Kelatahan Kita dalam Berbahasa dan Mempelajari Sastra

Arif Saifudin Yudistira *

”Kita dibaca bahasa atau kita membaca bahasa???”
[Afrizal Malna dalam sebuah diskusi]

Sejarah bahasa indonesia melampui proses yang panjang dalam menentukan format bernama “bahasa indonesia” yang saat ini berubah menjadi kecenderungan yang kaku, tersistem dan baku. Kebakuan dan kekakuan ini cenderung membuat bahasa menjadi sesuatu yang sukar difahami atau justru sebaliknya menjadi seakan-akan begitu mudah dipelajari.

Keadaan ini menciptakan kelatahan kita dalam memahami bahasa yang cenderung merupakan bahasa kita sehari-hari. Kelatahan ini muncul ketika kita menemukan kesulitan-kesulitan ketika bertemu dengan pemaknaan dan pembacaan kita tentang makna ”puisi”.

Sepertinya puisi memang menjadi sempit atau disempitkan ketika berhadapan dengan logika-logika pengajaran kita di kelas. Lihat saja pengalaman kita ketika disuruh membuat puisi dengan kata gunung, ibu, keluarga, dan lain-lain.

Sekolah cenderung gagap dan bingung bagaimana kemudian metode terbaik mengajari anak-anak mempelajari pelajaran dengan tajuk ”bahasa indonesia”. Tidak hanya itu, pereduksian bahasa muncul lebih-lebih ketika dihadapkan pada soal-soal ujian nasional yang cenderung menggunakan metode rumus-rumus.Bahasa menjadi hal yang aneh tapi nyata ini dihadapi oleh para guru-guru dan dosen-dosen kita dalam memberikan pengajaran bahasa indonesia.

Kelatahan ini berlangsung melalui proses yang lama, sejak pendisiplinan pemerintah kita baik sebelum orde baru apalagi pada masa orde baru. Pendisiplinan ini dipegang pemerintah sebagai otoritas dalam mempergunakan bahasa sebagai alat kuasa pada waktu itu. Munculnya kamus besar bahasa indonesia jilid I dan sebagainya, munculnya cara mengarang, munculnya cara membuat pantun yang baik dan benar adalah berbagai contoh pendisiplinan bahasa pada waktu itu.

Pertanyaannya kemudian bagaimana kita berbahasa tanpa mengalami kelatahan-kelatahan tadi. Proses berbahasa memang tidak berlangsung sedemikian cepat. Kelatahan adalah bagian dari prosesi sejarah yang memang tidak bisa terelakkan. Afrizal malna menawarkan bagaimana ketika kita kembali pada sesuatu yang alami, mencari yang alami dari tubuh kita yang merupakan salah satu pusat bahasa.

Ia mengungkapkan ini dengan bagus dalam puisinya ”Dada”……..menulis mengapa harus menulis,bagaimana harus ditulis…..Lebih lanjut ia mengatakan Membaca mengapa jadi membaca, menulis jadi mengapa menulis?.Sehari. Aku bermimpi menjadi manusia. Ia mencoba menjelaskan bagaimana kemudian kita mempertanyakan kembali pada kita, apakah sampai saat ini kita hanya bermimpi dengan yang namanya bahasa.

Bahasa, menjadi begitu penting untuk diperkarakan, sebab ia bukan hanya sekedar alat komunikasi semata, tapi ia juga merupakan cara pengungkapan perasaan manusia yang terdalam dalam menyatakan sebuah perasaannya.

Kelatahan kita dalam mempelajari bahasa adalah keniscayaan yang harus dihentikan. Membaca sejarah kebahasaan kita menjadi jarang dipelajari oleh para guru-guru kita, oleh para pemegang otoritas bahasa melainkan baru pada tahap penghargaan sebuah karya sastra,pemujaan pada logika-logika kaku dalam dunia pelajaran dan pengajaran kita. Sepertinya kita akan terpenjara dalam bahasa seperti yang diungkapkan oleh afrizal, bahasa adalah penjara.

Selama kita tidak mau melepaskan diri dari cara-cara kuno, kaku maka kelatahan itu akan menjadi sebuah hal yang dianggap wajar. Mempelajari dan menemukan kembali bagaimana ”bahasa kita” adalah sebuah keharusan yang dikerjakan oleh institusi-institusi kebahasaan, sampai pada institusi pendidikan yang memegang otoritas dalam pengajaran dan pempublikasian dalam kebahasaan.

Kemauan dan kemampuan kita untuk keluar dari logika-logika baku, akan cenderung mempermudah kita dalam menentukan dan merumuskan kembali corak kebahasaan kita di negeri ini. Dan menumbuhkan kembali semangat dan budaya kebahasaan diantaranya menulis maupun membaca teks-teks sastra ataupun produk kebahasaan kita.

Sehingga kelatahan kita dalam berbahasa menjadi sebuah keharusan kita di era yang penuh dengan pertentangan dan perebutan pengaruh orang dalam menyebarkan eksistensi kebahasaan, sebut saja bahasa inggris. Jangan sampai kita menjadi latah ketika memahami dan mempelajari bahasa indonesia, dibanding ketika kita belajar dan memahami bahasa lain. Begitu.
***

________________
*) Penulis adalah alumnus LPMF FIGUR belajar di universitas muhammadiyah surakarta. Diambil dari pawonsastra.blogspot.com