Asarpin
Dia menulis dengan bahasa yang sangat puitis. Barangkali inilah modal utamanya sebagai penyair—belakangan juga mencatatkan diri sebagai penulis prosa yang liris dan puitis, yang hanya bisa ditandingi oleh kejernihan bahasa prosa Nukila Amal. Terus terang, saya iri dengan kemampuan bahasa Indonesia yang dimilikinya. Bahkan, saya tak bisa menyembunyikan keterpesonaan setiap kali memukan sajak-sajaknya. Selalu ada semacam godaan untuk mengikutinya, jadi epigonnya, atau mengambilalih, atau memiuhnya. Mungkin benar kata sebagian orang: tulisan yang bagus akan selalu menggoda orang untuk jadi pencuri.
Sang mualim itu bernama Sitok Srengenge. Sebuah nama keren alias beken. Mungkin orang tuanya pernah bermimpi diberi nama seindah dan secantik lenggak-lenggok permaisuri. Atau mendapat ilham, atau diberi seorang petualang, atau apa saja. Yang jelas orang tuanya pasti tidak pernah mengira kalau anaknya akan jadi penyair. Penyair yang punya modal kata dan bahasa. Bukan menyair asal menyair.
Sebagai penyair namanya memang telah tercatat, tapi tak begitu mendapat tempat sesuai dengan kadar dan kualitas sajak-sajaknya. Apresiasi dan kritik yang dialamatkan pada puisi-puisinya sayup-sayup sampai, bahkan nyaris tenggelam oleh kehadiran ratusan penyair yang lebih muda darinya. Padahal, bila dibandingkan—bisa juga dibaca dipertandingkan—dengan kadar puitik yang dimiliki sejumlah penyair generasi 1990-an yang terlanjur ditahbis sebagai penyair kuat, belumlah seberapa dengan kadar puitik yang dimiliki penyair kita yang satu ini. Kecerdasannya merangkai kata bahasa Indonesia jadi puisi menawan hati, terhitung amat langka. Setiap kali saya membaca puisi dan prosanya, saya seperti sedang berhadapan dengan seorang jenius di lapangan kata-kata. Pilihan kata amat diperhitungkan, imajinya menawan hati, ritmenya sangat terjaga.
Saya mengenal Sitok mula-mula lewat puisi Takbir para Penyair, yang belakangan saya anggap sebagai sajak kurang menggigit bila dibandingkan dengan sajak-sajaknya yang muncul kemudian. Sebagai sebuah takbir, sudah sewajarnya jika sajak ini dimulai dengan kata “Atas nama para penyair”, yang mirip dengan bunyi slogan para demonstran: “Atas nama rakyat!”
Kekuatan Sitok rupanya bukan di situ; bukan pada kata-kata yang membahana semacam itu, apalagi sampai berpanjang-panjang seperti sajak Takbir para Penyair yang meletihkan membacanya. Kekuatan Sitok ada pada kesederhanaan ungkapan, pada kejernihan kata-kata dan metafor yang ”nirpolitik” serta tidak dibuat-buat.
Kalau puisi Takbir para Penyair adalah kredo, maka Sitok salah memilih kredo. Seharusnya ia memilih kredo Osmosa Asal Mula yang bicara ihwal persenyawaan yang mantap, atau sajak Elegi Dorolegi. Sajak Obituari Bulan juga lumayan bagus. Sajak ini dibuka dengan kisahan atau sebuah penceritaan tentang seorang bocah di Jawa, entah biografis sifatnya, atau potret dari suasana kampung halaman. “Anakku tidur menduga-duga bulan/dan di kelas matanya masih menyimpan malam/ketika ibu guru mengajari matahari/anakku lalu menggambar cakrawala, lautan/perahu layar tanpa nakhoda, dan/rok ibu guru dipermainkan ombak pasang/Ibu gurunya dimakna ikan”.
