Jejak Boekhandel Tan Khoen Swie

Seno Joko Suyono, Dwijo Maksum, Imron Rosyid,
Lucia Idayani, Istiqomatul Hayati, Nurdin Kalim
majalah.tempointeraktif.com

Di atas pintu depan toko itu hanya terlihat papan kayu biru kusam bertuliskan “SURABAYA”. Toko di Jalan Dhoho, Kediri, itu menjual bahan makanan seperti abon, dendeng, ke-rupuk. Pada era 30-an, toko itu bernama “SOE-RABAIA”, terkenal sebagai pusat penjualan ban Dunlop dan onderdil mobil.

Berjajar dengan toko tersebut terdapat bangunan 12 meter persegi yang kini sehari-hari berfungsi sebagai tempat praktek dokter gigi. Dari foto 1930-an, dapat diketahui bangunan itu dahulu sebuah toko buku yang pemiliknya juga pemilik toko onderdil itu. Papan namanya berbunyi TOKO TAN KHOEN SWIE, SEDIA BOEKOE DJAWA MELAJOE DAN OLLANDA.

Dari toko itulah mengalir buku-buku pujangga Jawa tersohor, seperti Kalatida karya Ronggowarsito, Kitab Wulangreh karya Sri Susuhunan Pakubuwono IV, atau Wedatama karya Mangkunagoro IV. Juga buku lain karangan R. Ngabehi Yosodipuro, pujangga Pad-mosusastro, Suwandi Tjitrowasito, dan sebagainya.

Boleh dibilang nama besar para pujangga itu tidak akan muncul tanpa peran toko buku itu. Sekitar tahun 1920-an buku-buku itu dijual dengan harga 0,35 – 0,95 gulden. Mulanya penerbit itu menyebarkan buku-buku beraksara Jawa Kuno. Tapi, sejak 1950-an, mereka menerbitkan buku-buku beraksara Latin.

Banyak orang lupa kebesaran nama Tan Khoen Swie. Baru pada 2001, Pemerintah Kota Kediri membentuk Panitia Penelusuran Pelestarian dan Pengembangan Wisata dan Budaya yang mendata tempat-tempat bersejarah di kotanya dan menemukan ribuan buku di sebuah toko di Jalan Dhoho. Semua kaget dan sadar, itulah bekas tempat Tan Khoen Swie tinggal, dan di Kota Kediri pernah ada sebuah penerbit yang pendiriannya (1883) mendahului Balai Pustaka (1917).

“Ya, inilah sisa peninggalan kakek buyut saya,” kata drg Gani, 43 tahun, yang buka praktek di situ. Ia bukan ahli waris buku-buku peninggalan Tan Khoen Swie, melainkan dialah yang setiap hari merawat dan menjaga “harta karun” itu.

Gani tinggal bersama anak-istrinya di lantai dua. Di lantai tiga, di ruangan seluas 20 meter persegi dengan arsitektur mirip kelenteng itu, tersimpan ribuan buku milik Tan, baik yang sudah dicetak maupun yang masih tedhakan (tertulis tangan) di buku skrip.

“Pada masa itu buku terbitan Tan Khoen Swie memang dibutuhkan banyak orang, banyak menjadi buku pegangan masyarakat Jawa,” kata Prof Sumarsono, dosen Sastra Jawa UGM. Menurut Dr Budyapradipta, dosen Sastra Jawa UI, pada zaman tahun 1940-an buku kesusastraan Jawa banyak diterbitkan oleh Balai Pustaka, Kulf, Van Dorp, atau penerbit Belanda, E.Y. Brill. Tapi dari semua penerbit itu, kelihatannya Tan Khoen Swie yang paling populer sampai ke rakyat jelata.

