Belajar Bahasa dari Nur Muhammad SAW

Hasil Diskusi bersama Emha Ainun Nadjib
Fathurrahman Karyadi *

Setiap pengajian Padhang Mbulan—pimpinan Emha Ainun Nadjib—digelar, pasti selalu membawa kesejukan bagi para pendengarnya. Edisi bulan Maulud kali ini diselenggarakan pada hari Sabtu malam Minggu, 19 Februari 2011 lalu di kediaman beliau, Menturo, Sumobito Jombang. Seperti biasa format pengajian diawali dengan pemaparan tafsir tekstual oleh Cak Fuad lalu disusul dengan tafsir kontekstual oleh Emha Ainun Nadjib, atau yang lebih akrab disapa Cak Nun. Bedanya dengan edisi-edisi sebelumnya, malam itu dibacakan pula puisi pujian (al-madâih wa al-qâshaid) dari kitab Maulid al-Dibai serta ditambah dua narasumber; Sabrang- Letto dan Pak Haryo.

Karena dalam suasana maulid nabi, ayat yang dibedah kala itu pun bertajuk keagungan Nabi Muhammad SAW. Meskipun kami sering mendengarnya, tapi anehnya tidak ada rasa bosan yang menimpa kami. Di samping karena sosok nabi yang memang betul-betul membawa berkah, juga dilengkapi dengan pemaparan nara sumber yang sangat menyenankan, ilmiyah populer plus guyonan ala pesantren.

Rasulullah dan Cahaya

Dalam Surat al-Mâidah ayat 15 Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan.” Footnote dalam ayat ini menyebutkan bahwa yang dimaksud “cahaya “ adalah Nabi Muhammad SAW dan “kitab” maksudnya Al-Quran. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Razi, Al-Alusi, Abu Bakr al-Jazairi, al-Mawardi dan Sayyid Thanthawi.

Ayat ini tidak disiggung dalam forum. Mungkin kalah populer dengan ayat “Laqad kâna lakum…” (Al-Ahzâb: 21) atau “Laqad jâakum rasulun…” (Al-Taubah: 128). Maka dengan memberanikan diri, penulis mengungkapkan ayat tersebut saat sesion tanya jawab dibuka. Dalam kesempatan emas tersebut, saya—dengan keterbatasan ilmu tentunya—memiliki pengertian bahwa Nabi Muhammad SAW diibaratkan sebagai cahaya. Namun kita masih gamang, cahaya yang bagaimanakah yang pas untuk diibaratkan atau dikinayahkan kepada beliau?

Syaikh Abdurrahman al-Dibai dan Imam Ja’far al-Barzanji mengungkapkan dalam sajaknya “Anta syamsun anta badrun, anta nûr fawqa nûr.” (Engkau, nabi Muhammad, adalah matahari, engkau adalah rembulan, engkau adalah cahaya di atas cahaya). Kemudian saya bertanya-tanya, apakah benar Nabi Muhammad diibaratkan seperti cahaya matahari? Padahal—lagi-lagi berdasarkan kedangkalan ilmu penulis—di samping sinar matahari memiliki banyak kelebihan dan manfaat besar, ia juga memiliki beberapa kelemahan.

Pertama, matahari tidak bisa dilihat secara total dengan mata telanjang. Bahkan konon katanya bisa mengakibatkan mata buta karena kedahsyatan sinarnya. Sedangkan Nabi Muhammad SAW jelas-jelas bisa dipandang. Banyak hadits yang menyebutkan bahwa rupa Nabi Muhammad sangat tampan, bersinar, segar bagi siapa saja yang melihatnya. Syeikh Abdurrahman al-Dibai sendiri menggambarkan wajah nabi dengan ungkapan “Alifiyyul anfi mîmiyyul fammi nûniyyul hâjib” (Hidung Nabi seperti huruf alif, lisannya seperti huruf mim, alisnya seperi huruf nun). Dengan begitu, wajah Nabi Muhammad SAW benar-benar bisa dilihat, tidak seperti matahari.

Kedua, kita tidak bisa menikmati cahaya matahari selama 24 jam ful. Warga negara Indonesia mungkian hanya 12 jam saja bisa bermesraan dengan matahari. Begitu pula di negara-negara lain. Bahkan ada negara yang hanya beberapa jam saja bisa menikmati sinar matahari.

Ketiga, cahaya matahari tidak bisa menembus masuk ke dalam ruangan. Ketika siang bolong misalnya, kita masih membutuhkan penerangan cahaya lampu saat berada di dalam sebuah ruangan seperti kamar mandi atau di dalam gua. Singkatnya, sorotan cahaya matahari pun terbatas, tidak bisa menembus ruang.

Keempat, terkadang cahaya matahari memberikan efek samping yang negatif. Kulit seseorang yang sering terkena terik matahari maka akan tampak gosong. Ada juga beberapa tanaman yang tidak boleh terkena sinar matahari lebih. Mulanya ia harus dilapisi dengan plastik agar tidak langsung menembus tanaman tersebut. Bumi ini pun akan bahaya bila tidak ada lapisan asmosfir.

