Nunuy Nurhayati
http://www.tempointeraktif.com/
Nama perempuan itu Santi Revaldi. Di kampungnya dia dikenal sebagai penyanyi organ tunggal. Santi bukan cuma pintar berdendang lagu-lagu dangdut. Ibu satu anak ini juga pintar bernyanyi kasidah. Bermodalkan suara merdu dan penampilan seksi, Santi berkelana dari panggung ke panggung mengumpulkan uang sawer dari penonton. Sebuah rumah sederhana dapat dibangun dari hasil kerja kerasnya.
Kisah Santi hanyalah salah satu potret perkembangan kesenian tarling-dangdut di Indramayu yang diangkat sutradara Yudi Ahmad Tajudin bersama Teater Garasi dalam pertunjukan bertajuk Tubuh Ketiga: Pada Perayaan yang Berada di Antara. Pentas teater yang digelar dua hari berturut-turut, Selasa dan Rabu lalu, itu semacam teater esai tentang tarling-dangdut sebagai sebuah kesenian yang berkembang di pesisir utara Jawa dan Indramayu sebagai sebuah kota.
Tubuh Ketiga adalah sebuah evolusi perjalanan estetika Teater Garasi. “Ketika melihat pentas Tubuh Ketiga, penonton pasti akan teringat pentas Jejalan. Tubuh Ketiga ini memang semacam zoom in dari beberapa adegan Jejalan yang kemudian lebih diperdalam, meski Tubuh Ketiga ini bukan sekuel dari Jejalan,” dia menegaskan.
Malam itu Teater Salihara disulap layaknya sebuah gedung tempat pesta hajatan, lengkap dengan para penerima tamu, suvenir, dan gapura yang dibuat dari untaian janur kuning. Tak ada barisan kursi penonton di dalam ruang teater. Hanya ada sebuah pelaminan besi berhias bunga plastik bertulisan “Selamat menempuh hidup baru di dalam era globalisasi” dan panggung kecil serta meja berisi aneka jenis makanan rebusan, persis sebuah pesta hajatan di kampung-kampung.
Dari pesta hajatan, gedung teater kemudian berubah menjadi sebuah daerah persawahan. Lukisan pemandangan di kain terpal yang menutupi seluruh dinding teater serta beberapa tumpukan karung di lantai membuat penonton seolah-olah berada di tengah daerah persawahan menyaksikan kesibukan para buruh tani mengumpulkan berkarung-karung padi. Cerita lalu bergulir pada kesibukan para penyanyi yang bersiap-siap naik panggung. Mereka memoles wajah dengan make-up tebal, mengenakan baju pesta berpotongan seksi lengkap dengan sepatu hak tinggi.
Maka pesta pun dimulai seiring dengan mengalunnya lagu Kucing Garong. Penyanyi-penyanyi perempuan itu bernyanyi dan bergoyang dengan gerakan-gerakan sensual. Tak cuma menyanyi di atas panggung, atau di perahu kayu yang didorong Po, si bungsu dari keluarga Teletubbies, mereka juga membaur ke tengah-tengah penonton. Suasana pertunjukan dangdut makin terasa ketika berlembar-lembar uang dilemparkan dari udara. Dan lihatlah bagaimana para penyanyi bergegas memunguti uang yang terselip di antara kaki penonton.
Tubuh Ketiga memang tak seperti pertunjukan teater pada umumnya. Tak ada batas antara pemain dan penonton. Pemain adalah bagian dari pertunjukan itu sendiri. Memang, sejak didirikan pada 1993, Teater Garasi telah mengambil posisi pada seni pertunjukan eksperimental (cutting edge). Kelompok teater yang terdiri atas seniman lintas disiplin yang berdomisili di Yogyakarta ini terkenal dengan komitmennya menciptakan karya-karya pertunjukan yang segar, yang menggabungkan tradisi seni pertunjukan dengan sensibilitas dan media kontemporer.
Tubuh Ketiga merupakan hasil observasi kehidupan pelaku kesenian tarling di Indramayu, Jawa Barat, sejak April 2010. Tema besar pementasan ini adalah tentang strategi kebudayaan dalam dunia global saat ini bahwa kebudayaan Indonesia selalu berada dalam situasi “antara” (in between). Selalu berada dalam keadaan perpindahan (state of transition). Perpindahan dari pre-kolonial ke masa kolonial, masa kolonial ke pascakolonial; dari kebudayaan agraris ke industrial, industrial ke post-industri; dari kebudayaan dan kosmologi desa ke kebudayaan dan kosmos kota; serta dari Orde Lama ke Orde Baru ke masa Reformasi.
Sebagai sebuah bentuk kesenian, tarling-dangdut dianggap menyimpan banyak aspek yang menarik, terutama jika dikaitkan dengan sejarah kebudayaan Indonesia sebagai sejarah kebudayaan “di antara”. Antara kebudayaan agraris dan industrial, antara desa dan kota, serta antara tradisional dan modern.
Dalam pandangan Teater Garasi, pelaku kesenian tarling di Indramayu adalah contoh konkret strategi kebudayaan yang paling sukses. “Mereka bisa comot unsur budaya sana-sini tanpa pernah mempersoalkan asli atau tidak asli, tradisi atau modern. Kemudian mereka bisa menjalaninya dengan amat santai, tanpa ada keterpaksaan. Itulah tubuh ketiga atau kebudayaan ketiga,” Yudi menjelaskan.
Adapun sebagai sebuah kota, Indramayu tumbuh di antara pusat-pusat kebudayaan yang saling menanamkan pengaruhnya: Jawa Tengah (Solo dan Yogyakarta), Jawa Barat (Bandung), dan Jakarta yang merupakan pusat Indonesia modern. Ia bisa dibaca sebagai desa sekaligus kota yang tumbuh di “ruang ketiga”. Sebuah entitas kebudayaan yang tidak tumbuh dari satu definisi atau identitas saja sehingga hanya bisa dipahami dengan berbagai pendekatan dan sudut pandang.
15 Oktober 2010