Mendialogkan Keberadaan Gathak dan Gathuk

M.D. Atmaja

Keresahan itu selayaknya kawan mesra yang kedatangannya tanpa harus kita rindukan, juga seringkali datang tanpa terlebih dahulu membuat janji. Resah yang memang terlahir dari keinginan diri – yang dalam bahasa kerennya: mimpi – yang belum sempat tergapai. Berangkat dari keinginan ini, manusia dapat dikatakan memiliki sifat hidup. Akantetapi, tidak lantas kita langsung menterjemahkan kalau “keinginan” itu memiliki arti mengenai “hidup”, sebab hal tersebut tidak ada di dalam kamus, dan masyarakat Jawa lebih senang dalam “sepi ing pamrih” serta untuk “mati selagi hidup dan hidup selagi mati”.

Melepaskan paradigma hidup manusia Jawa yang super rumit, bahwa keinginan sebagai pendorong bagi manusia untuk bergerak di atas dunia. Bergerak untuk mengisi perjalanan waktu dengan sesuatu (kegiatan) yang dapat membawa pada pencapaian mimpi, yang akhirnya akan membawa kita pada mimpi(-mimpi) yang lain. Kita sama-sama menyadari jikalau salah satu watak manusia yang teramat menonjol adalah ketidak-puasan.

Pembentuk dari watak manusia ini oleh keinginannya sendiri yang terkadang teramat sederhana: Hanya menjadi Bupati, meskipun itu adalah Bupati Kethoprak. Manusia yang jauh dari kepuasan, tidak menunjukkan suatu sifat buruk. Jikalau saja manusia melepaskan segala keinginannya, maka manusia tidak akan hidup lagi. Pohon, bebatuan juga memiliki keinginan (dan hanya sebangsa mereka saja yang tahu keseluruhannya).

Hari ini terasa lebih melelahkan setelah beberapa saat berkutat dalam perselingkuhan dengan teknologi. Sampai seorang kawan dari Lamongan menginjakkan kakinya di Yogyakarta, singgah ke kantor cerpenis teguh Winarso AS. Sebenarnya sudah dari tadi malam (Rabu 16 Maret 2011) kawan saya dari Lamongan itu datang. Tapi sayang, saya tidak bisa beranjak dari meja kerja untuk menyambut sebab di malam yang sama saya sudah memiliki janji dengan saudara: Kangmas Gathak dan Dhimas Gathuk,untuk membahas mengenai keberadaan mereka dalam dunia modern.

Gathak dan Gathuk suatu wacana mengenai ilmu pengetahuan yang tidak ter-teks-kan, akantetapi memberikan ruang lingkup yang cukup banyak. Dua unsur kehidupan yang diproduksi oleh masyarakat Jawa ini sarat akan nilai, yang kalau dalam pandangan Husserl disebut sebagai “dunia kehidupan” masyarakat Jawa. Gathak dan Gathuk adalah dua unsur berbeda yang menjadi satu dan sekaligus utuh serta menyeluruh (holistik). Tidak boleh dipisahkan satu sama lain, karena dengan meng-gathak menjadi gathuk (sesuai). Hal yanng terkesan remeh dan tidak memiliki suatu sistem ilmiah. Tapi masak iya seperti itu? sekarang kita lihat, bahwa di dalam berbagai ilmu sosial (filsafat) faktor utama apa yang menjadi pijakan? Kalau menurut saya, faktor tersebut adalah pengalaman manusia.

Aspek pengalaman sebagai bahan dasar dari ilmu pengetahuan. Paradigma Fenomenologi mengkhususkan diri untuk menjadikan pengalaman sebagai bahan kajian utama, begitu juga dengan paradigma ilmu pengetahuan lain yang berangkat dari pengalaman.

Bagi saya, Gathak dan Gathuk adalah bagian dari ilmu sosial kita (masyarakat Jawa secara khusus), yang memiliki nilai keilmiahan tersendiri. Hanya saja teks yang menguatkan keilmiahan Gathak dan Gathuk, saya belum ditakdirkan untuk menemukan teks tersebut. Marilah kita berusaha menilik dari landasan berikut: Ketika ilmu pengetahuan, khususnya Fenomenologi, mendasarkan kajian analisis pada pengalaman manusia, hal ini juga dapat kita temukan dalam paradigma Gathak-Gathuk. Pengalaman yang digunakan paradigma gathak dan Gathuk untuk menjelaskan suatu kejadian (bahasa ilmiahnya: fenomena) adalah dengan memanfaatkan kajian “(ilmu)titen”. Istilah ini dari bahasa Jawa yang merujuk pada tindakan untuk mengingat atau memberikan tanda (sebagai pengalaman) atas suatu pengalaman manusia. Gathak dan Gathuk membuat kesimpulan dengan berdasarkan pengalaman terdahulu.

