Valentine Biru

Tita Tjindarbumi
lampungpost.com

MALAM itu, malam yang tak pernah bisa kulupakan. Meski tak ingat jatuh di angka berapa di bulan Januari. Atau Februari? Ya, sebelum malam kasih sayang.

Yang kuingat hanya secuil dari sekian banyak hal-hal manis yang akhirnya terus mengisi hari-hariku yang penuh masalah.

Akun yang memulai menuai kegelisahan ini. Dari percakapan kecil yang serbabasa-basi, serbakebetulan dan hanya iseng.

Dari situlah awal bermuaranya rasa itu. Rasa ingin berbagi, rasa ingin memperhatikan dan diperhatikan. Dari hal yang terkecil itu pula akhirnya aku mendapatkan sesuatu yang sangat besar dan sangat berarti. Sebagian rasa itu membuatku hariku berbunga. Selebihnya banyak duri bertebaran.

Dari chat ringan di inbox akhirnya terasa menjadi suatu kebutuhan.

Meski belum pernah kulihat wajahnya, membayangkan dia seperti apa saja sudah membuatku blingsatan. Memang seperti itulah, jika otak mulai terangsang sesuatu yang bisa begitu cepat menggetarkan tubuh dan diam-diam meracuni jiwa.

Ini memang sangat berbahaya. Setidaknya untuk seorang lajang yang selalu dilanda rasa sepi yang kerap kali mengganggu. Khususnya di malam hari yang semakin terasa panjang. Singkat cerita, aku merasa kian terpedaya oleh kalimat-kalimat indahnya. Puisinya yang bak penyair kondang dan ilmu jurnalistiknya yang membuatku seperti mahasiswa baru yang haus akan ilmu-ilmu ajaib itu.

Kami saling berbagi cerita. Banyak hal yang kami bahas.

Sejak itu aku menjadi makhluk bodoh yang suka bertanya-tanya pada tembok, pada langit-langit kamar. Bahkan pada dedaunan di bawah jendela kamarku pun kerap kuajak bicara .

Ih, sangatlah bodoh dan naif ketika aku menyadari aku tak punya nyali untuk bertanya langsung padanya. Sampai suatu sore, entah apa yang membuatku memulai percakapan tentang: letih. Tanpa diduga ia merespons dengan memberikan kejutan padaku : mengajak ketemuan.

Aku memikirkan pertemuan itu semalaman. Kuingat, malam jumat itu kuisi pikiranku dengan memikirkan semua kalimat-kalimatnya yang menyimpan misteri. Aku ingin mengenalnya namun begitu sulit kucerna semuanya. Aku mengisi malam dengan lamunan panjang tentang dia, tentang siapa dia, dan tentang siapa perempuan dia. Oh…sebegitu jauhkah aku menaruh harapan padanya?

Mungkin, ya. Mungkin….

Dan waktu yang dinanti pun datang. Jantungku berdebar lebih kencang dari biasanya. Aih, ada apa ini?

Kupikir ini terlalu pagi untuk mendapatkan jawabannya. Tak biasanya kurasakan perasaan yang sulit kujabarkan dalam kata. Ada gamang terlebih rasa penasaran. Ingin segera kulihat hidungnya yang mancung. Ingin kubuktikan kebenaran berita tentangnya yang berhidung mancung dan rambut ikal nyaris kribo.

Tersenyumku membayangkan pikiranku melantur ke mana-mana. Ini bukan bagian dari profesiku. Aku bisa merumuskan dengan mudah jika itu berkaitan dengan pekerjaanku. Bahkan aku tak pernah merasa segugup ini bertemu orang baru.

Tapi Ikha?

Dia teman baru yang namanya sudah begitu akrab di memori otakku. Dia tak asing bagi hampir di semua manusia yang bergelut dalam dunia media. Ia terbilang punya nama besar. Huh, tapi kenapa aku blank tentang dia?

