Surat dari Betara

Putu Satria Kusuma
http://www.balipost.co.id/

Dalam siluet pagi yang indah, di Hari Raya Penampahan Galungan itu, seorang wanita berdiri di depan pintu, melepaskan senyum. Men Bukit gugup membalasnya. Lalu tangan wanita yang sangat dikenalnya menyodorkan sepiring lawar. Men Bukit ragu. Dulu membawakan makanan atau ngejot kepada tetangga dan saudara pada hari raya merupakan peristiwa yang penting untuk menegaskan tali kekeluargaan.

SEKARANG suami mereka saling bermusuhan, apakah kebiasaan ngejot dilanjutkan. Sesaat ia menimbang, kemudian menerima jotan itu dan membalas dengan tape ketan. Men Kojong gembira, mencicipinya. ”Enak,” pujinya. Dua wanita itu tertawa, mendapatkan keakrabannya kembali. Terakhir mereka bersalaman. Meski tak terucapkan, mejotan dan balasannya itu menjadi awal yang baik untuk memperbaiki hubungan suami mereka. Tetapi ketika men Bukit menaruh lawar itu di meja makan, seseorang memegang bahunya. Tangan itu kekar dan akrab, tangan suaminya.

”Buang lawar itu!” perintahnya.
”Kenapa?”
”Lawar jotan men Kojong itu berisi racun!”
”Men Kojong baik, tak mungkin melakukan perbuatan sekeji itu!
”Men Kojong mungkin tidak, tapi suaminya Mangku Kojong pasti, pasti melakukannya! Sekarang buang lawar itu, buang!” bentak Mangku Bukit.
Men Bukit menyahut dengan tatapan. Ingin sekali ia menuruti perintah lelakinya sebagai bakti, seperti yang sudah-sudah. Namun kali ini ia menolak. Lawar yang terbuat dari campuran cingcangan daging, darah, parutan kelapa dengan aneka bumbu komplit itu dicomotnya sejumput, dimakannya. Melihat itu, Mangku Bukit geram, bola matanya bertambah besar dibakar marah. Tangan lelaki itu menampar. Plak!

Kecemasan suaminya memang beralasan. Biasanya musuh akan memanfaatkan segala celah untuk membunuh atau pun menyakiti lawannya beserta keluarganya. Tapi Men Bukit tetap pendiriannya. Sambil mengunyah lawar itu, ia berkata, ”Biarlah wanita menjadi tumbal dari permusuhan yang dibuat lelaki. Kalau lawar ini berisi racun, biar tiang mati melanggengkan permusuhan bli dengan Mangku Kojong turun temurun. Kalau tidak, mari akhiri permusuhan sampai di sini!”

Mangku Bukit mencegah. Men Bukit bersikukuh. Mereka bergumul. Mangku Bukit berhasil memasukkan jemari tangannya pada mulut istrinya, untuk mengeluarkan makanan itu. ”Racun yang dipasang pada makanan tak selamanya bereaksi cepat. Hanya racun kasar yang bekerja demikian. Kalau racunnya halus, beberapa bulan lagi nyai baru kesakitan dan mati!” pekik Mangku Bukit.

Men Bukit tak membantah. Memang banyak jenis racun yang pernah ia dengar, ada yang dibuat dari logam, zat binatang dan tumbuhan. Cara bekerjanya pun berbeda, cepat dan lambat. Konon, seseorang yang terkena racun makanan, sebelum mati dengan tubuh menghitam akan memuntahkan segumpal darah berisi ulat hidup. Ia tak takut mengalami itu, hanya batinnya berharap yang ia muntahkan kelak bukan segumpal ulat darah tapi puluhan bunga dengan keharuman mengabadi memasuki rumah-rumah dan hati manusia.

Sejam berlalu, Men Bukit merasakan lidah dan langit-langit mulutnya memanas bagai menelan api. Lawar itu telah menimbun pada ususnya yang halus. Lemak dagingnya melelehkan minyak dalam campuran darah binatang. Ribuan parutan kelapa, menggumpal menjadi serat, mengoyak-ngoyak sebuah rongga yang berhubungan dengan segenap saraf-sarafnya. Kepalanya pusing. Denyut jantungnya menggelombang. Ia merasa dihempas angin dan ombak laut. Lalu oleng, menggigil memegang perutnya.

