Ngobrol Bareng Ayu Utami

Ian Ahong Guruh *
boemipoetra.wordpress.com

Minggu (1/8) malam kemaren, aku mendapat sms dari teman, “Ayu Utami ke Yogyakarta besok, senin jam 19.00..”. Waduh, senin malam. Pasti sudah lelah karena seharian harus mengurus penjualan majalah, mengambil majalah di agen, mengantar ke pelanggan2. Setelah itu, mengajar di sebuah bimbel, lalu melanjutkan mengantar. Baru malam sekitar jam tujuh selesai. Apakah sempat dan kuat? Tapi karena penasaran atas nama yang membuat kontroversial ini, dan terlebih sudah kucicipi rasanya Saman dan Larung, kedua novel pertama Ayu Utami. Kayaknya nama Ayu Utami sebegitu menjadikanku penasaran hingga aku mengusahakan untuk datang.

Untungnya waktu mengijinkan dan fisikpun dapat diajak kompromi. Banyak hal yang ada di kepala perihal nama Ayu Utami sebelumnya. Memang awalnya penuh praduga dan penasaran. Pertama kali mendengar nama dia dari beberapa teman yang mengkritik karya-karyanya, terutama Saman dan Larung. (Perihal kontroversi ini teman2 bisa coba buka google dan ketik kata “sastrawangi” dan “Perang Sastra boemipoetra vs TUK”. Lalu, untuk tercetak ada Politik Sastra karya Saut Situmorang dan Jurnal boemipoetra). Seorang teman kampus sebelah bilang dia itu feminis tapi malah mengobyekkan perempuan. Karya-karya dia bukanlah karya feminis, kata dia. Lalu, teman satu kampus bilang kalau karya dia sungguh dibesar-besarkan. Namun, menurut media arus utama, dia dicitrakan sebagai penulis besar dan terkenal. Wah-wah, ada2 aja orang kontroversial begini, yang kalau kita menyangkut dia, kita berada di pihak pro atau kontra, hampir tak bisa netral.

Akhirnya aku sempatkan baca novel Saman dan Larung, walau dua2nya pinjem..wk…wk.wk..(gaul bro). Saat membacannya, biasa-biasa saja. Datar, memang agak asik di bagian-bagian bercinta itu. Wah, imajinasi pornoku disenangkan nih. Gamblang dan menyenangkan. Bikin birahi.he..he.he…(ttiitt). Tapi, ada kata2 yang menyakitkan mataku, kata2 yang diucapkan seorang pastur lelaki, wisanggeni, terhadap perempuan gila haus seks. Bunyinya kurang lebih mengatakan andai dia perempuan dan perempuan gila itu laki-laki, dia pasti akan lebih gampang memuaskan hasrat birahi perempuan gila itu. Wah, udah mulai ndak beres ni, batinku. Ini seperti menyetujui perempuan lebih sebagai pemuas seks melulu. Tapi, secara umum biasa saja. Ide2nya juga biasa, cara penyajiannya biasa. Ada orang yang bilang plot-nya bagus dan pembaharu. Tapi aku pikir plot-nya lebih canggih Atheis karya K.Mihardja yang ditulis tahun 1943. Di Atheis, penutup cerita sudah ada di bab pertama, lalu plot berbalik dari masa lalu menuju awal, kembali pada bab pertama. Tapi, kata-kata terakhir dirancang untuk menjawab misteri di bab awal. (novelnya ada di perpus USD). Singkatnya, aku pikir Ayu Utami biasa-biasa saja.

Demikian prolognya sebelum diskusi ma Ayu Utami di Yayasan Umar Kayam, Senin (02/08).

Aku datang terlambat, entah berapa menit. Waktu datang sudah ramai, juga dia bicara apa tak jelas. setelah berusaha nyambung, baru aku tahu dia bicara tentang khasanah nusantara, juga tentang penulisan-penulisan sastra, terutama perihal sejarah yang terlupakan. Dia sebut-sebut FPI dan krisis pasca-reformasi adalah kekerasan terhadap umat beragama.. juga dia sebut religiositas kritis. Religiositas kritis itu istilah yang dia pakai untuk menekankan bahwa kita bsa beriman sambil tetap kritis, bahwa berpikir, kritis tidak harus meninggalkan iman. Ayu Utami ambil contoh para pemikir yang “Eropa, Kiri, rasional” yang mengatakan meninggalkan iman itu merupakan suatu tahap selanjutnya (ini kayaknya tahap2nya August Comte dech..bukan semua bilang gitu, Nietzsche aja yang Atheis ndak mempermasalahkan politheisme (baca Anti-christ dan The Gay Science)).. Hmmm……bahasanya aneh dan tak aku mengerti…..