“Buku-buku keluaran Tan praktis, mudah dimengerti pembaca umum,” kata Budya. Budya menampik pendapat bahwa buku-buku terbitan Tan rendah mutunya. “Kendati yang diterjemahkan karya klasik, bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Tengahan yang termasuk modern, efisien, dan efektif. Bahasanya tidak banyak pengulangan, tidak banyak kata-kata mubazir, ketat,” ia menambahkan.

Buku produksi Tan tipis-tipis. Bahannya dari kertas murahan kertas merang. Terjangkau masyarakat kecil. “Waktu itu, tahun 50-an, saya suka baca primbon yang diterbitkan Tan karena dalam primbon banyak ditampilkan tanda-tanda wanita. Misalnya kalau berwajah bundar tandanya gimana, lonjong gimana, tanggal berapa nafsunya ha-ha-ha…,” kata Dr Budyapradipta mengenang.

Salah satu kiprah luar biasa Tan adalah ia sering mengundang para pengarang dari Yogya, Solo, Bojonegoro, Surabaya, sampai Lumajang ke rumahnya dan membiayai mereka menulis. “Tan itu maesenas,” kata Sardono W. Kusumo. Salah satu pengarang Jawa tersohor yang sering menginap di rumah Tan adalah Padmosusastro. George Quinn, peneliti Universitas Northern Territory, Darwin, dalam bukunya The Novel in Javanese menyebut Padmosusastro bapak sastra Jawa modern.

Itu lantaran Padmosusastro, menurut Quinn, memelopori cara bercerita modern (gagrak anyar) dalam sastra Jawa. Pada 1900 ia menulis novel Rangsang Tuban yang sangat modern. Padmosusastro juga dikenal sebagai jurnalis. Ia pernah memimpin koran Jawa Bramartani dan majalah berbahasa Jawa Jawi Kandha. Tidak seperti Ronggowarsito yang hanya tinggal di Solo, dia melakukan petualangan ke Belanda, Batavia, melakukan reportase jurnalistik.

Dialah yang pada 1890 melakukan klasifikasi sistematik terhadap serat-serat yang dimiliki keraton, dan bergaul akrab dengan para peneliti Belanda seperti J.A. Wilkens, G.A.J. Hazeu. Tahun 1911 ia penulis aneka tata bahasa Jawa, seperti Paramabasa, Layang Basa Jawa. Tahun 1914 Tan menerbitkan bukunya, Serat Subasita. Tan juga dikenal menulis ulang Serat Pustakaraja, Serat Paramayoga, karya Ronggowarsito, dengan versinya sendiri.

“Tan mengajak para penulis seperti Padmosusastro tinggal di rumahnya selama berbulan-bulan untuk menulis di kebun, bersemadi di sana, menggali inspirasi dan difasilitasi. Jika ada yang menghasilkan satu karya, maka karyanya itu akan diterbitkan,” tutur Sardono W. Kusumo, yang meneliti kehidupan Padmosusastro. Selain Padmosusastro, penulis yang sering menginap di rumah Tan adalah R. Tanojo, pengarang terkenal Serat Nitimani, buku yang mengulas rahasia lika-liku senggama suami-istri.

Kita masih dapat melihat ruangan-ruangan bekas para “tamu agung” itu. Untuk mencapai lantai tiga rumah Tan, kita harus melalui lorong bertangga yang dipenuhi kamar. Menurut Gani, kamar-kamar tersebut dulu dipakai tidur berbulan-bulan oleh para penulis itu. Tempat Tan mengajak para tamunya bermeditasi juga masih ada sekarang. Bentuknya sebuah bangunan setengah lingkaran dengan ornamen lubang di kiri-kanannya, dilengkapi relief-relief bergaya Buddha.

Pada 1953, Tan meninggal. Ia disemayamkan di bong (pemakaman) Cina di lereng Gunung Klotok, Kota Kediri. Sampai akhir hayatnya, sudah 400-an buku yang diterbitkannya. Michael Tanzil, putra ketiganya, seorang arsitek lulusan Illinois Institute of Technology dan pernah menjadi fotografer di Associated Press, melanjutkan napas kehidupan toko buku. Michael Tanzil selama itu juga menerbitkan beberapa buku baru dan mencetak ulang beberapa buku lama, bekerja sama dengan penerbit lain.