Melihat itu, Mangku Bukit panik, berlari mencari air kelapa gading lalu meneteskan penawar racun, minyak cukli lungsir simpananya. Tapi Men Bukit menghempasnya. Penawar racun tradisional itu tumpah terhisap pori lantai. ”Tiang tidak keracunan! Tiang tidak keracunan!” elak Men Bukit berulang-ulang, merebahkan diri ke kasur. ”Bengkung nyai!,” umpat Mangku Bukit setengah menangis.

***

Permusuhan Mangku Bukit dengan Mangku Kojong berawal dari sepucuk surat yang ditemukan di dalam ruang meru ketika bangunan suci itu akan direhab. Surat itu mengatasnamakan surat dari Betara. Hal itu diucapkan Mangku Kojong secara spontan usai menerjemahkan leretan pertama aksara Bali yang tertera di lembaran kertas kusam itu. Tentu saja penemuan surat itu mengejutkan, apalagi penulisnya mengatasnamakan Ida Betara. Maka di sore hari yang tenang di pelataran pura itu sontak berubah. Asap dupa tak lagi mampu menenangkan jiwa. Lalu di bawah sisa-sisa sinar matahari sore semuanya bangkit dari duduk persembahyangannya, mengerumuni surat itu, mencermatinya.

Hasilnya, sepintas seperti surat tua yang sakral, apalagi baunya harum seperti bau cendana. Memang terasa mustahil hal itu merupakan ulah manusia jahil sebab ruangan meru tersegel gembok yang cukup besar dan kuncinya dibawa oleh Mangku Kojong yang menjadi pemangku utama di Pura Desa kami. Meski demikian, keabsahan surat dari Betara itu sangat diragukan. Semua pemangku termasuk para sutri yang berkumpul usai menghaturkan permakluman ke hadapan Ida Betara Betari sehubungan akan dimulainya merehab bangunan-bangunan suci di Pura Desa, mencemooh surat itu. Namun Mangku Kojong tetap membaca isinya. Katanya dalam surat itu tertulis Ida Betara berpesan agar segenap warga desa hidup rukun, hormat menghormati, serta bantu membantu sebagaimana kehidupan para pendiri desa yang kini menjadi leluhur kami. Disarankan juga hendaknya judi tajen, minum-minuman keras yang memabukkan, dihindarkan. Lalu, kepada para pengurus adat diperintahkan membuang segala adat yang kolot.

Akan tetapi sebelum surat itu berakhir dibaca, Mangku Bukit meneroboskan tangannya merampas surat itu. ”Ini bukan surat dari Betara!” bentaknya histeris.

Diam-diam aku keberatan dengan tindakan Mangku Bukit yang mudah kerasukan dalam setiap upacara. Bagiku, meskipun surat itu meragukan, tapi pesannya sangat bagus dan perlu dipertimbangkan bahkan dilaksanakan oleh segenap warga desa. Bukan rahasia lagi, adat istiadat yang selama ini diterapkan di desa kami sebagian besar cukup memberatkan. Misalnya, aturan adat bagi kepala keluarga yang dinasibkan melahirkan bayi kembar buncing. Sanksinya berat. Beberapa warga desa pernah mengalami.

Yang sempat menghiasai koran adalah Gede Bengkel. Istrinya melahirkan bayi kembar buncing, beda kelamin. Baru berusia seminggu, bayi-bayi itu bersama kedua orangtuanya harus menanggung adat pengucilan selama tiga bulan ke suatu lokasi terpencil di pinggiran desa dalam sebuah gubug darurat, di mana dinding dan atapnya terbuat dari anyaman daun kelapa kering. Selama pengucilan, mereka tidak boleh pergi ke mana-mana. Untuk kebutuhan sehari-hari, mereka dibantu oleh keluarga dan warga desa lainnya. Sanksi lainnya, mereka diharuskannya membuat suatu upacara tertentu untuk membersihkan desa.

