Gerson Poyk
Suara Karya, 04 Agu 2007
Rumah makan Papacili didatangi seorang anak berusia empat belas tahun yang hanya memakai celana tanpa baju.
“Mau makan, Nak?” tanya Papacili.
“Mau, Pak, tapi tidak punya uang.”
“Siapa namamu?”
“Lumping, Pak.”
“Tidak punya uang kok masuk warung,” kata Papacili.
“Sudah berapa hari tak makan?” tanya Papacili.
“Kemarin pagi, sarapan nasi aking karena lagi paceklik di musim banjir. Jarang ada order menari. Terakhir, kebetulan ada hajatan setelah lama menganggur. Habis sarapan nasi aking, bertukas makan beling. Siang hari nasi aking lagi, dan pepaya matang setengah buah. Sehabis makan siang saya lari dengan pakaian di badan. Tadi malam saya jual baju untuk makan malam lalu tidur di emperan toko.”
“Nanti dulu, kau bilang bertugas makan beling? Makan roti beling saudaranya sotomi?”
“Bukan roti Pak. Beling kaca.”
“Ah, jangan bohong.”
“Betul Pak, saya penari kuda lumping. Bosan makan beling dan kupas sabut kelapa dengan gigi, saya lari. Tentu bos saya sedang mengejar saya. Jangan bilang kalau bos mencari saya di sini, Pak,” kata si Lumping.
Papacili menarik nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepala.”
“Perutmu tidak berdarah disilet beling?” tanya Papacili.
“Tidak, Pak. Saya kunyah sampai hancur kemudian makan papaya, dan kelapa tua. Kata bos dalam kelapa tua ada obatnya. Itulah yang menyebabkan saya bertahan lama, tidak sakit tidak mati tapi akhirnya capek dan bosan lalu beginilah. Saya lari meninggalkan bos dengan rombongan penari kuda lumpingnya.”
“Nama sebenarnya siapa?”
“Lumping. Nama pemberian kakak mantan penari kuda lumping. Karena nama itu saya diterima menjadi penari kuda lumping. Sejak berumur dua belas tahun, berkeliling dari kota ke kota.”
“Kau pernah bersekolah?”
“Tamat SD, tidak mampu meneruskan sekolah karena ayah tidak mampu beli sepatu dan pakaian seragam.”
Papacili memanggil istrinya. Setelah mendengar cerita si Lumping, hatinya terharu lalu berkata kepada suaminya. “Dia perlu makan, jangan banyak tanya dan bercanda sadis melihat orang susah,” istri Papacili memperingatkan kekurangan suaminya.
Papacili memanggil gadis pelayan.
“Tolong sediakan makanan yang banyak.”
“Buat siapa, Pak?” tanya pelayan.
“Buat seekor kuda muda belia!”
Si gadis tersenyum, melangkah meninggalkan Papacili. Ia sudah terbiasa dengan candanya Papacili, bosnya.
“E, eh, jangan pergi, ini namanya Kuda Lumping … hehe!” Perut Papacili bergerak-gerak karena terkekeh. Dia tidak peduli pada teguran istrinya. “Sekarang namamu bertambah menjadi Kuda Lumping, ya.”
Sehabis makan si Lumping disuruh duduk sebentar kemudian Papacili bertanya, “Kuda Lumping mau bekerja di warung ini sebagai pesuruh?”
“Mau saja, Pak. Terima kasih banyak, sudah dapat makan dapat kerja pula. Asalkan Bapak jangan suruh saya makan beling, nasi aking dan cabut kulit sabut kelapa tua dengan gigi,” pinta si Lumping.
“Beres. Cuma saya mau supaya di warung ini ada kuda lumping naik kuda besi mengantar makanan kotak ke para langganan. Bisa?”
Si Lumping heran, “Kuda besi?”
“Sepeda, maksud saya, ha ha,” kata Papacili.
Papacili menyuruh seorang karyawan lelaki yang bertugas melayani fotokopi untuk mengambil sepeda.
“Maaf, Pak. Saya bisa buang air?”
“O, bisa, bisa. Bagus, tapi jangan buang ampas badanmu di WC. Ambil cangkul, larilah ke kebun sayur di belakang, di balik rimbunnya kacang panjang. Bikin lobang di tanah lalu buang air di sana. Sudah itu jangan ditutup dulu sebelum saya periksa, apakah ususmu ke luar bersama beling-beling. Kalau ususnya ke luar, kita segera ke dokter.”
Papacili mengantar si Lumping ke kebun sayur yang cukup luas di belakang rumah makan lalu menunjukkan titik di mana akan ke luar beling-beling dan sabut kelapa. Benar, setelah Papacili memeriksa. Ternyata banyak beling dan sabut kelapa! Setelah ampas badannya itu dikuburkan, keduanya kembali lalu Papacili menyuruhnya mandi dan mengganti pakaian baru yang buru-buru disuruh beli oleh seorang karyawan di toko pakaian seberang jalan di depan rumah makan.
Si Lumping memang cerdas dan rajin. Setiap hari ia mencuci piring dan alat masak sampai bersih. Waktu rumah makan tutup tengah malam, ia mengepel lantai dan melap meja kursi, lemari dan sebagainya. Bangun pagi-pagi ia menyiram sayur di kebun. Waktu istri Papacili masak ia menolong mengiris bawang, mencuci sayur, memasak nasi sambil memperhatikan resep makanan yang dibuat Bu Cili. Bu Cili memang juara masak. Makanannya enak sekali. Suatu hari ketika Bu Cili dan pelayan seniornya sakit, si Lumping yang masak.