Sajak ini sangat lucu, dan membuat saya ingin tertawa. Rupanya Sitok bisa juga menulis sajak humor yang kena. Tapi bukan macam ini juga sajak Sitok yang menurutku termasuk yang tercantik dan terindah. Namun sajak yang bagaimana, tunggu dulu dan bersabar, saya ingin mengutip sajak Teluh Lanang yang agak merayu dulu. “Ketika kuntum cinta rekah di hati perempuan/dan suara geliat kelopaknya menjadi kata-kata/meluncur ke arah lelaki/sesungguhnya telah dicipta telaga di rahimnya/ditumbuhi buluh-bulu sepi”.
***
Sitok mempesona saya karena kepiawaiannya menghadirkan gersik kata-kata yang bisa menggoda kediam-dirian. Sajak-sajaknya di bawah ini, semuanya menggunakan bahasa yang indah dan nyaris tak ada bahasa yang sia-sia, apalagi sampai cacat. Semuanya penuh perhitungan dan ketelitian. Kadang sangat hemat kata, tapi kadang pula mengurai panjang menyusuri kelokan, mirip aliran sungai yang menyusuri tebing dan bebatuan.
Taak banyak penyair yang lihai serta piawai menghadirkan frase puitik, seperti “penyair terlunta dikutuk kata” dalam sajak Sonet Situmorang. Kata-katanya khidmat dan jauh dari bahana. Iramanya tenang namun bisa menggelembung bagai aliran pasir yang dibawa bandang. Perhatikan susun larik-larinya, atau cerna alunan irama dan pilihan katanya yang cerdas.
Malam dingin yang kesepian turun berjingkat dari Eiffel,
seakan ingin cari teman dan menghayati hangat mantel
Seusai risau mondar-mandir di bawah gedung tua
dia dekap kau, penyair terlunta dikutuk kata
Lidahnya lembut
menelusup ke lekuk-lekuk kulit kisut
Jantungmu bagai diremas gairah,
gelembung masa lalu membuncah di sungai sejarah
Berkemaslah, sebelum maut
sembari kenang pohon renah berlumut
yang kau titi melintas jurang
di belantara rimba nenek moyang
Dari dulu Seine mengalir, mengairi akar anemun dan angkuli
Kau pun tahu, tanah air tak sekedar gurun dan melankoli
Sekalipun bicara soal mitologi, elegi dan tragedi, sajak-sajaknya tidak jatuh jadi klise. Sitok memang banyak menimba mitologi Jawa dan tembang pesisiran dan lagu dolanan anak kecil di Jawa. Tapi tidak hanya Jawa dunianya, terbukti ia juga menulis sajak dengan tokoh dunia.
Tapi saying Sitok tak selamanya terpesona pada hal-hal kecil yang remeh. Ada beberapa puisinya dengan judul besar dari tokoh besar. Bagaimana penyair ini menafsirkan sosok Prometheus hingga terasa tidak akrab bahkan bagi orang yang sudah lama tahu tentang tokoh ini. Prometheus dalam tafsiran Sitok tentu berbeda dengan tafsiran Wiratmo Soekito. Prometheus dalam puisi Sitok lebih sunyi dan tidak sok cerdas, mengalami nasib yang tidak bebas sehingga memunculkan solidaritas dari aku. Tokoh mitologi ini dilukiskan sebagai sosok yang menyeru zaman baru dengan pengorbanan yang berdarah-darah.
Prometheus
Dengan rasa sakit yang sama, Prometheus,
aku pun diberangus,
Ketika kugenggam api
kehangatan beranjak
dan buku-buku jari
yang gemetar meraut sajak Baca! Dan akan kudengar rintih
pra penghuni generi laut yang air matanya buih
Ini kali, kali-kali berhasrat merasai lagi
geletar arus dalam nadi,
berbukit menggigil dalam sepi
rindu hangat tubuh lelaki
Kelak, kata-kataku akan menetas
di tebing-tebing cadas
Baca! Dan barangkali kau tak lagi bertanya:
hati siapa diresapi cahaya
Langit berkelepak
mengirim jerit selaksa gagak
Amarah menderu bagai Guntur
jatuh tercurah hujan sangkur
melukai kalbu yang menyeru zaman baru
darahnya mengalir ke dalam sajakku
Bahasa yang digunakan Sitok sangat berbahaya karena sangat bagus, tapi pilihan judul itu memperlihatkan semangat intelektualisme. Pilihan kata dan diksi tidak asal-asalan, melainkan penuh perhitungan. Pada titik ini, atau dalam sajak tadi, Sitok menghadirkan kekayaan kosakata bahasa Indonesia yang telah jauh lebih maju dibandingkan jaman Pujangga Baru.