Aku mulai membuka file-file dalam memori otakku.

Ikha.. dia bukan orang baru di media. Curiculum vitae di Facebook-nya menyebutkan dia pernah berkutat di majalah fiksi remaja sebagai penulis cerpen. Kemudian di masa kuliah ia bekerja di sebuah majalah remaja di mana aku pernah menulis cerpen beberapa kali di media itu. Dan yang paling aku ingat adalah cerpen-cerpen cintanya yang selalu manis dan menghanyutkan setiap remaja putri. Berbeda dengan cerpenku yang lebih suka menulis tentang cewek tomboi, aktivis kampus, dan tentang kesedihan.

Kupikir aku mulai menemukan topik pembicaraan jika kami bertemu nanti. Tetapi apakah membahas cerpen, bahasan yang mengasyikkan mana kala kini kami lebih banyak bergelut dalam dunia yang lain.

Ouf…bukankah ia masih menggeluti media? Dan sepertinya kami akan seru dengan topik media.

Hm….

Aku menggeleng. Rasanya tidak pas. Sebab, kubaca di profil singkatnya ia selalu berada di dunia yang harum beraroma parfum perempuan. Ia selalu berada di tengah para perempuan yang menjadi kolega dan sumber beritanya.

Sementara diriku?

Aku berkubang sekaligus tenggelam dalam dunia media yang keras. Sumber beritaku mereka yang sarat konflik. Berita yang kutulis selalu mengundang protes bahkan teror. Sumber beritaku polisi. Jaksa, hakim, politikus bahkan mafia dan koruptor berada begitu dekat dengan langkahku.

Aku beringsut. Betapa kasarnya duniaku. Sementara dia? Mungkin jari jemarinya lebih halus dari jari jemariku. Mungkin bahasanya, tutur katanya lebih halus dari bahasaku.

Aku ragu. Tak yakin mampu melewati pertemuan ini dengan mulus. Aku merasa begitu menyesal mengapa tak pernah berpikir memilih media perempuan saja waktu itu. Pernah sih berpikir, tetapi teman-teman selalu menertawaiku,

“Bagaimana bisa kamu bekerja di media perempuan, berlaku sebagaimana perempuan saja kamu ngoceh berkepanjangan,” ujar Tineke suatu hari ketika pikiran manis itu menggangguku.

“Menjadi reporter media cewek tuh harus cantik ala perempuan,” ujar Tineke tanpa peduli wajahku yang mulai masam.

“Kupikir tak selalu harus begitu.”

“Jelas harus begitu.”

Tineke melirik ke Rene reporter dari majalah wanita yang kebetulan bertemu dalam liputan seminar tentang reproduksi wanita. Cantik, bersih, pakaiannya keren, dan wangi. Sementara aku begitu setia dengan jins belel-ku.. Sejak itu surut keinginanku masuk di jajaran media wanita. Ngeper. Keder. Hiks!
***

Ikha. Aku mengeja namanya seperti saat pertama kali kukenal abjad dalam hidupku. Lalu mulai kubuka lagi inbox Facebook-ku. Ada beberapa pesan berkelanjutan darinya. Lalu pesan singkat darinya di ponselku masih lengkap.

Sekali lagi kutertawakan diriku yang berprilaku seperti ABG.

“Cerpenmu bagus sekali. Apakah kita bisa menjadi ABG seperti kisah dalam cerpenmu itu?”

Begitu salah satu sms-nya yang mengharu biru perasaanku. Secara, sudah lama sekali perasaan ini seperti beku. Tak ada yang memuji. Tak ada yang menyapaku dengan kata-kata bersayap, seperti rayuan gombal cinta ala remaja.

Bahkan tak ada seorang pun yang mampu membuat perasaanku bergetar seperti dawai dipetik. Seperti getar yang kurasa saat Ikha memuji cerpen-cerpenku. Oh, rasanya begitu indah membuat mabuk kepayang.

