Judul : Merapi dan Orang Jawa; Persepsi dan Kepercayaannya
Penulis : Lucas Sasongko Triyoga
Penerbit : Grasindo, Jakarta
Tahun : I, 2010
Tebal : xxiv + 232 halaman
Harga : Rp. 47.000,
Peresensi : Muh. Muhlisin
Meletusnya Gunung Merapi yang dimulai sejak 26 Oktober 2010 dan telah menimbulkan kerugian yang bukan hanya mata pencaharian, tetapi nyawa pun turut melayang, sebenarnya adalah pelaksanaan kodrat Merapi untuk memupuk bumi, membersihkan lingkungan, merias diri dan menempa mental masyarakat di sekelilingnya. Kalaupun ada penilaian lain yang sangat negatif dan menyankitkan, bahwa peradaban Yogyakarta akan lebur karena letusan Gunung Merapi. Wong Jowo (orang Jawa) di sekitar Gunung Merapi, Yogyakarta dan Jawa Tengah yang masih terkait oleh nilai-nilai kebudayaan Ngayogjokarto Hadiningrat, tetap menanggapi secara santun.
Demikian yang tersirat dari buku Merapi dan Orang Jawa; Persepsi dan Kepercayaannya hasil tulisan Lucas Sasongko Triyoga. Meski ditulis berdasarkan penelitian lebih dua puluh tahun silam, buku ini masih relevan dengan situasi terkini. Pembaca dibawa pada sebuah pemahaman bersama betapa sesungguhnya ada spirit, ada dorongan, yang membuat masyarakat masih percaya dan betah tinggal di sekitar Gunung Merapi.
Sepanjang sejarah, letusan gunung Merapi saat ini bukanlah yang pertama. Tahun 1006 Masehi, Merapi telah meletus. Sebagai hasil dari letusan ini sebagian runtuh dan slide ke atas barat daya, ditangkap oleh Menoreh Hills, kemudian membentuk gundukan-gundukan bukit yang dikenal sebagai Gendol Hills.
Dalam rentetan sejarah lainnya, letusan Merapi terjadi pada tahun 1672. Saat itu, muncul awan panas dan banjir lahar hujan yang menelan 300 jiwa manusia. Lantas, letusan tahun 1930-1931 menelan korban 1.369 orang meninggal. Letusan-letusan lainnya terjadi tahun 1954, 1961, 1969, dan 1972-1973, dengan korban jiwa (masing-masing) puluhan orang.
Pada 22 November 1994, Merapi mengeluarkan wedus gembel ke arah Kali Boyong, menelan 67 korban manusia. Pada Februari 2001, gunung ini kembali mengeluarkan guguran kubah lava yang membentuk awan panas. Arah guguran pada waktu itu ke selatan-barat daya. Kepulan wedus gembel terlihat dari Kecamatan Depok yang berjarak 25 kilometer dari puncak.
Cerita soal letusan Merapi sebelumnya belum banyak atau malah tidak pernah ditulis dalam catatan sejarah dan baru ditulis pada abad V. Pada priode ini, letusan Merapi mulai didokumentasikan melalui catatan sejarah ataupun prasasti. Prasasti Rukam berangka tahun 829 Saka atau 907 Masehi yang ditemukan di Temanggung, Jawa Tengah, menyebutkan desa Rukam pernah dilanda bencana letusan gunung berapi.
Dalam Babad Tanah Jawi juga diceritakan bahwa pada tahun 1672, Merapi menimbulkan suara menggelegar dan menakutkan. Batu-batu besar beradu, berterbangan bersama api. Jawa bagian tengah dilanda hujan abu, lahar mengalir ke sungai. Desa-desa hancur dan lenyap tertimbun abu. Kematian menyelimuti Kerajaan Mataram. Hingga, rakyat Mataram ketakutan ketika lahar panas dan hujan abu menerjang.
