Pendidikan Karakter Bangsa

Wahyu Triono KS

Sewaktu bertemu dengan sahabat-sahabat saya yang berprofesi sebagai guru dan dosen perguruan tinggi beberapa waktu lalu di Jakarta, kami memperbincangkan tentang pendidikan karakter. Seorang senior saya yang satu almamater beberapa waktu yang lalau juga tengah mempersiapkan seminar nasional bertema pendidikan karakter bangsa. Tampaknya, dapatlah kita mengerti karena kebijakan kementerian pendidikan nasional sedang diarahkan pada pendidikan karakter bangsa.

Sebenarnya tidak ada hal yang baru dari pendidikan karakter dalam kebijakan maupun sistem pendidikan nasional kita, karena tujuan pendidikan nasional dalam semua undang-undang yang pernah berlaku dengan rumusan yang berbeda-beda secara subtantif memuat pendidikan karakter. Kalau kali ini kita memperbincangkan pendidikan karekter hanya karena suatu pengarus utamaan pembangunan pendidikan nasional kita.

Lebih dari sekedar memperbincangkan pendidikan karakter sebagai pengarus utamaan kebijakan pendidikan nasional, tampaknya perlu pula bagi kita melihat dampak ikutan dari kebijakan kementerian pendidikan nasional kali ini yang dalam mindset para tenaga pendidik dan kependidikan, guru maupun dosen, siswa, mahasiswa, orang tua dan masyarakat jamak bahwa ganti menteri ganti kebijakan, ganti kurikulum ganti pula peraturan. Belum tuntas rasanya kita mengimplementasikan apa yang disebut pendidikan berbasis kompetensi kini dunia pendidikan seolah diseret ke arus baru perubahan pada pendidikan karakter bangsa.

National and Character Building

Ir. Soekarno, Presiden RI pertama mengemukakan pentingnya membangun jati diri bangsa dan jati diri bangsa dibangun melalui pembangunan karakter bangsa atau apa yang disebut Bung Karno sebagai national and character building. Para pendiri bangsa (founding fathers) Indonesia bersepakat bahwa membangun jati diri atau membangun karakter bangsa mesti dilaksanakan secara berkesinambungan dari kemajemukan masyarakat Indonesia.

Setiap bangsa memiliki jati diri, dan itu berbeda-beda atara bangsa yang satu dengan bangsa yang lainnya dan dipengaruhi oleh banyak hal, misalnya letak geografis, budaya, ekonomi, politik, agama dan lainnya. Jati diri suatu bangsa merupakan ciri khas dari bangsa itu sendiri.

Indonesia sebagai bangsa tidak lahir dalam bentuk langsung jadi, tetapi melalui proses sejarah yang cukup panjang. Para pendiri bangsa (founding fathers) Indonesia menetapkan empat pilar pondasi sebagai jati diri bangsa: Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Melalui empat pilar pondasi bangsa itu bangsa Indonesia membangun jati diri dan karakter bangsa Indonesia.

Menyadari bahwa membangun karakter bangsa diperlukan suatu kesinambungan itulah tampaknya Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional mengungkapkan bahwa, ”…pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelect) dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita”.

Selanjutnya, bagaimana kita menemukan jati diri dan karakter bangsa? Koentjaraningrat menyebutnya sebagai sikap mental yang secara ilmiah disebut ”sistem nilai budaya” (cultural value sytem) dan ”sikap” (attitude). Sistem nilai budaya adalah suatu rangkaian dari konsep abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat, mengenai apa yang harus dianggap penting dan berharga dalam hidupnya. Suatu sistem nilai budaya itu biasanya merupakan bagian dari kebudayaan yang berfungsi sebagai pengarah dan pendorong kelakuan manusia.

Karena sistem nilai budaya itu hanya merupakan konsep-konsep yang abstrak, bisa dirasakan, tetapi sering tidak dapat dinyatakan dengan tegas oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Justru karena sering hanya bisa dirasakan dan tidak dapat dirumuskan dengan akal yang rasional, maka konsep-konsep tadi sering amat mendarah daging pada mereka dan sukar dirobah atau diganti dengan konsep-konsep yang baru.

Kalau sistem nilai budaya itu merupakan pengarah bagi tindakan manusia, maka pedomannya yang nyata adalah norma-norma, hukum dan aturan yang biasanya memang bersifat tegas dan kongkrit. Adapun norma-norma hukum dan aturan-aturan tadi bersumber kepada sistem nilai-nilai budaya dan sering merupakan perincian dari konsep-konsep abstrak dalam sistem itu.

”Sistem nilai budaya” dan ”sikap” yang keduanya sering disebut dengan istilah populer sikap mental menjadi suatu yang penting bagi kita untuk melakukan penalaran secara obyektif, sikap mental macam apa yang sesuai dalam membangun jati diri dan karakter generasi masa depan bangsa Indonesia.

Gerakan Nasional Pendidikan Karakter

Masa depan generasi bangsa adalah masa depan bangsa Indonesia. Masa depan bangsa Indonesia adalah terletak pada pondasi jati diri dan karakter bangsa Indonesia dibangun secara berkesinambu-ngan. Bangsa Indonesia akan tetap bertahan dan tetap jaya jika mampu memberi responsi kepada logika perkembangan historisnya sendiri, dan akan hancur berantakan jika gagal.

Berangkat dari logika semacam itu, kebijakan kementerian pendidikan nasional yang mengarusutama-kan pendidikan karakter bangsa bukan saja perlu didukung tetapi perlu suatu gerakan nasional membangun pendidikan karakter bangsa yang dilakukan di lingkungan keluarga; pada satuan pendidikan dengan melakukan pendekatan terintegrasi dalam semua mata pelajaran, pengembangan budaya satuan pendidikan, pelaksanaan kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler dan pembiasaan perilaku dalam kehidupan di lingkungan satuan pendidikan yang dilakukan mulai dari pendidikan usia dini sampai pendidikan tinggi; dilingkungan pemerintahan; di lingkungan masyarakat umum dalam organisasi sosial kemasyarakatan; di lingkungan masyarakat politik dan partai politik; di lingkungan dunia usaha dan industri serta di lingkungan masyarakat media massa.

Bagi masyarakat pendidikan, tenaga pendidik dan kependidikan tidak ada hal yang perlu dirisaukan. Pengarus utamaan pendidikan karakter bangsa yang menjadi kebijakan pemerintah sesungguhnya merupakan penegasan dan pengutamaan tugas-tugas dan misi suci (mission sacre) pendidikan pada aspek pengembangan sikap (afektif) anak pada ”Sistem nilai budaya” dan ”sikap” atau sikap mental anak, selain aspek pengetahuan (konnitif) dan keterampilan (psikomotorik) anak.

Pengetahuan (kongnitif) dan Keterampilan (psikomotorik) adalah suatu kemampuan yang penting di miliki oleh anak dalam menyambut masa depannya, akan tetapi penanaman sikap (afektif) oleh pendidik yang menjadi sikap mental anak ketika memiliki pengetahuan (kongnitif) dan keterampilan (psikomotorik) lebih menjamin masa depan generasi bangsa Indonesia. Pada konteks inilah seorang pendidik memiliki tugas mulia, pahlawan yang tak perlu citra dan piala. Kepada para pahlawan tanpa tanda jasa itu harapan masih dapat disandarkan agar bangsa ini masih memiliki jati diri dan karakter bangsa.
***

*) Penulis adalah Direktur CINTA Indonesia (Central Informasi Networking Transformasi dan Aspirasi Indonesia).

Bahasa »