Prita Riadhini (Christina Dewi Elbers)
http://www.rnw.nl/
Novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer dan De Stille Kracht karya Louis Couperus sama-sama menceritakan Indonesia di zaman Hindia Belanda. Bumi Manusia mengangkat pandangan pengarang Indonesia, sedangkan De Stille Kracht dari kacamata orang Belanda. Christina Dewi Elbers yang sedang menyelesaikan studi S3-nya di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, membandingkan kedua buku tersebut.
Bumi Manusia bercerita tentang tokoh bernama Minke. Minke adalah salah satu anak pribumi yang sekolah di HBS. Pada masa itu, yang dapat masuk ke sekolah HBS adalah orang-orang keturunan Eropa.
Buku itu menggambarkan kehidupan saat pemerintahan kolonialisme Belanda. Di buku itu ditekankan pentingnya belajar yang dapat mengubah nasib.
Sementara De Stille Kracht, yang baru pertama kali diterjemahkan–padahal buku ini terbit pertama kali tahun 1900–oleh Christina Dewi Elbers dengan judul Kekuatan Diam, menceritakan perbedaan budaya antara timur dan barat, dalam hal ini Jawa dan Belanda. Novel itu bercerita tentang pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda dan bangkitnya gerakan tak terlihat dari suku di Indonesia untuk merebut kemerdekaannya.
Novel De Stille Kracht ini kendati sebelumnya belum pernah diterjemahkan, sering dikaitkan dengan sastra Hindia Belanda dan dihubungkan dengan sastra Indonesia. Novel itu mengangkat seorang Indonesia sebagai tokoh yang cukup penting.
Keluarga Indo-Belanda
“Saya tertarik untuk melihat De Stille Kracht itu seperti apa, kemudian saya cari di internet, ternyata sudah pernah difilmkan. Dari situ saya lihat setting-nya mirip dengan Pramoedya, buku Bumi Manusia. Keduanya melukiskan pula keluarga indo Belanda yang morat-marit.”
Dalam Bumi Manusia diceritakan anak laki-laki Robert Mellema sempat memperkosa adiknya Anneliesse. Kemudian dalam novel De Stille Kracht, sang ibu tiri Van Oudyck juga selingkuh dengan anak tirinya sendiri. Menurut Dewi Elbers, kesimpulannya semua berasal dari keluarga bobrok.
Ia menambahkan, Pramoedya juga memberi perhatian atau kritik terhadap keluarga bangsawan, dalam De Stille Kracht juga ada keluarga bangsawan. Van Oudyck sangat menghormati keluarga bupati, tapi ternyata salah satu anak bupati terlibat judi dan minuman keras, serta main perempuan.
“Dari situ saya tertarik untuk membandingkan apakah ada kesamaan, karena saya lihat ada juga perbedaan. Lewat tokoh orang Belanda, Van Oudijck, Couperus melihat mistik di Jawa dan dituangkan judul Stille Kracht. Sementara Bumi Manusia lewat tokoh Mienke melihat sistem pendidikan dan hukum Hindia-Belanda pada waktu itu.”
Perbedaan Latar Belakang
Pramoedya sendiri dalam hidupnya terkenal sangat tidak suka dengan feodalisme. Jadi segala sesuatu yang berhubungan dengan bangsawan atau birokrasi tidak disukainya. Karena itu dia menuangkan ketidaksukaannya dengan perlawanan Mienke terhadap hukum Hindia Belanda.
“Pramoedya mengeluh, mengapa dalam pendidikan saya diajarkan untuk menjadi orang adil, untuk berpikir adil. Tapi ternyata hukum Belanda sendiri tidak adil terhadap warga pribumi. Sedangkan pada masa itu, kan, orang Indonesia dianggap warga Hindia Belanda. Itu yang dilihat oleh Pramoedya.”
Sudah banyak penelitian tentang Louis Couperus. Banyak tulisan yang mengupas ingatannya soal Jawa dan tentang suara harimau, kemudian tentang senja dan matahari terbit. Dan Couperus, lanjut Dewi Elbers, sangat intens melukiskan hal-hal itu dalam novelnya.
“Selama ini orang mengenal hanya Pramoedya saja. Sedangkan De Stille Kracht sebagian besar belum pernah membaca dan tidak tahu hal itu.”
Kesimpulannya, kedua pengarang membidik zaman Hindia Belanda. Tapi akhirnya, semua kehidupan manusia punya nilai universal. Yang baik akan selalu menang daripada yang jahat.
“Saya juga melihat banyak hal yang terjadi di zaman Hindia Belanda ternyata di zaman sekarang masih banyak terjadi. Misalnya ketidaktransparanan, kemudian korupsi. Dalam kedua buku tersebut, terutama Stille Kracht, dibahas adanya korupsi. Jadi bupati Ngadiwo korupsi, dia tidak membayar gaji, dan menggelapkan uang untuk berjudi.”
Sumber: http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/ketika-bumi-manusia-disandingkan-dengan-de-stille-kracht