“Toko buku ini mulai tidak terurus sekitar 1962, ketika ditinggal Michael Tanzil ke Jakarta,” tutur Gani. Apalagi setelah Michael pada 14 Maret 1993 meninggal dunia.

l l l

Tak ada yang tahu persis kapan Tan Khoen Swie dilahirkan. Namun, dari berbagai referensi, diper-kirakan ia lahir di Wonogiri, Jawa Tengah, sekitar 1833. Dari foto-foto lama, terlihat sosoknya gagah. Rambutnya panjang dikuncir. Dan selalu berkumis. Dia vegetarian.

Sebelum datang ke Kediri, ia bekerja sebagai tukang rakit penyeberangan di Bengawan Solo. Syahdan, ia sering mencuri dengar pelajaran di Sekolah Kesatrian milik Sri Sunan Pakubuwono. Suatu hari dia ketahuan, kemudian oleh si guru dipanggil dan disuruh ikut belajar.

Tan menikah dengan gadis asal Surabaya bernama Liem Gien Nio. Setelah menikah inilah dia mencoba memulai usahanya di Kediri sebagai penerbit. Namun, saat itu usahanya tak bisa diandalkan karena ketatnya aturan pemerintah kolonial tentang usaha penerbitan. Ia lalu berdagang, mulanya membuka toko onderdil mobil, lalu toko kerupuk.

Ia kemudian bisa bersahabat akrab dengan Padmosusastro (1843-1926), pujangga keraton yang juga Kepala Perpustakaan Radya Pustaka. Dari sinilah tampaknya ia mendapat akses untuk mendapatkan buku-buku di lingkungan keraton. Padmosusastro sendiri seolah bagian dari dewan redaksi penerbitan Tan Khoen Swie.

Pengageng Museum dan Pariwisata Keraton Kasunanan Surakarta, GPH Puger, mengakui peran penerbit Tan Khoen Swie dalam penyebaran pengetahuan yang sebelumnya hanya diketahui oleh orang-orang di lingkungan keraton. Hampir seluruh hal yang ber-kaitan dengan keraton dibukukan oleh Tan. “Itu menjadikan masyarakat luar kemudian bisa meniru apa yang dilakukan oleh orang-orang keraton, misalnya dalam hal cara berbusana,” kata GPH Puger.

Tapi agaknya Tan tak hanya memburu buku dari lingkungan keraton. Slamet Riyadi, ahli sastra Jawa dari Balai Bahasa Yogya, misalnya, menemukan: Tan pernah membeli Serat Sastra Harjendra dari I Wayan Jiwa, seorang warga Bali yang menguasai ilmu kesempurnaan agama Buddha, dengan imbalan Rp 25.

Menurut Sardono, sering Tan menawarkan buku-nya door to door. Itu membuat komunitas pergaulannya meluas. “Terbitan Tan Khoen Swie jenisnya macam-macam, saya kira dia menerbitkan buku-buku itu karena melihat pasar yang latar belakangnya beragam,” kata Drs Kartika, pengajar Sastra Jawa UGM.

Tan aktif dalam bisnis, dunia kebatinan, juga perkumpulan menentang Belanda. Pada 1935, ia menjabat redaktur sekaligus pemimpin redaksi sebuah majalah bulanan di Kediri yang memuat paham kebatinan Konghucu, Tao, Buddha Tionghoa berbahasa Melayu. “Menurut cerita para sesepuh keluarga kami, Tan Khoen Swie adalah pengurus Kioe Kok Thwan, organisasi masyarakat Tionghoa di Kediri.”