Kubayangkan bagaimana mimik wajahnya saat menulis pesan singkat itu. Tersenyum-senyum membayangkan diriku? Atau ia menulis dengan wajah datar tanpa pernah berpikir bagaimana diriku. Apalagi membayangkan bagaimana bentuk wajahku?

Duh, persetan dengan semua itu!

Buatku yang terpenting adalah membiarkan cahaya itu berpendar dalam hatiku. Energi itu terus membakar jiwaku. Membuat dahagaku akan masa-masa yang penuh bintang terhapus. Ia bagai setetes air di padang tandus. Begitu melambung aku membayangkannya.
***

Jumat bagiku biasanya hari yang berjalan begitu cepat. Beberapa pekerjaan rutin sudah antre di meja kerjaku. Setumpuk berkas sudah minta diperhatikan. Semua harus dibaca dengan teliti. Beberapa buku pintar juga memenuhi meja. Semua nyaris membuatku panik. Membuat otakku seperti berhenti bekerja. Tak ada pekerjaan yang bakalan beres hari ini. Sebab, sekujur tubuhku sudah dialiri getar asing itu. Grogi sejak pagi sudah terasa. Apa yang ingin kukerjakan rasanya membuat otakku penat.

“Kita atur pertemuan kita tepat di hari kasih sayang,” ujar Ikha dengan suaranya yang memilin rasaku. Duh rasanya waktu berjalan sangat lambat waktu ia berujar tentang pertemuan.

“Mengapa harus di Hari Valentine?” Rasa ingin tahuku membeludak. Pecah begitu saja di bibirku.

“Tentu karena banyak orang yang menganggap saat itu adalah hari yang sangat istimewa.”

Oh, mengapa ia menyebut “banyak orang”? Apakah ia tak anggap Valentine Day adalah hari yang istimewa?

“Bagi mereka yang sedang dilanda cinta akan terasa sekali betapa khususnya hari itu,” tambahnya lagi menyadari keheningan saat kata-kata membeku di benakku.

Tak bagimu, Ikha?

Aku menenangkan gemuruh di dadaku. Betapa sulitnya. Apalagi bagi aku yang sudah terlalu lama dalam kebekuan. Mencintai Bara mungkin anugerah bagiku. Lelaki itu telah dengan sabar mengajariku bagaimana mencintai dengan ketulusan untuk menerima dan memberi, seperti halnya yang ia lakukan terhadapku.

Mencintai Bara juga telah membuahkan kepedihan yang begitu dalam. Ia yang semula kupikirkan akan menjadi teman sejatiku dalam suka dan duka, tiba-tiba menjadi lelaki yang tak berdaya. Ia harus menikah dengan perempuan yang dipilihkan keluarganya. Anehnya ia tak dapat menolak dan mempertahankan cintanya, yang dia selalu bilang hanya padaku.

Semua menjadi beku dengan tiba-tiba. Aku tak dapat lagi menandai rasa cinta di dalam dada ini. Sampai akhirnya aku bertemu dengannya. Dan ini sangat menyiksa juga manakala bayangan masa lalu itu mengintai.

“Suka atau tidak aku ingin kita bertemu pada hari itu.”

“What?” aku mendekatkan bibirku ke ponsel. Ia harus dengar ucapanku. Aku juga ingin mendengar dengan jelas jawabannya. Maka kuaktifkan speaker ponselku. Aku tersenyum menyadari kekonyolanku. Seorang yang lewat di depanku menoleh, mungkin merasa aneh melihat sikapku.

Halah!

“Saya akan datang menjemputmu di hari bernuansa pink itu.”

Waduh! Pink? Sudah berapa lama ia tak menggubris warna perlambang kasih itu? Membiarkan waktu berlalu tanpa harus memburu pernik, boneka, atau cokelat untuk Bara.

Oh. Mengapa Bara? Bukankah kini aku sedang mencoba menyambung rasa dengan lelaki bernama Ikha?