Menurut kepercayaan, kehadiran bayi kembar buncing membuat wilayah desa dan semua warga desa secara batin menjadi kotor, keharmonisan alam terganggu dan kekuatan-kekuatan jahat bangkit dari alamnya menganggu mahluk hidup, terutama di lingkungan desa kami. Sebelum pengucilan terjadi, sebenarnya sebagian warga desa sempat prihatin, mereka sadar adat itu melanggar hak asasi manusia dan kelahiran kembar buncing bisa dijelaskan secara ilmiah. Namun eksekusi adat itu dilakukan juga. Hal ini pun konon atas permintaan sukarela dari Gede Bengkel sendiri. Alasannya, ia takut jika aturan adat itu tak dilaksanakannya, kedua bayinya akan mengalami musibah yang memilukan akibat teror dari mahluk-mahluk halus, sebagaimana yang pernah dialami warga desa terdahulu yang mengabaikan aturan adat itu. Tetapi ketika pengucilan berjalan sebulan, bayi-bayinya tak kuat. Mereka jatuh sakit dengan panas badan membahayakan. Terpaksa larangan meninggalkan gubug dilabrak. Gede Bengkel melarikan bayi-bayinya ke rumah sakit. Dalam perawatan rumah sakit, bayi kembar buncing itu dinyatakan terserang paru-paru basah. Selepas dari rumah sakit, Gede Bengkel tak mau membawa kembali bayi-bayinya ke gubug pengucilan. Mereka memilih tinggal di kota, di sebuah kamar kost sumbangan seorang yang bersimpati. Ini berarti melanggar adat. Sanksinya, mereka tak diperbolehkan pulang ke desa.

”Kalau Ida Betara berkenan menasihati kita, menegur kita, tentunya melalui proses kerasukan dalam suatu upacara! Bukan menulis surat, apalagi surat itu ditulis di atas kertas kusam, bukannya di atas lontar!” ujar Mangku Bukit berapi-api. Semua manggut-manggut, kecuali aku hanya menatapnya seperti patung singa yang menyangga pilar kayu Bale Paruman. ”Surat ini bukan surat dari Betara, tapi surat bikinan manusia yang mengatasnamakan Betara!” tambahnya dengan lantang hingga air ludahnya muncrat.

Seperti yang sudah kuduga, Mangku Bukit kerasukan. Mulutnya mula-mula mengocehkan gumam dengan lidah menjulur, hitam matanya tertelan ke balik kelopak atas. Tubuhnya bergetar, menarikan gerakan-gerakan aneh. Tangannya secepat kilat menyambar seikat dupa menyala, mengunyahnya bagai mengunyah kacang goreng. Angin pun serasa diam, terpana seperti diri kami menyaksikan peristiwa itu. Dengan mulut menghembuskan api dan asap dupa, Mangku Bukit mengaku sebagai utusan Ida Betara. Tujuan kedatangannya, untuk melakukan klarifikasi bahwa kertas kusam yang ditemukan di dalam ruangan meru itu bukan surat dari Betara. Masalahnya kemudian, siapa yang menulis surat itu? Pertanyaan inilah yang kemudian berkembang setelah Mangku Bukit sadar.

”Penipuan ini harus diusut! Pelakunya harus ditangkap, diarak keliling desa karena berani menghina Betara dan berani mencoba-coba menipu kita!” kembali Mangku Bukit garang. Mereka setuju. Ada yang mengusulkan agar masalah itu dilaporkan ke polisi guna dilakukan penyelidikan. Ada juga yang menyarankan agar meminta bantuan balian tenung. Yang pertama-tama dicurigai membuat surat itu adalah Mangku Kojong, dialah yang membawa kunci gembok ruangan meru itu. Sementara pengelihatan mata batin dari beberapa balian tenung mengarah pada Mangku Kojong. Selain itu, kepentingan menulis surat itu, dihubung-hubungkan sebagai upaya sistematis yang dilakukan Mangku Kojong untuk menyelamatkan posisi salah seorang anaknya yang aktif menjadi ketua ranting salah satu partai politik di desa. Partai politik yang dipimpin anaknya berbeda dengan partai politik yang mendapat dukungan dari sebagian besar masyarakat desa. Karena demokrasi belum dihayati, perbedaan partai itu diam-diam menimbulkan permusuhan meskipun belum sampai meledak. Sementara anak-anak Mangku Kojong yang lainnya semua berada di Jakarta dan jarang pulang ke desa melaksanakan kewajiban adat yang seharusnya dipikul bagi seorang warga desa yang sudah berkeluarga, di mana pun mereka tinggal.