Oleh karena itu, dengan keagungan-Nya yang luar biasa, Al-Quran mengibaratkan Nabi Muhammad dengan istilah “sirâjan munîran” (Al-Ahzab: 46) bukan syams, matahari. Dalam kamus Al-Munawwir (1997: 624), sirâjan munîra bermakna lampu/pelita yang abadi bersinar atau lebih mudahnya adalah tempat kecil berisi minyak yang diberi obor di atasnya sehingga terang dengan cahaya api (Jawa: lampu uplik). Di antara hikmahnya adalah, karena cahaya sirâj bisa menerangi kita di mana saja, meski di dalam gua sekalipun, praktis di bawa, bisa dimanfaatkan untuk berbagai macam hal seperti memasak, dan sebagainya. Yang terpenting adalah, bahwa cahaya sirâj bisa ditularkan kepada siapa saja tanpa mengurangi sumber aslinya. Maka begitu pula Rasulullah SAW, memberikan kecahayaan kepada seluruh umat. Diriwayatkan bahwa Sayyidina Ali RA adalah orang pertama yang mendapat cahaya tersebut, lalu kemudian merembet kepada para sahabat, tabi’in sampai kita saat ini. Sehingga jagad dunia menjadi terang dengan nur Muhammad SAW. Inilah yang dimaksud dengan nûrul Musthafâ malâ’al akwân (Cahaya Rasul yang dipilih memenuhi alam jagad).

Dengan begitu, istilah sirâj tampaknya lebih cocok dari pada syams. Seorang pujangga agung, Imam al-Bushiri memang menggunakan lafadz syams akan tetapi beliau menambahi kalimatnya menjadi syamsu fadhlin sehingga memiliki arti matahari keutamaan, bukan sekedar matahari. (Kaannahû syamsu fadlin hum kawâkibuhâ-yuzdhirna anwârahâ linnâsi fizzdulami. Engkau adalah matahari keutamaan sedangkan para sahabat bintang-bintang. Sinarnya menerangi manusia dalam kegelapan).

Perbedaan Bahasa

Menanggapi uneg-uneg saya di atas, Cak Nun sangat bijak. Beliau menanggapi bahwa pembahasan di atas terkait erat dengan bahasa. Istilah syams yang dikinayahkan kepada Rasulullah SAW itu adalah bahasa sastra bukan fisika. Jadi mataharin pun bukan dimaknai sebagai fisik matahari yang memang memiliki beberapa kekurangan. Lebih bijaksana lagi beliau mengomentari bahwa Maulid al-Dibai adalah karya manusia bukan karena Tuhan. Jadi maklum kalau dijumpai kekurangan.

Begitu pula dengan sang putra, Sabrang-Letto . Bahkan dengan kecerdasannya di bidang fisika dan cahaya dia bisa memantahkan pendapat saya. Wal hasil, jika Nur Muhammad diibaratkan dengan matahari terdapat kebenaran dan kekurangannya. Begitu pula kalau diibaratkan dengan sirâj, mengingat lampu uplik senantiasa membutuhkan minyak dan terkadang juga membahayakan kalau membakar suatu benda di dalam rumah.

* **

Jika kita kaji lebih dalam pernak-pernik kehidupan ini maka akan dapat kita simpulkan bahwa permasalahan yang sering kita hadapi hanya karena bahasa. Konflik rumah tangga berakar dari kesalahfahaman istri dengan sang suami. Keributan di panggung politik juga bermula karena ketidakfahaman para pakar antarbahasa politik dengan bahasa hukum, budaya, dst. Kita hanya mempelajari satu bahasa tanpa mengenal bahasa yang lain. Sehingga terjadilah kebutaan sosial dalam kehidupan. Yang semula penuh kebersamaan menjadi terpecah belah menjadi sekte-sekte aliran. Seandainya kita faham bahasa mereka dan bisa mengungkapkan bahasa kita kepada mereka niscaya kerukunan senantiasa terjalin.

Maka sangat benar apa yang dikatakan dalam lirik lagu Syair Tanpo Waton yang dinisbatkan kepada almarhum Gus Dur “Duh bolo konco prio wanito, ojo mung ngaji syariat bloko, gur pinter dongeng nulis lan moco, tembe mburine bakal sangsoro.” Dalam syair itu diungkapkan, seorang ahli agama jangan puas kalau hanya menguasai ilmu syariat saja, tanpa mengenal akhlaq tashawwuf, tarekat ma’rifat, juga cabang-cabang disiplin ilmu lainnya. Sehingga diharapkan, dalam kehidpuan yang universal ini kita bisa membuka mata lebar, tidak sempit dengan satu bahasa saja. WaLlahu A’lam.

Jakarta, 8 Maret 2011

*) Santri Ponpes Tebuireng Jombang