Sajak-Sajak Zawawi Se

Apakah Tuhan Pernah Salah
~ untuk antok ~

pagi yang mendung seolah menjadi murung ketika aku mendengar suara-suara yang bukan hanya sekedar kabar burung bahwa tadi malam engkau kehilangan jantung.

jantung yang telah menjadikan engkau bergairah dalam mencari nafkah. jantung yang memacu engkau bergelora dalam berkata-kata. jantung yang membuat engkau berderai dalam tawa. jantung yang tak menyurutkan langkah meski engkau dalam lelah. jantung yang terkadang juga memamah rasa cemas di dadamu.

apakah suatu ketika Tuhan pernah salah dalam memilih menikam jantung hamba-Nya yang lebih tabah dalam setiap sembah melintasi lekuk-liku jalan perbukitan kehidupan.

Pondok Permata Suci, 25 Maret 2011

Menari

kami ingin gerak kami semarak dan gemulainya menjadi laku kami sehari-hari, bukan hanya sekedar banyak lisan dan sedikit perbuatan yang menjadi pedoman kehidupan kami sehingga ketika besar kami menjadi sabar dan tak kasar kepada setiap orang, bahkan kepada orang-orang yang meskipun mereka sebut-sebut, apalagi bukan Engkau yang menyebut, sebagai yang mungkar.

kami ingin setiap liukan tubuh kami menuntun kami agar kami tak gagap oleh gempita kuasa dan silau kilau rupa benda seperti mereka yang seringkali telah gemakan suara dengan gegap gempita dan busungkan dada namun selalu membuat mereka menjadi pelupa ketika telah di atas kursi suara.

kami ingin tarian kami membahana menyihir setiap pasang mata menjadi kasih tatapnya dan gemulainya menggerakkan setiap raga dalam alunan madah cinta yang berkumandang dan bersemayam dalam setiap dada.

Sidomor, 8 Maret 2011

Bawel

ingin aku pergi begitu saja
meninggalkan tanah neraka
para makhluknya bawel seperti
para nabi yang bersabda
tentang kebenaran dan dusta
pada umatnya
tetapi, di tanah itu tegak berdiri
tebing terjal tinggi
di puncaknya tersimpan gerbang
menuju ketinggian jiwa
bukankah kelak takkan dapat kita
bercengkerama
bila kita tak pernah jumpa
di tanah ini dengan-Nya
memang susah sungguh
jalan yang aku tempuh
memilah persimpangan
menuju yang berpagar duri
atau berhias roti

Gresik, 2010

Neraca

kami menyebutnya sebagai NERACA sebuah goresan tempat kami mencatat hasil penjumlahan dan pembilangan atau bahkan seringkali sebuah kelipatan atas perniagaan hidup yang kami lakukan. sebuah catatan yang tidak harus sesuai dengan perhitungan di lapangan namun dengan hasil sesuai dengan yang kami angan-pesankan.

kami menyebutnya sebagai NERACA sebuah simbol keseimbangan balasan bagi yang benar atau yang dusta, yang cinta atau yang alpa, yang bersih atau yang noda namun telah terbiasa menjadi sebuah tempat untuk mengabarkan, mengaburkan, dan menguburkan fakta-fakta sehingga yang dusta dan yang alpa yang noda dan yang cela masih dapat berlenggang melanjutkan hidup istimewa.

Engkau menyebutnya sebagai NERAKA sebuah tempat berkumpulnya segala dusta segala alpa segala noda segala cela dan segala yang sia-sia namun kami yakin bahwa Engkau hanya bermaksud membuat hati kami jerih dan jera karena sungguh kami percaya bahwa Mahakasih-Mu melebihi luasnya samudera.

Sidomoro, 18 Februari 2011

Rusun

waktu demi waktu kami hanya bisa menimbun petak-petak angan, menyesali petak-petak masa silam bermimpi tentang petak-petak masa depan yang semakin meluas mengembang, petak-petak angan seperti menjadi tuhan kehidupan yang menjadi satu-satunya tujuan

di sini kami saling berhimpitan dan berjejalan sambil mengibarkan bendera-bendera warna kelam tentang rasa getir dan khawatir tentang perjalanan hari-hari muakhir yang kami jejak tiada hari tanpa memeras pikir seolah tanpa akhir.

kami sangat yakin bahwa sang langit tak pernah memejamkan mata dan menutup telinganya terhadap kami oleh sebab itulah kepada langit yang maha indah seringkali kami dongakkan wajah-wajah dalam tangan-tangan tengadah berharap hidup kami tak seperti masa yang sudah-sudah.

kami juga sangat yakin bahwa sang langit selalu menjawab dongakan wajah dan tangan tengadah kami meski tetua-tetua kami hanya sesekali mendengar dan menampung keluh kisah kami.

bahkan kami sering mendengar jerit langit yang semakin tak di indahkan oleh tetua-tetua negeri kami yang seharusnya melalui tangan-tangan mereka sang langit mencurahkan karunianya bagi kegembiraan hati kami.

kegembiraan yang tak kunjung tiba itu merintikkan air dari mata-mata sembab kami lalu mengalir bak air bah dan pedihnya mata-mata kami membakar debu-debu menjadikannya bara yang menerjang segala yang ada dan akhirnya menjelma dalam berbagai wisata luka.

Gresik, 2010