasi pencarian-penelurusan lorong-lorong Madura. Siapa bilang alamatmu tak terbaca pada peta/sebab tak ada jejak tersesat pada samar senja/nafas ialah hembusan angin/dari hilir.

Madura bukanlah dunia rekaan, meskipun deskripsi Madura dalam puisi bisa saja mengalami distorsi. Para antropolog saja masih banyak yang tidak yakin bahwa interpretasi mereka atas objek penelitian di lokasi budaya tertentu objektif dan benar. Apalagi sebuah karya sastra dengan kadar fiksi tinggi. Kemungkinan distorsi dan kontradiksi dengan fakta dan kenyataan selalu ada. Itulah sebabnya Plato (1974) menilai bahwa peniruan dan transformasi dunia nyata ke dunia puisi berpotensi menjauhkan kebenaran (the truth) dari kenyataan. Secara eksplisit Plato menyatakan bahwa jika puisi-puisi epik dan lirik diperbolehkan eksis dalam suatu negera, maka bisa jadi bukan hukum dan logika kemanusian yang akan menjadi landasan kehidupan bernegara, tetapi ekspresi-ekspresi ‘kesenangan’ dan ‘kesakitan’ (pleasure and pain). Bagi saya, kritik Palto terlalu parsial karena banyak puisi epik dan lirik yang mengandung nilai-nilai luhur yang bermanfaat bagi peradaban.

Kembali ke Tengsoe dan Madura. Deskripsi alam Madura dengan berbagai entitasnya dalam puisi-puisi Tengsoe di bagian ‘labirin perjalanan’ mengesankan penciptaan puisi yang berdasarkan pengalaman sosiologis secara langsung, meski bisa saja puisi-puisi tersebut ditulis setelah perjalanan usai (dan ditulis dari luar Madura). Saya melihat fakta-fakta Madura banyak dihadirkan oleh Tengsoe. Hal ini tentu meminimalisir hegemoni fiksionalitas yang berpotensi mendistorsi dan menegasikan realitas kehidupan serta menjauhkan puisi dari konteks sosial. Namun demikian, seperti yang disampaikan Baudrillard (1990) puisi tetap berpotensi mengkontruksi dan membiaskan pengalaman (kenyataan) dari pada merepresentasikannya secara ‘utuh’.

Ruang Personal

Tipologi Puisi-puisi lirik, yang oleh oleh Ignas Kleden didefinisikan sebagai puisi yang fokus pada gerak gerik perasaan manusia dan gerak gerik alam (2004:256), tercermin dalam puisi-puisi dalam Salam Mempelai. Narasi emosi dan perasaan personal sebagian bisa ditemukan dalam ‘Labirin Mata Angin”, dan sebagian besar dalam “Labirin Kabut’. Persenyawan aku dan kau dalam bangunan relasional-personal misalnya bisa dilihat dalam puisi berjudul Air Mata. Sikap aku lirik (tone) dalam puisi ini atas kondisi dirinya di tengah perlintasan waktu, ruang dan hubungan dia (aku lirik) dengan kamu, adalah sikap yang melambangkan kegalauan dan kepedihan. Jalan tanpa ujung tak menemui cakrawala, lampu kota tinggal retak/hanya capek kunikmati di halte sebelum nafas membeku/oleh sendu/(hanya detak)/air mata menemani senyap/sebuah batu jatuh di air/lahirkan bunga kecipak cuma sekejap/(di mana kamu?) ‘Atmosfer’ yang dihadapi oleh aku lirik dalam puisi ini diliputi aleniasi dan tragedi. Sementara nuansa hening penuh sublimasi seperti dalam puisi ini terasa makin kuat kehadirannya dalam puisiMenulis Sunyi. Setelah sempat merespon fenomena sosial, Tengsoe berputar seratus delapan puluh derajat untuk mengolah kesunyian: Siapa tak mengaduh/bila kau tusukkan sunyi/tepat ulu hati/siapa tak menjerit/bila kau benamkan sunyi/ke dalam kemah abadi/.

Bila menegasikan studi biografi penyair, posisi aku lirik dalam puisi Tengsoe adalah aku lirik seperti dalam konsep Hegel (1967) yang merepresentasikan aku siapapun. Namun, aku lirik dalam puisi Tengsoe juga mewakili intensitas aku yang individual karena aku lirik di sini di satu sisi memiliki cara pandang berbeda dengan ‘aku’ dan entitas lain di luar aku lirik. Setiap ‘aku’ bisa memiliki perbedaan dalam menanggapi kesunyian dan kesedihan menikam, terlepas dari kesamaan-kesamaan karena kesunyian bisa melahirkan efek universal. Dominasi ekspresi ruang personal dengan narator aku lirik tampaknya menjadi kecenderungan sebagian besar puisi-puisi Tengsoe. Bahkan Tengsoe kembali menarasikan tragedi bertabur sunyi: Tak seperti biasanya senyap berkepak dari jauh, sayapnya/setajam gobang menggores jantung, jika ada darah menderas dari luka, rasanya tak seberapa/sebab lebih teriris membayangkan waktu bersua/[…]kesabaran hanyalah siksa, izinkan aku berteriak melawan belati/yang ditancapkan sejak kemarin pada jejakku. (Labirin Senyap, hal. 250). Senyap terasa ‘hidup’ karena dipersonifikasikan, dianggap memiliki sayap. Ketajaman gobang menjadi metafor senyap yang menembus jantung dan belati menyimbolkan tekanan-tekanan yang siap menyakiti dan melukai. Aku lirik dan senyap berkorelasi menghadirkan dunia individual di mana aku lirik berupaya melawan tekanan eksternal dan dirinya sendiri. Mengacu pada konsep Freud, aku lirik dalam puisi Tengsoe ini menunjukkan mekanisme defensif.

Selain tanggapan aku lirik atas ruang sunyi yang menghasilkan efek psikologis, aku lirik dalam puisi Tengsoe juga bereksistensi melalui tubuh individualnya.Merdeka, /serumu saat membuka pintu/dicermin tubuhku telanjang, punggung membentang/mengukur rindu dalam jarak 1000 tahun cahaya/ Merdeka, pekikmu dengan tangan terkepal/sebidang perahu kertas dilabuhkan di ranjang/kitapun merapat menggapai dermaga/merdeka jeritmu membentur dinding/cahayapun pontang-panting memberi ruang/pada mata yang meredup oleh sergapan surga.(Salam Mempelai, hal.208) Yang menarik dari puisi ini adalah anggota tubuh seperti punggung, tangan, dan mata berfungsi maksimal dalam pencarian eksistensial setelah bersentuhan dengan entitas ruang seperti ranjang. Oleh karena itu, meski tubuh begitu sentral namun laku dan geraknya bisa bermakna hanya ketika menemukan ruang ekspresif untuk menunjukkan kadar emosi. Dalam tubuh inilah perasaan berada dan bisa dibaca dari cara karakter dalam puisi menunjukkan eksistensi: dengan menjerit, menyeru, memekik, berbisik dan tersenyum.

Penyair hakekatnya memang tak bisa lepas dari dunia individual dan sosial. Perasaan, lanskap alam dan derap kehidupan sosial berkaitan antara satu dan lainnya membentuk kesatuan. Jika relasi-relasi personal dan sosial dalam setting ruang dan waktu tak lagi berjalan seimbang, estetika keindahan akan kehilangan kekuatan.

Malang, Januari 2011
Makalah Pelangi Sastra Malang [On Stage] # 7