Fenomena Sastra Jawa Timur
Ribut Wijoto
beritajatim.com
Dalam satu tahun terakhir, 2010, ada beberapa fenomena baru dalam kesusastraan di Jawa Timur. Fenomena yang cukup menggembirakan. Kian tumbuh-matangnya kaum muda dalam peta kesusastraan. Tapi problem-problemnya tidak bergerak dari problem tahun-tahun sebelumnya. Problem yang semestinya mulai dicari jalan keluarnya pada tahun 2011 ini.
Infrastruktur kesusastraan di Jawa Timur sebenarnya amat menunjang. Setidaknya ada 4 indikator. Pertama keberadaan akademik, kedua keberadaan media massa, ketiga keberadaan even, dan keempat keberadaan komunitas kesenian.
Keberadaan kampus memberi kontribusi signifikan bagi tumbuh kembangnya kesusastraan di Jawa Timur. Fakta yang ada, mayoritas sastrawan merupakan jebolan kampus. Beberapa kampus mempunyai jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Semisal Universitas Airlangga Surabaya, Universitas Negeri Surabaya, dan Universitas Jember. Ketiganya dilengkapi dengan beberapa kampus yang membuka jurusan Bahasa Inggris, Bahasa Jepang, maupun jurusan Sosial Politik.
Di Unair ada teater Gapus dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar. Dua komunitas ini tak pernah kering menelorkan sastrawan-sastrawan muda. Hadirnya mahasiswa baru, tiap tahun, memberi peluang pemunculan nama-nama baru. Sementara itu, mahasiswa lama dan alumninya mematangkan diri di wilayah luar kampus. Sembari sesekali terlibat dalam diskusi di kampus.
Situasi serupa juga terjadi di Universitas Negeri Surabaya. Setidaknya ada dua institusi mahasiswa yang memiliki mobilitas tinggi dalam kesusastraan. Teater Institut dan Komunitas Rabu Sore. Penyair Muttaqin dan Umar Fauzi adalah dua produk Unesa yang tahun ini kian mendapat sorotan dari banyak kalangan.
Perkembangan di Universitas Petra pun menunjukkan gejala menggembirakan. Petra menghasilkan para penulis yang direspon baik oleh media-media Jakarta. Tercatat ada nama-nama prosais seperti Lan Fang, Ella Mart, Stevani Irawan, dan lain-lain.
Situasi di Universitas Negeri Jember tampaknya belum terlalu kondusif. Setelah sukses melahirkan penyair Mardi Luhung, belum ada sastrawan baru yang cukup berwibawa. Tapi kegiatan belajar menulis dan berdiskusi sastra tak pernah hilang dari Unej. Pada tahun-tahun mendatang, kita bisa mengharapkan munculnya sastrawan baru dari sana.
Sastrawan Jawa Timur juga dimanjakan oleh adanya banyak even kesusastraan. Semisal Festival Seni Surabaya, Festival Seni Cak Durasim, Lomba Naskah Drama Remaja, penerbitan buku oleh Dewan Kesenian Jawa Timur, Pekan Seni Mahasiswa Tingkat Regional, Pertemuan Sastrawan Muda (HALTE SASTRA). Even-even tersebut dilengkapi dengan banyaknya even lain yang bersifat situasional. Semisal lomba baca puisi, lomba cipta puisi, sayembara cerpen, ataupun lomba naskah drama. Tidak dapat dipungkiri, kemampuan sastrawan kian terasah dengan adanya banyak lomba.
Kerja kreatif para sastrawan juga mendapat wadah yang secara reguler terbit, yakni di media massa . Ada lima media massa harian yang memuat tulisan sastra. Jawa Pos, Surabaya Post, Radar Surabaya, Duta Masyarakat, Kompas Jawa Timur. Belum lagi adanya beberapa majalah. Semisal majalah Mimbar Pembangunan Agama, Media Dinas Pendidikan, Kidung, Bende, dan lain-lain. Kecuali berperan sebagai media publikasi, media massa juga bermanfaat sebagai ajang silaturahmi. Para sastrawan bisa saling mengetahui sekaligus saling mengukur pencapaian estetik.