Paradigma Gathak dan Gathuk sebagai ilmu Fenomenologi Jawa. Ilmu asli manusia Jawa yang juga berkembang pesat di Barat dengan istilah lain. Antara Fenomenologi dan Gathak-Gathuk, sejauh pengamatan saya sampai hari ini hanya memiliki perbedaan istilah, namun keduanya memiliki esensi yang sama: Pengalaman dunia kehidupan. Bukankah Fenomenologi sebagai pengalaman subjektif (pengalaman fenomenologikal) atau berdasarkan pendapat Husserl bahwa fenomenologi sebagai studi mengenai kesadaran dari perpektif pokok dari seseorang. Sekarang kita mencoba membandingkan dengan paradigma Gathak-Gathuk, bahwa “(ilmu)titen” atau mengingat adalah sebagai buah dari pengalaman subjektif (pengalaman fenomenologikal) dan kerja Gathak-Gathuk sebagai studi kesadaran di dalam menterjemahkan (atau memaknai) suatu fenomena.

Dapat saya pastikan, bahwa dari publik yang membaca ini akan mengatakan: Gathak-Gathuk itu tidak empiris. Memang akan terlihat tidak empiris bagi masyarakat yang tidak mengerti dengan proses kerjanya, akantetapi Fenomenologi pun menentang apa yang dinamakan sebagai empirisme. Fenomenologi hanya mendeskripsikan dunia setiap orang, juga mengenai sumber yang “tidak-disadari” yang mengorganisasikan kesadaran. Untuk lebih jauh lagi pembasahan mengenai paradigma Gathak-Gathuk akan saya uraikan dalam “JURNAL PEMBACA” Indonesia, yang semoga saja dapat terbit di awal April 2011 ini.

Kegelisahan itu yang menjadikan saya tega (ditambahi dengan beberapa alasan lain) untuk membiarkan kawan saya (Nurel Javissyarqi) untuk naik ojek. Baru tadi siang saya bisa mengusahakan untuk pergi, meski sepeda motor yang saya pakai sempat mogok berkali-kali. Pertemuan saya dengan Cak Nurel, sembari makan soto yang ternyata mahal, kami berbincang ngalor kemudian pergi ngidul (untuk ngalor dan ngidul lagi). Pembicaraan biasa, masalah lelaki, namun yang karena suatu tekatnya (niat baiknya) membawa pembicaraan itu ke masalah Kritik Sastra. Dari perbincangan beberapa menit, saya menemukan hal baru, mengenai keberadaan sastrawan dan kritikus sastra dan jarak diantara keduanya. Sketsa pembatas yang tidak dimengerti, kenapa harus ada diantara keduanya yang membuat dua hal ini berjarak dan terkesan “tidak-cocok”? Tapi jarak itu masih samar mengingat pandangan yang masih juga terhalangi.

Kritikus sastra terkesan elitis dengan berbagai titel dan jabatan yang mereka genggam, yang mungkin juga karena berbagai pengetahuan yang sudah direguk habis dalam studi panjang yang tidak murah. Sikap elitis itu, karena mereka sudah mendapatkan sebutan “kritikus sastra”, dapat saya pahami. Berdasarkan pengalaman semasa kuliah ketika menemukan fenomena “unik”. Yaitu ketika seorang kawan yang sedang menulis tugas akhir, kawan saya ini lupa menuliskan gelar S3 dosen pembimbingnya, yang karena memang baru saja lulus. Langsung saja si dosen yang sangat ilmiah ini tidak mau mengoreksi lantaran gelar yang besar itu tidak mengiringi nama panjangnya dan bilang: Saya kuliah untuk gelar ini perlu perjuangan yang tidak gratis. Fenomena yang memberikan saya bahan untuk melucu sembari menghabiskan Klembak-Menyan di warung kopi: ternyata seperti itu, gumam saya.

Kritikus yang elitis dengan menyandang gelar profesor, mungkin saja sudah merasa memiliki penguasaan ilmu yang tinggi. Menjadikan mereka tidak memiliki waktu lagi untuk memperhatikan gelisahan-gelisahan sastrawan dan juga kritikus sastra yang masih berumur 26 tahun dan bergelar S.S. (yang kata orang disebut sebagai: Sarjana Sudjana).

