Membaca Kritik Sastra dengan Pendekatan Feminisme
Asep Sambodja*
Sinar Harapan, 1 Maret 2008
SUNGGUH menarik membaca artikel Gadis Arivia, ”Calon Arang Calon Feminis: Kisah Pramoedya dan Kisah Toeti Heraty” yang dimuat di Jurnal Perempuan edisi 30 (2003). Dalam artikel itu, Gadis menyebut Pramoedya dan Toeti adalah feminis sejati. Hanya saja, ketika keduanya menulis tentang dongeng Calon Arang, timbul masalah, ”adakah di antara mereka dalam karya Calon Arang yang telah membelot dari feminisme?”
Jawaban yang ditemukan Gadis dalam analisisnya adalah: Pram masih terkungkung pada misi manusia modern. Sebuah misi yang memperjuangkan ide-ide besar semangat universalisme dan kebenaran tunggal, perjuangan kemanusiaan yang baik melawan kekuasaan yang jahat.
Ide-ide besar ini, kata Gadis, sudah tentu mementingkan peranan rasio, lalu, mau tidak mau Pram akan mengenyampingkan dahulu tetek bengek perempuan, tidak ada waktu baginya memikirkan problematik seorang janda. Itu sebabnya Calon Arang bagi Pram menjadi gender neutral, tidak ada sexual difference, sangat klop dengan pemikir-pemikir zaman modern—yang di mata Gadis para patriarch itu telah meminggirkan suara-suara marjinal seperti perempuan.
Sementara Toeti Heraty, menurut Gadis, ketika menulis Calon Arang telah sampai pada tahap feminine writing sebagaimana dikatakan Helena Cixous—seorang novelis dan feminis yang berkiblat pada filsuf postmodernisme Jaques Derrida.
Gadis menambahkan, feminine writing yang dilakukan Toeti Heraty terlihat bebas, liar dengan imajinasi, tanpa kekangan, kata-kata yang terus mengalir tidak bisa dibendung, ia melepaskan ikat tali segala norma-norma yang melilit. Calon Arang memperlihatkan kepada kita bahwa perempuan mampu memberontak dengan membiarkan bahasa-bahasanya berlari bebas ke segala arah.
Gadis Arivia tidak sependapat dengan pernyataan Keith Foulcher dalam epilog buku Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki (2000) karya Toeti Heraty, yang menyebutkan bahwa karya Toeti mengajak pembaca untuk berpikir. Menurut Gadis, karya Toeti itu mengajak pembaca untuk bergairah, karena dengan gairah atau keinginan, dan bukan rasio, perempuan dapat bebas dari struktur-struktur pemikiran yang sudah dipatok oleh laki-laki. Karena pada akhirnya toh perempuan hanya dapat bebas dari penindasan bila ada gairah/keinginan dan bukan rasio.
Dari uraian di atas kita dapat mengetahui bahwa tidak ada sebuah karya sastra yang netral. Baik Calon Arang (1999) karya Pramoedya Ananta Toer—buku ini diterbitkan kembali dengan judul Cerita Calon Arang (2003) oleh penerbit Lentera Dipantara—maupun Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki (2000) karya Toeti Heraty memperlihatkan perspektif yang berbeda. Pram menuliskan dongeng yang lahir di zaman Kerajaan Kadiri itu dengan sudut pandang laki-laki, sementara Toeti menuliskannya dengan sudut pandang perempuan.
Perbedaan sudut pandang itu mengakibatkan Pram menempatkan Calon Arang, seorang janda dari desa Jirah (ada yang menulis Girah atau Dirah), sebagai tokoh jahat (antagonis), sementara Toeti menempatkan Calon Arang sebagai korban budaya patriarki.
Yang lebih menarik lagi, ketika artikel Gadis itu dibukukan dalam Feminisme: Sebuah Kata Hati (2006), judulnya mengalami perubahan yang signifikan. Kalau dalam Jurnal Perempuan artikel itu masih berjudul ”Calon Arang Calon Feminis: Kisah Pramoedya dan Kisah Toeti Heraty”, maka dalam buku Feminisme itu artikelnya sudah berubah menjadi ”Calon Arang, Sudah Feminis!”. Padahal, isi artikelnya tidak mengalami perubahan yang prinsipil.