Pada kehidupan keseharian sastrawan sendiri, ada beberapa komunitas kesusastraan yang tidak berbasis kampus. Lokasi Balai Pemuda misalnya. Bagiamanapun juga, Balai Pemuda dengan Bengkel Muda Surabaya dan Dewan Kesenian Surabaya tetap representatif sebagai tempat berkumpulnya sastrawan. Di situ setidaknya ada Saiful Hadjar yang selalu siap diajak ngobrol perihal kesusastraan. Waktu telah membuktikan, banyak sastrawan muncul dari penggodokan di Balai Pemuda. Komunitas-komunitas lain muncul di beberapa daerah. Semisal Mojokerto, Sumenep, Bangkalan, Madiun, Ngawi, Tulungagung, Jombang, Malang, dan masih banyak lagi. Pada dataran ini, peran pesantren kerap kali tidak bisa diremehkan.
Sayangnya, situasi positif infrastruktur kesusastraan tersebut tidak ditunjang oleh dua problem utama. Yakni, wilayah penerbitan dan wilayah kritik sastra. Dibanding dengan Yogyakarta, Jakarta , Bandung , dunia penerbitan di Jawa Timur terbilang senyap. Penerbitan Jawa Timur terlalu disesaki dengan terbitan buku-buku agama, klenik, dan buku-buku memasak. Penerbitan buku sastra, boleh dikata, nyaris tidak ada.
Ada memang beberapa penerbitan tapi jumlahnya sedikit dan kerapkali tidak dipasarkan secara umum. Sebagai contoh, empat buku terbitan Festival Seni Surabaya (2010) dan buku terbitan Dewan Kesenian Jawa Timur. Selebihnya hanyalah penerbitan dari komunitas tertentu. Biasanya dicetak secara terbatas. Kerap kali malahan dengan format stensilan.
Padahal semua tahu, bagi wilayah sastra, penerbitan buku adalah tolok ukur utama dari perhatian publik. Pemuatan di media massa harian dan majalah dibatasi beberapa kelemahan. Semisal puisi bertumpukan dengan aneka berita dan iklan. Pembaca puisi menjadi kurang konsentrasi. Harian juga bersifat temporal. Susah dalam pengarsipan.
Kita mengenal akrab karya Acep Zamzam Noor bukan dari pemuatannya di media massa harian tapi melalui buku-buku puisi yang diterbitkan. Begitu pula dengan puisi-puisi D Zawawi Imron, Abdul Hadi, Mardi Luhung, ataupun Budi Darma. Bandingkan pula membaca novel dalam cerita bersambung di koran dengan membaca dalam bentuk buku. Kenyamanan dan intensionalitasnya jauh lebih terjaga dalam bentuk buku.
Problem kedua adalah masalah kritik sastra. Sudah sering diungkapkan, kemunculan para sastrawan muda Jawa Timur tidak dibarengi dengan kemunculan kritik sastra yang memadai. Imbasnya, sastrawan seperti iseng sendiri. Jembatan antara tafsir karya dengan publik menjadi terputus. Pembaruan dan jelajah estetik pun tidak dapat teridentifikasi secara terperinci dan teoritis. Adanya beberapa kritikus semacam Shoim Anwar, Tjahjono kembar, dan beberapa akademisi tidak sanggup memenuhi kebutuhan kritik yang proporsional.
Tahun ini, 2011, dua problem utama kesustraan di Jawa Timur tersebut harus mulai dicari jalan keluarnya. Sebenarnya, potensi ke arah sana telah ada. Yang perlu dilakukan adalah memompa agar lebih komprehensif. Misalnya usaha penerbitan yang dilakukan oleh Nurel dan Alang di Lamongan. Sayangnya, usaha dua pemuda tersebut kerap terganjal oleh rendahnya modal. Juga beberapa penerbitan dari Mojokerto dan Malang. Sementara pada ranah kritik sastra, para akademisi dan sarjana sastra seharusnya mulai membikin penelitian dengan berpijak pada kondisi kekaryaan sastra yang lebih konkret.
***