Dan sore itu aku tak bisa mengelak ketika lelaki itu berdiri di depanku.Lututku mendadak lemas begitu melihat sosoknya. Inikah Ikha?

Ya, Tuhan, bukankah ia salah seorang teman Bara?

Aku masih ingat tentang lelaki ini. Aku pernah melihat lelaki ini berada di kampus yang sama dengan Bara. Waktu itu hujan rintik di sore yang menghitam. Bara pamit meninggalkannya. Ia bilang hanya sebentar. Ada kakak angkatannya yang mencarinya. Aku hanya melihat dari kejauhan mereka bercakap-cakap serius. Kemudian Bara cepat-cepat mengajakku meninggalkan kampus.

Bara tak banyak bercerita. Tetapi dari caranya mengamit lenganku, seperti ada yang membuatnya bersikap aneh. Aku tak banyak tanya. Terlalu banyak teman Bara yang bersikap misterius.

Bara hanya bicara sambil lewat.”Aku tak suka kamu dekat-dekat dia.”

Hm. Aku tak bertanya tetapi akhirnya aku tahu lelaki itu play boy kampus.

Dan malam ini ia berdiri di depanku. Aku ingat ucapan Bara. Gemuruh di dadaku lenyap entah kemana.

“Hai apa kabar?”

Kuterima uluran tangannya.

“Lama ya menunggu,” ujarnya sangat tenang.

“Malam yang indah. Malam penuh kasih sayang kata sebagian besar orang,” katanya lagi lalu duduk di kursi rotan yang berada di teras paviliun kontrakanku.

“Sebetulnya setiap malam bisa menjadi malam yang indah,” kataku santai saja. Menarik kursi di seberang meja kecil pemisah kursi yang sedang didudukinya.

Lelaki itu tersenyum. Giginya berderet putih menyembul. Bersih dan rapih.

Oh, no. Aku tak boleh tergoda dengan pesonanya.

“Begitu ya?”

Mata kami sempat bersirobok. Dengan cepat kukeluarkan sebatang rokok dan menyalakan korek api.

“Apa acaramu malam ini?”

Aku tersenyum. Jerat sudah dia pasang.

“Beberapa teman mengajakku pergi.”

“Sayang sekali…” Tak ada kesan kecewa. Wajahnya datar saja.

“Abang bisa bergabung jika berkenan,” kataku menawarkan.

“Aku ingin kita berdua saja.”

“Maaf… sepertinya terlalu pagi untuk bisa seperti itu. Kita baru saja saling mengenal.”

Ikha tertawa. Aku melihat rambut kribonya tak ada lagi. Rambutnya tertata rapih. Uang dengan mudah merubah penampilan. Tetapi tak selalu mudah merubah karakter.

Kubiarkan Ikha diam dengan asap rokok yang mengepul di depan wajahnya. Aku teringat Bara yang pernah mengatakan : yang kita lihat di permukaan tak selalu sama dengan yang ada di dalamnya.

Bara pernah meminta maaf untuk hari kasih sayang yang sepi. Waktu itu ia meliput ke sebuah pulau terpencil. Tak ada sinyal dan untuk mencapai wartel harus ditempuh dalam tiga jam.

Tak ada pernik-pernik berwarna pink. Dua hari setelah itu, ia datang dengan setangkai anggrek biru.

“Terimalah, biru perlambang damai. Tak selamanya Valentine bernuansa pink, Honey. Kali ini ia berwarna biru.” Lalu serta merta ia memelukku. Mendaratkan kecupan di keningku. Cair segala rasaku.

Melihat Ikha aku kembali ingat Bara. Meski sudah lama pergi dari hidupku, kenangan bersamanya kadang masih mengganggu pikiranku. Aku tak bisa gantikan sosok Bara dengan lelaki lain. Ikha sekali pun. Biar saja Valentineku biru. Aku trauma dengan julukan play boy kampus.
***