Sebenarnya artikel itu berasal dari makalah yang disampaikan dalam diskusi karya sastra di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 17 April 2003. Judul artikelnya masih netral: ”Calon Arang: Korban Patriarki atau Teror?”. Jadi, dengan isi tulisan yang sama, artikel itu sudah mengalami tiga kali perubahan judul.
Dari sini pun kita dapat melihat bahwa pembaca pun tidak netral dalam menilai karya sastra. Artinya, suatu karya sastra bisa menimbulkan penafsiran yang berbeda, yang dilakukan oleh pembaca yang menggunakan perspektif yang berbeda.
Apa yang bisa dipelajari dari artikel Gadis Arivia yang menyebutkan ”Calon Arang, Sudah Feminis!” ini?
Pertama, seperti yang telah disebut di atas, tidak ada karya sastra dan kritik sastra yang netral.
Kedua, baik karya sastra maupun kritik sastra sangat dipengaruhi ideologi pengarang/kritikus.
Ketiga, jangan berharap ada kebenaran tunggal dalam karya sastra maupun kritik sastra, yang ada hanyalah kebenaran relatif.
Keempat, unsur subjektivitas dalam menulis karya sastra maupun kritik sastra sangat tinggi, karenanya karya sastra maupun kritik sastra harus dibaca secara kritis pula, tapi jangan anarkis. Kalau ada perbedaan pandangan, jangan lantas pengarangnya dihukum mati atau karyanya dilarang terbit, melainkan perlu dilahirkan wacana alternatif yang dapat mengimbanginya.
Kelima, dongeng, cerita lisan yang sekarang banyak ditransformasi ke dalam karya sastra, ternyata masih memiliki daya pikat hingga kini. Bagaimanapun, dongeng yang disampaikan secara lisan maupun tulisan bisa mempengaruhi pola pikir pembacanya. Karena itulah pola pikir pembaca yang dinilai merugikan kaum marjinal dicoba untuk didekonstruksi. Apa yang dilakukan Toeti Heraty itu merupakan upaya mendekonstruksi pola pikir masyarakat yang telah menempatkan Calon Arang, seorang perempuan, seorang janda dari desa Jirah, sebagai penjahat.
Keenam, yang merupakan gagasan penting yang hendak saya kemukakan dalam tulisan ini, bahwa dongeng atau karya sastra itu tidak lepas dari konteks zamannya. Dalam Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer, tokoh-tokoh yang sering disebut adalah Raja Sri Baginda Erlangga, Empu Baradah dari Lemah Tulis, Empu Bahula, selain Calon Arang dan anaknya yang cantik jelita, Ratna Manggali.
Dalam buku Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2 (1973) karya R. Soekmono, Airlangga dan mpu Bharada itu tokoh yang benar-benar ada. Ketika Airlangga mengalami kesulitan untuk membagi kekuasaan kepada kedua anak laki-lakinya, maka mpu Bharadalah yang mengusulkan pembagian kerajaan Daha menjadi dua: Kadiri dan Jenggala (Soekmono, 1973: 57). Lalu, siapa Calon Arang itu? Atau, Calon Arang merepresentasikan siapa?
Sayang, dalam buku sejarah itu kurang detail informasinya. Yang ada hanyalah, ketika Airlangga menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di sekelilingnya, ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang perempuan. Soekmono menuliskan, Airlangga menaklukkan ”seorang raja perempuan yang dikatakan seperti raksasa dalam tahun 1032”.
Dan dongeng Calon Arang pun lahir pada zaman kerajaan Airlangga, sehingga bisa jadi dongeng itu diciptakan untuk mendeskreditkan ”seorang raja perempuan yang dikatakan seperti raksasa” itu.
Dongeng tersebut mengalami perkembangan dan perbantahan hingga sekarang, seperti yang ditulis Toeti Heraty, ”Riwayat Calon Arang dikisahkan kini sebagai perempuan korban patriarki, mungkin memang ada peristiwa nyata di Kerajaan Erlangga abad kesebelasan, lalu mengalami berbagai distorsi, kemudian mengalami Balinisasi. Sementara persepsi masa kini mendudukkannya tanpa pretensi kebenaran sejarah, hanya demi rehabilitasi dan empati dalam rentang waktu dan keabadian: secuil kebenaran dan keadilan” (2000: 73).
Sebuah dongeng ternyata menyimpan konflik tersendiri. Dan, benarkah dongeng senantiasa mendeskreditkan perempuan?
***
*) Asep Sambodja, penyair dan dosen sastra di FIB UI.