Setelah ada kesempata bertanya, kok ndak ada yang tanya ya? Ya udah, iseng aja sambil makan gorengan dan kacang aku tanya. “apa yang Anda maksud dengan khasanah nusantara? Terus, tentang FPI, apakah Anda memuat hingga aliran dana dari mana, lalu pendukung politiknya dari mana. Terus, kata “religiositias kritis” serta stereotip2 dia tentang agama yang timur dan barat yang rasional, gak beda jauh ma jaman penjajahan yang slogan rasisnya si Kipling terus didengung-dengungkan bahwa barat adalah barat, timur adalah timur, keduannya tak mungkin bersatu. Gak ada bedannya ma zaman penjajahan dong dia?

Ayu menghindari menjawab pertanyaan2ku atau lupa ya? Dari tiga itu, cuman satu yang dijawaba…waduh2..tobat…ya udah, biar temen2 dapet jatah kan nanti ada dinamika lagi. Setelah itu, ada sepasang pria dan perempuan paruh baya yang bertanya, tapi menurtku mereka seperti inferior dan termakan mitosnya Ayu Utami yang ada di media masa. Merek tampak kagum sama Ayu. Bahkan ada yang mengatakan, aku sudah membaca semua karya Ayu Utami.

Setelah itu, ada seorang temanku menanyakan rentetan pertanyaan, ada lebih dari sepuluh kalau gak salah. Dari reaksi Ayu ma temanku itu, baru aku sadar, kayaknya si Ayu ini memang suka ndak njawab pertanyaan nih. Bahasa gaulnya, ngeles gitu bro..kecuali, dia memang gak paham pertanyaannya. (Hanya Ayu tahu mana yang benar, tapi kayaknya kedua tuduhanku kok gak enak semua ya? ha..ha.h.a.)

Contohnya, membantah klaim Ayu bahwa bilangan berbasis 10 merupakan bilangan berbasis tubuh dan bilangan berbasis 12 adalah bilangan berbasis alam, temanku berkata bahwa matematika berbasis bilangan sepuluh, yang menurut Ayu berbasis tubuh, sebenarnya bukanlah berbasis tubuh. Di esai karangan Alan Bishop berjudul “Western Mathematics: A Secret Weapon of Cultural Imperialism” dijelaskan ada 600 bahasa di Papua New Guinea dan ratusan sistem berhitung. Dan yang banyak yang berbasis tubuh, bukan cuman bilangan sepuluh. Tubuh yang bilangannya sepuluh tu cuman jari. Kenapa dikaitkan dengan tubuh bilangan sepuluh? Bilangan-bilangan lain juga ada yang menggunakan tubuh untuk berhitung. Lalu, pertanyaan menarik, temanku ini membantah pernyataan Ayu bahwa sastra memang mainnya halus, tidak terang-terangan. Dia mengambil contoh puisi2 Wiji Thukul yang blak-blakan. Apakah itu dianggap bukan sastra? Temanku ini mengingatkan pertanyaanku tentang FPI yang belum dijawab tadi. Terus, temanku juga membantah bahwa sastra itu tidak berbahaya bagi kekuasaan, lalu dia menanyakan kenapa sastra, dari sastra kanan hingga kiri, tidak diajarkan di sekolah menengah?

Jawaban2 Ayu kurang lebih seperti ini, jika aku ingin mengangkat bilangan berbasis 12 bukan berarti tidak ada bilangan lain. Dan Ayu menuduh temanku berpikir dikotomi ( berpikir seperti hitam putih dan tidak ada warna lain). Jadi, Ayu mengambil perumpamaan, jika aku mengatakan Romo Mangun bagus, bukan berarti aku mengatakan Pramoedya jelek. Kok bisa dikotomi? Anda harus meninggalkan pemikiran dikotomi. Ha? Padahal kan temanku itu bilang dia ingin menanyakan perihal bilangan yang berbasi tubuh kok bisa hanya bilangan sepuluh? Bukankah ini sama sekali ndak nyambung? Tanya A jawabnya B. Aku jadi berpikir tentang dua kemungkinan tadi, dia ngeles atau memang gak nangkep ya.