Hanya saja setiap ada rombongan sirkus monyet dan para banci bermain di depan rumah makan, si Lumping ketakutan, keringat dingin. Ia bersembunyi ke kebun sayur sampai rombongan banci sirkus monyet itu pergi. Hal ini diketahui ketika pada suatu hari, ada rombongan sirkus monyet kecil kurang gisi bermain di depan rumah makan Papacili. Karena bukan rombongan kuda lumping maka Papacili yang sangat sayang binatang menyuruh si Lumping membawa sesisir pisang untuk monyet kurus kering dijajah oleh manusia. Ternyata si Lumping takut pada semua rombongan pertunjukan keliling. Ia hanya melemparkan pisang ke tengah arena lalu berlari ke rumah makan, keringat dingin. Sejak itu kalau ada rombongan sirkus monyet kecil ia lari bersembunyi ke kebun sayur di belakang rumah makan. Papacili membiarkannya.
Rumah makan Papacili makin ramai saja, karena semua karyawannya, termasuk si Lumping sangat merasa bahwa usaha itu adalah milik mereka sendiri. Memang, Papacili orang yang punya insting, kecerdasan dan intuisi dalam usaha kuliner. Kalau ada turis-turis yang datang makan, ia ngobrol dengan mereka dalam bahasa Inggris dan kalau mereka mau membayar. Papacili menolak dengan alasan bahwa mereka adalah tamunya. Benar, beberapa lama kemudian tamu-tamu itu mengirim uang dari negeri mereka, luar negeri nun jauh di sna. Karena rumah makan itu punya sambal cabe atau cili maka ia disebut Papacili.
Melihat si Lumping cepat menangkap bahasa Inggris dari para turis, Papacili menyekolahkannya. Ia masuk SMP Swasta, kemudian SMA, juga swasta dan lulus ujian nasional tetapi si Lumping tak mau mencari kerja lain selain mengembangkan usaha rumah makan Papacili. Papacili dan Mamacili sudah dianggap lebih dari ayah dan ibu kandungnya. Mamacili sangat sayang padanya. Anak angkatnya diajari masak kemudian tugasnya meningkat menjadi kasir.
Akan tetapi suatu malam, si Lumping bertengkar dengan Papacili karena ayah angkatnya itu punya pacar dan ingin berpoligami.
“Papa,” kata si Lumping.
“Apa?” tanya Papacili.
“Kasihan, Mama. Dia curhat kepada semua karyawan, termasuk saya,” kata si Lumping pada suatu malam larut.
Papacili membentak si Lumping, “Pergi sana, tidur!”
“Mana bisa tidur, Papa, kalau saya sedih memikirkan sejarah perjuangan Mama yang sejak semula mulai dengan menjual nasi bungkus jalan kaki berkeliling.”
“Tapi modalnya dari saya. Bukan saja modal tapi ide dan tenaga saya juga termasuk. Saya yang menanam pisang, menanam sawi, terong, cabe, dan sebagainya, mencuci piring, memasak, ngepel, mencuci, menyapu halaman.”
“Alangkah indahnya masa-masa itu, Papa, ketika Papa dan Mama sehati, selangkah walaupun uangnya sedikit,” kata si Lumping.
Papacili hanya bangun berdiri, melangkah meninggalkan si Lumping.
Beberapa hari kemudian Papacili memanggil Lumping dan berkata, “Dulu kau naik kuda lumping, kemudian kuda besi. Sekarang saya perintahkan kau naik kapal!”
“Kapal apa Papa?” tanya Lumping.
“Kapal Pelni. Seorang saudara sepupu saya, nakhoda kapal Pelni, datang makan di sini dan dia perlu seorang karyawan yang bekerja di atas kapal.”
“Sebagai apa, Papa?”
“Sebagai cook, tukang masak.”
Begitulah, maka si Lumping naik kapal laut — kapal Pelni — tapi kali ini bukan makan beling melainkan makan enak ikan laut setiap hari. Karena ia terlalu sayang kepada Mamacili, ibu angkatnya yang dimadu, maka sering ia ajak naik kapal, berlayar menglipur lara. Setiap ia menerima gaji, ia berikan sebagian kepada ibu angkatnya.
Beberapa tahun kemudian ia pindah kerja ke kapal yang berlayar ke luar negeri. Setelah lima tahun bekerja, ia mengajak kedua orangtuanya berlayar mengarungi samudra. Ketika tiba di Los Angeles mereka diajak makan di sebuah restoran mungil. Mereka terkejut karena membaca Papachili Restaurant.
“Papa, Mama, saya punya saham di restoran ini,” kata Lumping. “Menurut para pakar, orang Indonesia rajin tapi tidak pandai, tidak disiplin dan tidak jujur dalam berorganisasi sehingga makanan Indonesia tidak bisa mendunia. Saya buktikan bahwa bukan saja McDonald yang merambah dunia tetapi juga Papachili.”
Tiba-tiba manajer restoran muncul. “Haaaa, Papachili, Mamachili,” lalu dipeluk dan diciumnya kedua orang tua itu. “Lupa sama saya? Saya makan gratis di Indonesia Papachili bilang tak usah bayar, tak usah bayar, Anda tamu saya. Ingat?”
Papachili memeluk bule manajer itu. “Di mana yang lain?” “Di kota-kota lain di seluruh dunia. Mereka sudah membuka retoran Papachili, makanan Indonesia dengan slogan you are whta you eat.”
***
Di kamar tidur si Lumping di darat dan di kapal terpampang sebuah poster mungil bertulis:
Ketika aku lapar
Papacili Mamacili membriku kenyang
Ketika aku telanjang
Papacili Mamacili membriku sandang
Ketika aku tidur di emper-emper
Papacili Mamacili bri kamar bri kasur
Ketika aku dungu
Papacili Mamacili membriku ilmu
Maka Tuhan akan memberi mereka surga
Depok 1 Mei 2007.