Emil W. Aulia *
ruangbaca.com
TIDAK banyak karya sastra, novel atau cerpen, yang layak dijadikan referensi penulisan buku-buku teks akademis. Namun karyakarya fiksi karangan Madelon Hermina Szekely-Lulofs, sepertinya, adalah pengecualian. “Tidak perlu diragukan, semua insiden yang diuraikan Lulofs dalam novelnya adalah nyata,” kata Anthony Reid, peneliti sejarah dari Australian National University.
Beberapa buku sejarah tentang kehidupan di perkebunan Deli, Sumatera Timur, masa kolonial mencantumkan nama dan buku-buku fiksi Lulofs di dalam daftar referensinya. Di antaranya Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria karangan Karl J. Pelzer (1985) atau Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera buah pena Anthony Reid (1987). Lihat juga Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera karangan Ann Laura Stoler (1870-1979).
Beberapa bagian novel Lulofs juga dicuplik dalam artikel ilmiah di jurnal sejarah, makalah seminar, skripsi dan disertasi mahasiswa yang belum diterbitkan. Bahkan, nama dan karya penulis perempuan berkebangsaan Belanda itu juga dinukil dalam artikel feature di majalah hingga buku panduan wisata.
Setidaknya ada dua novel Lulofs yang paling banyak dikutip, yaitu Rubber (terbit tahun 1931) dan Koelie (1932). Keduanya berkisah tentang kuli kontrak dan tuan kebun di perkebunan Deli, Sumatera Timur. Bagi sejumlah sejarahwan, kedua novel ini layak dijadikan sumber penulisan sejarah karena cerita, setting, peran dan karakter yang dimainkan tokohtokohnya, memungkinkan mereka mengungkap gambaran masa silam yang terjadi di Deli, persisnya pada era 1920-an, saat industri perkebunan di daerah pesisir timur Sumatera itu mencapai puncak kejayaannya.
Rubber lebih banyak mengungkap suka duka kehidupan warga Eropa di perkebunan Deli. Koelie adalah pendalaman yang lain. Novel ini menelusuri kehidupan dunia mental para pekerja kasar Jawa, kelompok yang membanting tulang sepanjang hari, menjadi mesin utama industri di perkebunan. Bagi mereka, hidup di perkebunan adalah perbudakan.
Koelie dimulai dari sosok Ruki, seorang pemuda asal Jawa yang digambarkan Madelon sebagai wakil dari ribuan orang yang direkrut dari pelbagai pelosok Jawa untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja di Deli. Suatu hari, seorang werek (agen pencari kerja) datang ke desanya yang miskin. Werek membawa kabar tentang tanah Deli yang ajaib. Di Deli, katanya, emas murah, banyak hiburan wayang, perempuan, dan bebas berjudi.
Ruki termakan rayuan itu lalu meneken kontrak. Sejak itu resmilah ia menyandang sebutan kuli kontrak, sosok manusia yang, menurut Lulofs, telah tergadai jiwa dan raganya. Bekerja di perkebunan karet, Ruki dan kuli-kuli Jawa lainnya menjalani hari-hari penuh caci maki, kerja keras, dan hukuman pukultendang. Semua kekasaran ini, buah dari penerapan kebijakan poenale sanctie, aturan hukum yang dibuat pemerintah Belanda untuk para kuli yang bekerja di perkebunan.
Hidup di perkebunan bagi Ruki adalah derita tanpa akhir. Seperti kebanyakan kuli, ia tidak bisa pulang ke Jawa atau meninggalkan perkebunan meski kontrak telah selesai. Penyebabnya, mereka tak punya uang cukup sebab upah kecil yang mereka terima setiap bulannya habis tersedot ke meja judi, rumah candu, dan barak pelacuran yang sengaja dibiarkan tumbuh subur di perkebunan.
Belanda sontak heboh saat kedua novel itu terbit untuk pertama kalinya. Para pendukung kapitalisme dan kolonialisme menyerang Lulofs. Ia dianggap berpolitik karena Madelon Hermina menulis karya sastra yang memuat kritik serta menelanjangi dampak kebijakan poenale sanctie itu. Bahkan, ada pula yang menganggapnya sebagai pengkhianat.