Ini terjadi lagi saat dia jawab pertanyaan tetnang FPI. Dia bilang tadinya masalah tu di toleransi dan kekerasan pada kebebasan beragama, seperti yang dilakukan FPI. Dan novelnya Bilangan Fu dia tulis untuk mengkritik itu. Aku tanya tadi, kritiknya sampai gak dari mana dukungan politis terhadap golongan ini? Berapa dana yang masuk dan dari mana danannya yang mengalir ke FPI. Contohnya. Terus, dia seperti biasa, ngeles lagi.h.eh.eh.e. dia bilang, ya, itu sudah ada di alam bawah sadar saja. Bahwa kalau ini pasti ada kepentingan politisnya dan ada dukunganya, jadi bukan agama semata. Bawah sadar? Mang alam pikiran semua orang kayak gitu? Wah2, jawabannya benar2 bikin kepalaku yang lagi pusing tambah pening.h.e.h.he.h.e.eh….terus dia malah cerita bagaimana “heroisme” JIL saat diserang FPI. Dari situ, JIL dikabarin polisi akan diserang FPI dan Ayu menyumpulkan memang ada hubungan antara mereka berdua. Loh..loh…kok malah narsi2an cerita diri sendiri mbak? Terus pertanyaanku tentang samapai mana karya dia mengkritik gerakan2 kekerasan beragama itu tak dijawab dech.

Ayu, dalam menjawab, juga tidak konsisten. Ini terlihat dari cara dia menjawab bantahan temanku tentang klaim dia bahwa sastra mainnya halus, tidak eksplisit. Terus, Ayu jadi bicara bahwa seni itu tidak ada larangannya. Termasuk sastra, jadi bisa saja sastra yang main halus ada, terang2an juga ada..Eh, ini dia mbantah klaim dia sendiri nih si Ayu.

Yang tragis lagi, pertanyaan terakhir temanku bahwa sastra juga berbahaya tidak dijawab..ha..ha.ha.h.a.ha..(ayo kenapa coba?)

Terus, ada penanya lagi yang menarik, dia tanya kenapa sebagian besar sastra yang mengunkap sejarah g30s hanya menjadi anti-thesis (lawan atau kebalikan) dari versi resmi Soeharto yang menuduh PKI sebagai dalangnya? Kita butuh perspektif baru, seperti bahwa rejimnya setelah 65 bukanlah militer, tapi jendral. Bapak aku militer tapi rendahan, sekarang cuman bisa jadi satpam R.S itu udah mending. Teman aku bapaknya nganggur. Perspektif apa yang ditawarkan karya Anda?

Ayu, kali ini tidak menjawab, juga tidak ngeles, jadi cuman mengiakan bahwa kita butuh perspektif baru. Terus gak dia menceritakan peristiwa para tahanan yang akhirnya akrab dengan militer2 rendahan. Ada penulis yang disuruh bikin surat cinta untuk keasih oleh seorang militer. Dia bilang, benar, ini memang rejim jendral. Waduh2..ini ya ndak beda jauh. Dia ndak menjawab tentang apa yang ditawarkan karya dia.

Diskusi berakhir pukul 09. Jadi hanya sekitar dua jam saja. Waktu segitu relatif sebentar untuk hitungan diskusi buku sastra, apalagi kali ini temanya luas karena Ayu mempersilahkan siapa saja menanyai dia dengan tema bebas. Kenapa begitu cepat? Teman aku ada yang sampai geleng2 kepala, “kok wes bubar?” katanya.

Setelah acara selesai, kami ngobrol2 dan seorang teman lagi (pokoke ndak nyebut merek, cuman teman2..ha..hah.a.) bilang “iki mbake kaya presiden Bemu pas neng kongres mahasiswa, jawabane personal2 dan ndak cerdas. Ndak konsisten dan suka mbulet2.” Terus, aku tanyakan temanku yang menanyakan banyak pertanyaan tadi, “piye pendapatmu?” Kecewa, sudah berkali2 aku dengar tentang dia. Tapi ini benar kongkrit dia di sini. Dan, “mengecewakan”. Seorang teman yang nge-fans sama Ayu Utami, semula berencana ingin foto bersama, lalu dia membatalkan niatnya. Katanya malu, juga ndak bawa kamera. Aku tawarkan temanku yang ada kamera, karena dia kebetulan wartawan dan setelah acara mewawancarai Ayu. Tetap ndak mau juga ambil foto bersama Ayu temanku yang nge-fans ini. Hmmm, apa dia masih ngefans ya ma Ayu setelah diskusi dan mengetahui Ayu suka ngeles (atau memang ndak paham pertanyaan?) juga kata2 temanku yang bilang “kecewa!” ini cukup mendengung-dengun di telinga walaupun dia sudah tahu dia tak bisa berharap banyak dari Ayu, tapi jawaban2nya itu lebih2 bikin dia “kecewa!”..

Akhirnya aku pulang dan terheran2, kok bisa ya penulis menang hadiah Prince Claus Award? Memang aku sudah pernah baca tulisan Katrin Bandel tentang ini, cuman masih heran aja rasanya. Gak nyangka sebegitunya…

Wah2..Ayu Utami, kau lebih dari yang aku kira sebelumnya……***

*) Ian Ahong Guruh, mahasiswa Sastra Inggris, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.