Ke-elitis-an seorang kritikus, mungkin disebabkan beberapa faktor lain. Misalnya saja, ketika ada sastrawan yang tiba-tiba mengajak berkomunikasi langsung mendapat dakwaan bahwa ada udang di balik batu (meski kadang di balik batu juga ada cacing). Maksud saya sebagai keinginan lain, untuk diangkat namanya melalui kegiatan Kritik Sastra sehingga si sastrawan menjadi populer (toh akhirnya “pop” juga) dan tercatat ke dalam buku besar sejarah sastra. Eh, tapi tenang saja, kelau semisal M.D. Atmaja berusaha membangun komunikasi itu hanya disebabkan faktor untuk mereguk tetesan embun sebagai saripati malam. Tidak lebih dari itu, sebab tidak mempermasalahkan akan tercatat ke dalam sejarah sastra yang super buram itu. Hal yang paling penting bagi seorang M.D. Atmaja adalah tercatat di dalam hati manusia. Jailah, saya langsung teringat dengan puisi Jalaluddin Rumi: “Kalau kita mati jangan mencari nisan di bumi, dapatkan itu dalam hati manusia.”

Akantetapi mungkin juga jarak diantara kritikus dengan sastrawan disebabkan dari sisi sastrawan itu sendiri. Maklum saja, sebagai seorang pemanifestasi saripati dunia, sastrawan terkadang bersifat “unik” (terjemahkan saja menurut interpretasi setiap kita). Atau memang barangkali musti ada jarak diantara mereka? Biarlah ini menjadi bahasan lain di lain kesempatan.

Dalam pembicaraan dengan Cak Nurel saya juga mendapatkan teguran, bahwa menurut beliau saya banyak menggunakan pengulangan yang tidak berarti apa-apa. Lha, langsung saja saya bantah dengan berstatmen kalau pengulangan-pengulangan itu sebagai teknik penyampaian pesan. Terkadang dengan pengulangan itu saja, kita masih jarang untuk mengerti akan pesan yang tertuang dalam sebuah karya, pesan atas sebuah pertanda. Kalau membicarakan pesan di dalam tanda, ujung-ujungnya saya akan membicarakan masalah Gathak dan Gathuk lagi, karena itu lebih baik kalau hal ini dikesampingkan lebih dahulu.

Kita langsung saja merujuk pada contoh: Televisi yang seringkali kita tunggui, berapa kali melakukan pengulangan iklan sampai menghabiskan biaya ber-M-M bahkan lebih (ber-M-M membuat saya teringat dengan cerita para pengikut Nabi yang merayakan ultah nama kumpulan dan menghabiskan ber-M-M itu, padahal Nabi berpesan: Hidup dengan sederhana).

Pengulangan adalah teknik penulisan dalam rangka menyampaikan pesan. Lha, pesan yang disiarkan lima kali dalam sehari masih nampak menjadi pesan (seruan) yang tidak sampai, apalagi kalau disampaikan sekali juga dengan bahasa yang rumit?

Semua ini, hanya tentang diri saya sendiri.

Sampai tiba waktunya saya beranjak pulang, Cak Nurel membingkisi dengan dua hal. Salah satunya 2 eksemplar buku yang baru selesai dicetak sebagai bingkisan manis dari Penerbit Pustaka Pujangga. Buku kumpulan cerpen yang juga mendapatkan dukungan (kata-kata) dari beberapa orang terkenal (masak seperti Pilpres, perlu dukungan?) Dalam kumpulan cerpen itu, baru saya ketahui kalau di dalamnya karya-karya lama yang sudah lama dan tercecer di mana-mana. Oh,.

Tulisan mengenai kumpulan cerpen itu akan saya teruskan besok. Malam sudah larut. A.R. Fadlurrahman juga sudah lelap setelah menangis karena lapar. Maklum, anak kecil suka menangis kalau lapar sebab belum bisa mengatakan: Pak, inyong kencot. Menangis seperti manusia dewasa di saat-saat tertentu. Ketakutan pada lapar yang akhirnya menggadaikan diri (identitas dan esensi) demi bisa makan dengan lezat dan mewah. Hanya makan saja lho, belum yang lainnya lagi. Bahkan mereka, ada yang sampai korupsi, bahkan mereka yang sudah “haji” dan mengatas-namakan pengikut Nabi.

Saya akhiri tulisan ini karena sudah waktunya untuk mengisi malam dengan perjalanan yang lain. Semoga bermanfaat. Amin.

Bantul – Studio SDS Fictionbooks, Kamis Wage – malam Jumat Kliwon, 13 Maret 2011.