Dahsyatnya letusan gunung Merapi itu, konon telah mengubur peradaban manusia yang tengah berada di masa kejayaan Mataram Kuno sekitar abad ke IX. Kerajaan besar itu terpaksa mengalah dan pindah kewilayah yang jauh dari amukan sang gunung. Letusan dahsyat pada tahun 1006 juga telah mengubur Candi Borobudur, yang berjarak sekitar 30 kilometer arah barat Merapi.
Analisis sejarah ini bersinggungan dengan mitos Roro Jonggrang, sosok sentral dalam Candi Prambanan yang juga menceritakan kedahsyatan letusan Merapi. Peperangan antara Bandung Bondowoso dan Prabu Boko (ayah Roro Jonggrang yang menolak pinangan Bandung Bondowoso) berlangsung seru dan berhari-hari. Begitu dahsyatnya peperangan, sampai membuat Merapi meletus dan menyebar luas ke mana-mana.
Cerita ini hanyalah sekelumit dari sejarah meletusnya Merapi. Sampai saat ini letusan Merapi tidak terhitung jumlahnya, peradaban pun ikut timbul-tenggelam bersama arus aktivitas Merapi. Aktifitas merapi memang telah banyak mengubur kota-kota kuno yang berada di daerah sekitarnya. Merapi tidak hanya identik dengan Yogyakarta saja. Mulai dari Muntilan, Yogyakarta, Klaten, dan Boyolali adalah kota-kota yang melingkari Merapi.
Di kota-kota itu telah ditemukan situs-situs yang menandai peradaban besar di masa lampau. Keberadaan situs-situs berupa candi, dalam beberapa hal bisa dikatakan bahwa candi-candi itu pada massanya bukan hanya sebagai tempat peribadatan saja, melainkan juga sebagai pusat pengembangan teknologi, budaya, ekonomi dan politik. Alasannya sangat jelas, orang membuat candi tentulah mempunyai teknologi, membuat relif tentu juga harus ada teknologinya.
Namun sayangnya, masyarakat tidak mau tau-menau tentang semua itu. Padahal, itu adalah khazanah peradaban warisan Merapi. Bebatuan yang dihasilkan dari letusan Merapi, memberikan kontribusi besar dalam menciptakan teknologi pembuatan candi. Di sisi lain, perkembangan ekonomi juga cukup pesat, karena pertanian dan perternakan juga cukup maju, lantaran kawasan di lereng Merapi cukup subur.
Merapi telah memberikan berkah berupa lumbung pangan. Saat ”tidur”, Merapi sejatinya memegang peran vital bagi DIY dan tiga kabupaten lain di Jateng yang melingkarinya, yakni Magelang, Klaten, dan Boyolali. Ia menjadi sandaran hidup bagi ratusan ribu penduduk yang menjual pesona keindahannya, minum dari mata airnya, memanen dari kesuburan tanahnya, dan mengeruk pasirnya.
Praktis, sepanjang tahun Merapi memberikan banyak berkah kepada masyarakatnya. Kesuburan tanahnya tidak hanya memberikan hasil aneka sayur dan hasil pertanian lainnya, tetapi juga rumput-rumput yang seolah tumbuh tiada henti, menjadi ajang ternak sapi perah yang menjanjikan. Ini yang menjadikan Boyolali (Jateng) dan Cangkringan (Sleman) dijuluki sebagai gudang emas putih karena produksi susunya.
Sehingga bisa dikatakan bahwa aktivitas Gunung Merapi bukan bencana, tetapi tempaan lahir batin bagi masyarakat Ngayogyakarta Hadiningrat sebelum naik ke tataran derajat kehidupan yang lebih tinggi. Para peramal minir melihat hubungan sejati antara Gunung Merapi dan masyarakat, Yogyakarta yang Istimewa akan semakin istimewa usai Gunung Merapi malakukan pendadaran.
Peresensi adalah Penggiat Kajian Sejarah Di Padepokan Zainal Arifin Thoha (P-zat)
Sumber: http://balaibelajarbersamayuk.blogspot.com/2011/01/merapi-mengukir-peradaban-yogyakarta.html