Cukup banyak pembaca yang mengakui keindahan bahasa yang digunakan Sitok dalam sajak-sajaknya. Ada sebuah cerita yang menyedihkan ketika novel Saman Ayu Utami terbit. Beberapa penyair di Lampung tidak percaya kalau novel indah itu ditulis oleh Ayu. Mereka meyakini Sitok-lah yang menulisnya mengingat bahasanya dekat sekali dengan puisi-puisi Sitok.
Tentu saja hal itu meremehkan Ayu, dan sampai sekarang saya berkeyakinan Ayu Utami-lah yang menulis novel itu. Bahwa kemudian Ayu menulis novel Bilangan Fu dengan bahasa yang jelek, tema yang sudah banyak digarap, isi yang terlampau dirayakan hingga nyaris jadi novel pemikir yang garing.
Sejak buku puisi pertamanya, sudah tampak bakat Sitok. Sekarang bukan lagi bakat, tapi terlatiih menulis sajak-sajak bagus. Beberapa tema sajaknya dekat dengan pengucapan puisi Rendra, seperti sajak Rangkasbitung menarik dibandingkan dengan Orang-orang Rangkasbitung, sajak Elegi Dorolegi juga dekat dengan Rendra. Bedanya terletak pada sajak-sajak Sitor yang tidak realis, atau tidak berambisi untuk menjadi sajak sosial apalagi pamflet. Jadi kesimpulannya: kedaunya beda.
Sajak Peniup Angin juga sajak cantik yang hanya bisa lahir dari Sitok. Ingin saya kutip seluruhnya, sajak ini agak panjang dan menghabiskan ruangan saja. Tapi kalau dikutip sebagian sangat saying karena bisa jadi justru yang tidak dikutip adalah yang bagus. Marilah saya kutip seluruhnya saja agar pembaca bisa kembali menyedap-nyedapkan diri dengan sajak Sitor:
Peniup Angin
Peniup angin yang kaukisahkan padaku ketika sebelum subuh
terdengar lenguh menjauh
susut- di padang-padang rumput yang menggelepar
dirambahi birahi kuda liar
telah membekaliku sehimpun getun
ke stasiun
Maka kubayangkan sekuntum kembang
rekah pada sebuah rembang petang
yang belum tersusun
yang kelak akan kautemu begitu kau terperanjat bangun,
dan akan kaupandangi pintu yang lupa kaukunci:
seseorang yang lama kaulupa telah nyelinap ke dalam mimpi Namun
kereta keburu tiba
lalu berlalu membawamu, meninggalkan duka,
sepi menggumpal di pucuk-pucuk menara
Jalanan licin menggelincirkan jejakmu ke kanal,
aku tersesat dalam labirin angan yang banal
Di angkasa salju masih tertebar di antara halimun fajar
bagai sperma dan ovum memancar
Kesunyian
bangkit dari lengang taman,
beku bangku batu, tempatku dulu menunggu kau
turun dari trem lantas bergegas penuh pukau
ke arah harum tembakau
Dari balik pohon oak,
gadis cilik berambut perak menangisi
kupu mati
Angin menghampar, menghantar
suatu senja suaramu samar, kata-kata gemetar:
Cinta bukan padang-padang yang menunggu,
melainkan kincir yang berporos di pusar kalbu,
berderak karena angin,
bergerak karena angin,
Dan kincir yang mengulirkan putting beliung lantaran kaupelintir dengan
lengking dan ruang
ketika malam padang rumput menggelepar
dan lenguh birahi kuda liar,
merekahkan sekuntum kembang
Dan sedentum kenang
Namun telah ditinggalkan bangku batu itu,
barangkali padang-padang tetap menunggu
Dari jauh kupandang kau turun dari trem, penuh pukau
coba menangkap kupu yang terbang ke harum tembakauku
Dahsyat. Cantik. Bagus. Entah istilah apalagi. Sitok memukau kita dengan sajak-sajak lirik yang berprosa, bercerita dengan warna-warni kehidupan yang mempesona. Dari mana Sitok memperoleh ilham ketika menulis puisi itu? Mungkinkah dari diskusi soal seks yang sejak 1990-an kembali bergemuruh di negeri ini? Melihat tahun sajak itu ditulis, ia sama dengan enam sajak seks Goenawan Mohamad yang cantik dan rupawan.