Militansi Tan Khoen Swie dalam menentang penjajahan terlihat saat ia menerbitkan buku Atoeran dari Hal Melakoeken Hak Perkoempoelan dan Persidangan Dalem Hindia-Nederland, yang dikarang oleh R. Boedihardjo, Patih Lumajang, cetakan 1932. Juga buku Tjinta Kebaktian pada Tanah Air, terbit-an 1941.

l l l

“Suami saya pernah ditahan sekitar tiga bulan,” kata Yuriah Tanzil, istri almarhum Michael Tanzil, putra bungsu Tan yang meneruskan mengelola penerbitan. Yuriah kini ahli waris buku-buku Tan. “Suami saya dianggap melanggar susila,” ia mengenang. Michael Tanzil akhir 1960-an menerbitkan buku Aji Asmorogomo, buku tentang seni hubungan suami-istri untuk mendapat keturunan. Dalam edisi cetak, buku itu dilengkapi dengan foto ilustrasi -adegan suami-istri. “Belum sempat beredar sudah disita,” tutur Yuriah.

Buku lain terbitan Tan Khoen Swie yang dilarang beredar pada zaman Michael adalah Gatolotjo dan Darmogandoel. Michael lalu menerbitkan ulang Gatolotjo karangan RM Suwandi, Surakarta. Pada zaman bapaknya, kulit buku setebal 145 halaman itu bertuliskan Gatolotjo. Anjariosaken Bantahipun Gatolotjo Tanding Kalijan Dewi Perdjiwati, Dados Lambang Pamoring Djalu Wanito, Tuwin Dumadosipun Widjining Menuso. Buku itu seharga 1,75 gulden. Pada zaman Belanda, penjualannya aman-aman saja. Tapi di bawah pemerintah Orde Baru, Gatolotjo dianggap melecehkan agama.

Ada kisah pahit, ada kisah menyenangkan. Yuriah masih ingat, pada 1980-an, American Congress di Jakarta pernah meminjam sekitar 50 koleksi buku terbitan Tan Khoen Swie. Buku-buku itu akan didokumentasikan dalam bentuk mikrofilm. Juga suatu kali ia mendapat kabar dari anaknya, Nila Lestari yang kuliah di Belanda, bahwa ternyata buku-buku terbitan Tan Khoen Swie tersimpan di Universitas Groningen. “Anak saya kaget waktu melihat buku-buku terbitan kakeknya di sana.”

Kini sudah lima tahun pemerintah Kediri membentuk Tim Penelusuran Sejarah Tan Khoen Swie. Saat itu pemerintah Kediri bermaksud menghimpun kembali semua terbitan Tan Khoen Swie. “Tim ini bertugas melacak dan mendapatkan kembali buku-buku terbitan Tan Khoen Swie dari berbagai sumber, termasuk dari Solo dan Yogya,” kata Kusharsono, ketua tim.

Waktu itu tak kurang dari Wali Kota Kediri Drs H Maschut menyatakan, “Jika diizinkan, pemerintah kota akan mencetak ulang dan memasukkan buku-buku itu ke Museum Airlangga, sebagai bukti atas pengakuan bahwa karya Tan Khoen Swie merupakan bagian dari sejarah Kota Kediri.”

Menurut drg Gani, sikap seluruh ahli waris menyambut niat baik Pemerintah Kota Kediri. Apalagi bila buku-buku Tan Khoen Swie ditempatkan di Museum Airlangga, museum yang terletak di kawasan wisata Goa Selomangleng. Tapi hingga kini janji tak kunjung terealisasi. Bangunan itu kini masih kosong-melompong.

Tapi, paling tidak, satu langkah telah dimulai. Terbit-nya Babad Kadhiri.

Seno Joko Suyono, Dwijo Maksum (Kediri), Imron Rosyid (Solo), Lucia Idayani (Yogyakarta), Istiqomatul Hayati, Nurdin Kalim (Jakarta)

07 Agustus 2006