Tuduhan lainnya, surat itu dibuat juga untuk meredam kasak-kusuk warga desa yang memasalahkan status sebidang tanah di pinggir pantai yang dikuasai Mangku Kojong. Beberapa pengurus desa adat mengklaim tanah itu milik pura. Dengan alasan itulah Mangku Kojong dituduh menulis surat itu.

Mendengar ini, Mangku Kojong hanya bisa geram. Yang marah justru beberapa warga desa yang dikenal dekat dengan Mangku Kojong. Mereka mengambil berbagai jenis pedang, turun ke jalan, manakala rumah Mangku Kojong terkena lemparan batu dari seseorang yang diduga suruhan Mangku Bukit. Namun berkat kesigapan polisi, kejadian itu dapat dipadamkan.

Persitiwa itu terjadi setahun lalu. Belum terpecahkan siapa penulis surat itu. Kami melupakannya. Membiarkan aturan adat diterapkan secara ketat dan tertutup. Peristiwa lalu pun terulang di tahun berbeda dan menjadi leretan berita dingin. Seorang warga melahirkan kembar buncing. Dalam pengasingan, bayi-bayi itu meninggal dan ibunya menjadi gila. Kemudian surat serupa yang mengatasnamakan Ida Betara ditemukan Mangku Kojong di pelataran pura. Nasib surat itu tak berbeda, Mangku Bukit kerasukan utusan Ida Betara dan membantah kebenaran penulis surat itu. Para pengurus adat dan polisi dibuat sibuk mencari penulis surat itu. Hasilnya, satu dengan yang lainnya saling mencurigai. Yang kuherankan, mereka lebih tertarik pada pembuat surat itu daripada mempertimbangkan kebenaran isinya.

***

Tiba-tiba men Bukit bangkit. Memuntahkan sebagian lawar yang dimakannya tadi. Dalam balutan lendir, lawar itu berserakan di lantai. Baunya amis. Lalat-lalat merubung. Mangku Bukit mengamatinya, tak ada gumpalan darah atau ulat-ulat hidup sebagaimana ciri muntahan dari orang yang terkena racun gaib. Tapi lelaki itu tetap yakin istrinya terkena racun gaib — racun yang ditanam pada lawar jotan.

”Apa kubilang, nyai keracunan! Kalau tidak, mana mungkin perutmu memuntahkannya!” kata Mangku Bukit. ”Tidak bli, lawar itu tidak beracun! Tiang muntah karena tidak biasa makan lawar. Tiang vegetarian, mana bisa makan daging apalagi bercampur darah!” bantah Men Bukit, meskipun hatinya ragu pada ucapannya. Bukan tak mungkin suaminya benar, lawar itu beracun. Sekarang perutnya terasa seperti ditikam ribuan jarum. Ia meronta menahan sakit. Setengah putus asa wanita itu masih berharap, kenekatannya akan mengakhiri permusuhan yang bisa saja berlangsung turun temurun itu. Naluri keibuannya ingin melihat anak-anak mereka dapat hidup tanpa warisan permusuhan. Apalagi permusuhan itu terjadi di tingkat desa, di mana wajah yang sama akan selalu bersua.

Mangku Bukit memuncak. Sekali lagi tangan kekarnya memegang kepala wanita itu dan membuka mulutnya lebar-lebar. Tak peduli jerit, lelaki itu memaksa mempercayai bahwa Men Bukit keracunan makanan. Kemudian memaksanya meminum penawar racun. Beberapa gelas, setiap hari. Entah sampai kapan. Kalau tahu begini, aku tak mau menuruti perintah-Nya menulis surat itu.***

Banyuning-Singaraja, Juli 2004.

Catatan:
Lawar = makanan khas Bali.
Betara/Betari = sebutan bagi sinar-Nya.
Meru = nama salah satu bangunan beratap tumpang di pura.
Pemangku = pemimpin sebuah upacara di pura.