Masih banyak sajak Sitok yang menggoda kita untuk menjamahnya. Bila perlu bersetubuh dengan intim sebelum subuh menjelang dan fajar singkat melambai di kejauhan sebagai tanda perpisahan. Sajak yang paling mencekam saya, selain yang sudah dikutip, adalah sajak Elegi Dorologi. Agaknya saya perlu kutipkan secara utuh sajak indah yang dekat dengan dolanan anak-anak dalam sajak-sajak Rendra ini:
Di pelataran, di bawah benderang bulan,
ia bimbing anak-anak dengan dolanan dan nyanyian:
Gobak sodor, jamuran, pencari ubi, ayam hilang,
berkejaran, berjalin dengan melingkar, bergamit bahu memanjang
Di hamparan tanah lapang, di atas rerumputan,
di bawah curah cahaya bulan!
Para orang tua duduk bersila di gelaran tikar pandan,
khusuk berbincang tentang musim, hama, tanaman:
cara berdamai dengan alam yang setiap nyari
dijagai para peri,
berkarib dengan nasib, kekuatan akbar
yang bertahta di luar nalar,
demi tahu
bagaimana menggembalakan waktu,
membaca rahasia semesta
jagat kecil dan jagat besarnya,
menyatukan diri
dengan langit dan bumi
Mengurangi tidur dengan tapa, berjaga hingga malam larut:
bencana bagi yang lena, keberuntungan bagi yang siaga
menyambut
Berhadapan dengan sajak Sitok saya agak gugup. Jangan-jangan sajak itu bukannya memperjelas, malah jadi gelap karena sangat privat. Saya kekurangan bahan pengalaman untuk bisa menyelam di kedalaman irama kata-katanya, sehingga saya khawatir jangan-jangan yang akan hanyut dibuai oleh imaji-imajinya. Apalagi ketika berhadapan dengan sajak Osmosa Asal Mula, sungguh tak mudah dan bisa bercumbu dengan maknanya—karena memang ada segurat makna yang masih rahasia dan meminta untuk dikuak.
Osmosa Asal Mula
Aku bertanya kepada angin,
dari mana asalnya angan
angin menggoyangkan pucuk-pucuk daun
dan kusaksikan pohon-pohon melukis lingkaran tahun
Aku bertanya kepada pohon,
dari mana datangnya waktu,
pohon meekahkan kelopak bunga
dan kusaksikan lebah hinggap menghisap madu
Aku bertanya kepada lebah,
dari apa sel yang tumbuh jadi tubuhku,
lebah menggumam terbang ke dalam gua
dan kusaksikan kelelawar menangkap kuping di
dinding batu
Aku bertanya kepada kelelawar,
dari mana awalnya suara,
kelelawar mengepak sayap ke langit malam
dan kusaksikan embun bergulir serupa sungai
Aku bertanya kepada sungai,
dari mana sumber ai susu
sungai menjulangkan gunung
dan kusaksikan lembah bergaun kabut
Aku bertanya kepada lembah,
dari mana mulanya tabu,
lembah menyingkapkan gaun
dan kusaksikan bumi bugil menggeliat anggun
Aku bertanya kepada bumi,
siapa yang melahirkan Ibu,
bumi tersipu, tapi kudengar laut menyahut,
“Ia bersaksi atas fakta, namun tak berdaya untuk
bicara!”
Aku bertanya kepada laut,
siapa yang menampungnya,
laut menggelora, tapi kerontang
sebelum usai membilang Nama
Ingin saya berhenti sampai di sini. Menyerah. Kalah. Sebab saya kehilangan kata untuk memaknai sajak-sajak Sitok yang gaya dan bentuknya belum pernah aku temukan. Tapi sajak “Sonet, Sonya, dan Nannet” melambai-lambai memanggilku untuk menghidupinya, atau malah menikamnya sampai mampus.