Namun bagi penentang penjajahan, ia justru dianggap sebagai pahlawan yang berjuang melalui sastra. Sampai- sampai ada yang menjulukinya Multatuli perempuan. “Apapun keterbatasan novelnya, kita tidak punya bahanbahan yang lebih baik untuk mendapatkan gambaran tentang dunia yang luar biasa kasar di perkebunan Sumatera,” imbuh Reid.
Lulofs sendiri tak bermaksud apa. Saya tidak menulis novel politik melainkan karya sastra murni. Saya hanya mencoba sebaik-baiknya menyajikan kekasaran, kepahitan, dan kemerosotan kehidupan tropis, yang di dalamnya tersembunyi suatu tragedi yang amat besar dari penderitaan dan kesengsaraan manusia,” kata Lulofs.
***
Madelon Hermina Szekely-Lulofs lahir saat gerhana bulan di sebuah kamar di Hotel Oranje, Surabaya, 24 Juni 1899. Sulung dari empat bersaudara pasangan Claas Lulofs dan Sarah Dijkmeester ini menghabiskan masa kanak-kanaknya di berbagai daerah di Hindia-Belanda (Indonesia), mengikuti ayahnya yang sering berpindah tugas sebagai amtenar pangreh raja (binnenlandsch bestuur). Tahun 1913, ia pindah ke Negeri Belanda. Dua tahun kemudian, Perang Dunia I berkecamuk, membuat keluarganya terkena dampak lalu ia memilih kembali ke Hindia-Belanda.
Tahun 1918, ia menetap di Asahan, sekitar 125 kilometer dari kota Medan, mengikuti Hendrik Doffegnies, suaminya, seorang tuan kebun yang bekerja di perkebunan karet di daerah itu. Perkawinannya tidak langgeng. Hendrik menginginkan Lulofs menjadi istri dan ibu rumah tangga yang baik, sementara Szekely-Lulofs Lulofs membutuhkan suami yang lebih dari seorang penjaga.
Mereka pun berpisah pada 1927. Lulofs lari dari rumah dan memilih hidup bersama Laszlo Szekely, sahabat lamanya, yang juga tuan kebun di Deli. Pria Hungaria itu mendorong Lulofs mengasah bakatnya sebagai penulis. Seperti dirinya, Laszlo juga gemar menulis dan sempat melahirkan novel berlatar kehidupan perkebunan, Tropic Fever.
Pengalaman 12 tahun menetap dan melihat langsung keadaan di perkebunan, membuat karyanya solid. “Novel-novelnya memperkuat bukti-bukti dari sumber-sumber yang kurang bermotivasi estetis,” puji Ann Laura Stoler, antropolog dari Universitas Michigan, Amerika Serikat, membandingkan karya Lulofs dengan buku-buku teks di luar sastra yang juga menulis tentang kepahitan hidup di perkebunan.
Estetika yang tampil pada karyakarya Lulofs memang memukau. Pada awal peredarannya langsung mendapat sambutan hangat. Novel- novelnya disalin ke dalam pelbagai bahasa, diiringi dengan aneka diskusi dan pementasan. Pada tahun 1936, Rubber sempat difilemkan. Untuk Indonesia, karya Lulofs boleh dibilang terlambat diterjemahkan. Publik sastra di tanah air baru bisa menikmati karyanya pada tahun 1985 dengan judul Kuli dan Berpacu Nasib di Kebun Karet.
Lulofs yang dikenal suka mengutip Sutan Sjahrir itu juga menulis karya sastra lainnya; Emigranten (Emigran), De Andere Wereld (Dunia Lain), Vizioen (Impian), De Hongertocht (Perjalanan Melelahkan) De Kleine Strijd (Pertempuran Kecil), Doekoen (Dukun) dan terakhir, Tjoet Nja Din (Cut Nyak Din), novel semi- bografis pejuang perempuan Aceh termasyur dalam sejarah perang melawan kolonial Belanda.
Pada 22 Mei 1958, Madelon berbelanja di sebuah toko di Amsterdam. Tiba-tiba dadanya terasa nyeri. Ia buru-buru pulang ke rumah. Keluarganya memanggil dokter yang dengan cepat datang, lalu memeriksa. Namun ia sudah tak bernyawa. Hari itu, 48 tahun yang silam, dokter mengatakan, Madelon meninggal karena serangan jantung.
***
*) EMIL W. AULIA, wartawan Lativi. Menulis novel Berjuta- juta dari Deli: Satoe Hikajat Koeli Contract (2006)