Puisi-Puisi Kurniawan Yunianto

MELEWATI PAGI MENGEJAR SIANG

selain pekatnya hitam
tak ada lagi yang dapat dilihat
bahkan luka menganga
yang orang bilang pedih dan bising itu

di sini di negeri tanpa pagi
nyaris semua indera tak berfungsi
mungkin masih menyisakan satu mata
tapi sudah terlalu lama lupa tempatnya

dan celakanya
ini bukan bagian paling menyedihkan
kerna duatiga tahun terakhir
kau aku belum sekalipun membunuh
berbagai jenis kegelapan
yang tumbuh subur membelukar
melenyapkan bayangbayang

bukti keberadaan yang makin samar
satu demi satu melayang

kepada waktu mesti bersulang
kita di atas kuda pacuan

13.02.2011

KE PUKUL 00:00

pada tiap pergantian gerbang
kalbu menjelma mantra
menjadi rajah pembuka pintu

huruf purba bergetar di lapang dada
menjanjikan rumah yang nyaman
bagi jiwa yang butuh betah
bermukim dalam tabah

sepanjang bentang berkelokan
tanpa marka pemisah
melintas di jalan satu arah
diam bersimpuh menempuh tujuan

tak ada lagi yang tengadah
sebab tangan menggenggam pisau
memotong sejarak risau
dari yang telah ditentukan

sudah terlalu banyak detik terbuang
biarlah waktu geming sejenak
atau tepat saatnya sekali detak

meski kemudian kedua kaki lelah
arah tak akan berubah

jarum kompas telah patah

10.02.2011

TAK TERASA PUTUS ASA

selagi masih rasa
yang dipercaya

tak pernah sampai
segala yang ingin dicapai

kehendak terperas dari keinginan
yang tiris dari nafsu
tak pernah selaras pada yang satu

kemudian menjadi siasia
meski keringat mengucur deras
dan air mata terkuras

hanya membasahi gambaran
luput pada kenyataan

tubuh begitu betah
seolah tak butuh rebah

begitu nyaman memasuki labirin licin
tak berujung pangkal
penuh godaan di tiap tikungan

inilah nikmat akal yang diulangulang
rasa ingin tahu paling sakau
betapa akut betapa pukau

seperti kepada mainan baru
membuatmu berlamalama
tak ke manamana

hingga lupa waktu
tak menemukan pintu

asyik terkunci

09.02.2011

RIUH PENYAMBUTAN

yang hadir adalah angin
menabur debu di ruang tamu
tanpa warna tak terbaca

hanya terasa
kian pupur pada wajah

udara makin dingin
aku bersitahan tanpa selimut
meyakini tipisnya kulit
tebalnya raut

geming menyambut maut
yang tak pernah mau bilang
kapan akan datang

lantai memucat
kian lapang pada ruang

deru kereta di kejauhan
merambat hingga ke jantung
mengatur iramanya sendiri

pada detak berbagi sunyi
saling mengunci

05.02.2011

TERIMA KASIH

sesiang ini
aku sibuk menghafalkan wajahwajah
yang dulu pernah kutemui
saat gunung yang kulukis masih berwarna biru
belum tercampur warnawarna lain

kenangan demi kenangan terus berkelebatan
sementara aku masih sibuk menghafalkan
memukimkan satu persatu semua yang pernah hadir
meski beberapa sekedar mampir
pada ingatan sebelum semuanya kusatukan

lalu kuucapkan dua buah kata
atas apapun yang pernah datang kepada mata
kepada mulut kepada telinga
kepada semua yang terindera oleh tubuh
dan jiwa yang menua

betapapun mulut ini masih lebih banyak bicara
ketimbang mengunyah garam

duka suka sama saja

03.02.2011

Bahasa ยป