Kalau ada lomba penulisan kata-kata yang indah dalam bahasa Indonesia, mungkin yang juara pertama adalah Sitok dan juara kedua Nukila Amal. Bahasa Sitok lebih menjanjikan ketimbang bahasa prosa Nukila yang membuat banyak pembaca terkesima dan takjub tak percaya. Tapi ada satu hal kekuarangan Nukila: kedalaman kata-kata. Walau pun kedalaman adalah bahasa ruang, tapi sajak-sajak Sitok tidak cetek dan dangkal. Ia tak terhalang oleh ruang, bahkan melampauinya dengan sangat berani.
Kadang saya tergoda untuk mencoba membandingkan larik-larik sajak Sitok dengan larik-larik puisi Sapardi, tapi saya urungkan karena keduanya sangat jauh berbeda. Kalau pun ada satu-dua kata dan gaya yang sama, itu lumrah saja. Bagaimana pun Sitok telah punya gaya sendiri, sudah mengantongi modal sebagai penyair, yaitu bahasa yang khusus yang tidak dipunyai penyair lain.
Bagaimana pun sebuah esai mampu menantang atau mengimbangi metafora dan personifikasi yang dihadirkan Sitok. Dan bagaimana pula mau menilai sajak Sitok jelek kalau saya terpesona, bahkan larut dalam pesona. Lalu dengan apa aku harus melanjutkan telisik yang tidak indah ini, atau yang dipaksa-paksakan agar jadi esai yang indah ini? Daripada suntuk melulu, baiklah saya kutipkan lagi satu sajak Sitok.
Engkau Ingin
Semula aku sangka kau gelombang
tapi setiap kali aku renangi
Engkau menggasing bagai angin
Peluh membuncah dan ruh dan tubuh gelisah
adalah ibadah bagi Cinta tak berjamah
Di situ, kunikmatkan teduhmu
sesekali sebelum kau berhembus pergi
Aku buru suara seruling di jauhan
yang kutemukan dedahan bergesekan
Aku termangu tertipu gerakmu
sehening batu di kedalaman rinduku
Kini aku tahu, tak perlu memburumu
Engkau hidup di dalam dan di luar diriku
–tak berjarak namun teramat jauh
teramat dekat namun tak tersentuh
Jika benar engkaulah angin itu
semauku akan kuhirup kamu
Dalam jantung yang berdegup
engkau gairah baru bagi hidup
Mengalirlah darah, mengalir
dalam urat nadi Cintaku
krenamu, Kekasihku!
Benar kata orang, tidak semua sajak bisa diterjemahkan. Tidak semua sajak mengandung makna yang pekat. Ada kalanya kita cukup menikmati ritme dan aliran bahasanya, tapi kadang perlu juga menjelajah di kedalaman hidup di dalam dan di luar dirinya agar hidup tidak mampet.
Sajak-sajak Sitok bisa cidera di tangan pembaca seperti saya. Hanya karena ada larik berbunyi “Peluh membuncah dan ruh dan tubuh gelisah”, lalu semena-mena saya katakan ini sajak persetubuhan. Karena ada kata “sehening batu di kedalaman rinduku”, lalu saya tafsirkan ini sajak tentang kerinduan kepada kekasih. Lantaran ada bunyi “Engkau menggasing bagai angin”, lalu saya terbuai dan mengatakan ini metafor yang cantik, bahkan sangat cantik. Mentang-mentang ada bisikan “engkau gairah baru bagi hidup” lalu menyebut sajak ini sebagai sajak jatuh cinta.
Tapi, sebagai pembaca, sejauh diniatkan untuk sungguh-sungguh membaca, saya kira sah-sah saja untuk bebas menafsirkan. Bukankah seorang pembaca juga seorang yang bergelut dengan kata. Kalau penyair disebut si Tukang Syair, si penafsir bisa dipanggil “Tuan, Pembaca”, kata Sitor Situmorang. Hanya dengan membaca, sebagai pembaca, laku pribadi terasa lebih menggairahkan.
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/