Agus Dermawan T.
Seputar Indonesia, 16 Des 2007
HILANGNYA sejumlah patung klasik koleksi Museum Radya Pustaka, Solo, ternyata sanggup menciptakan kejutan yang menawarkan eskalasi ketegangan dan daya tarik. Kejutan pertama yakni ditemukannya sejumlah patung replika di museum itu.
Patung-patung tiruan tersebut diduga sebagai kamuflase atas sejumlah patung yang diperkirakan diraibkan. Kejutan kedua, ternyata dugaan itu benar. Sebanyak 11 patung klasik koleksi museum hilang! Kejutan ketiga, ternyata yang disangka dalang pencurian adalah Kepala Museum Radya Pustaka, KRHT Darmodipuro atau Mbah Hadi, yang kini berusia 69 tahun. Kejutan keempat, ternyata patung-patung itu telah dijual lewat seorang makelar.
Kejutan kelima, ternyata sebagian patung yang hilang itu ditemukan di kediaman Hashim Djojohadikusumo! Hashim adalah seorang pengusaha besar, putra begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo, donatur museum itu. Kejutan keenam, menurut penjualnya, Dr. Hugo Kreijger, patung-patung itu diklaim sebagai milik Raja Keraton Surakarta, Sri Susuhunan Pakubuwono VIII Hangabehi yang dilego, dan ada sertifikat dari Keraton. Kejutan ketujuh, ternyata pihak Keraton merasa tak pernah mengeluarkan sertifikat, sehingga bisa dipatikan sertifikat itu palsu. Maka, lengkaplah peristiwa colong-mencolong ini untuk disebut “tujuh kejutan patung Radya Pustaka”.
Berawal dari Kesunyian
Bagi masyarakat luas, hilangnya koleksi benda-benda seni dari sebuah museum mungkin merupakan “berita besar” yang layak dimuati rasa penyesalan. Karena semua itu masuk dalam kategori kisah kriminal berplot eskalatif, bagai film Hollywood. Namun bagi masyarakat budaya, lebih spesifik masyarakat seni rupa museum Indonesia, raibnya aneka koleksi itu dianggap sebagai sesuatu yang wajar, dan dimaklumi sebagai sesuatu yang akan gampang terjadi.
Kenapa? Karena museum di Indonesia, akibat dari kurangnya political will pemerintah, adalah sebuah institusi yang sejak jauh hari terposisikan sebagai anak tiri. Dengan posisi itu, sebuah museum akan hidup compang-camping dalam segala aspeknya. Dan sebuah institusi miskin, yang berarti tak mampu menyosialisasi diri, memfasilitasi diri, mengemas diri, menjaga diri, membanggakan diri dan mempromosikan diri, akan ditinggalkan banyak orang. Ketika semua meninggalkan, bukankah kesunyian pun datang? Kesepian sebuah museum adalah awal dari malapetaka.
Lantaran benda-benda seni yang berdiri kesepian di situ sungguh menggoda untuk disapa dan diajak jalan-jalan. Pun oleh pengelolanya sendiri yang ternyata juga butuh hiburan. Ada kabar, Museum Radya Pustaka hanya sanggup merengkuh 10–15 pengunjung sehari! Namun, kasus hilangnya koleksi museum milik pemerintah sesungguhnya sudah berbilang kali terjadi. Penyebabnya kira-kira sama saja. Dan ini dongeng lain dari dunia hilang-menghilang itu.
Koleksi Istana Presiden
Syahdan, dalam lelang Christie’s Singapura edisi 6 Oktober 1996 muncul lukisan Raden Saleh dan Basoeki Abdullah, yang ternyata milik Museum Nasional Indonesia. Setelah diselidik, dua lukisan itu hanyalah sebagian dari belasan lukisan koleksi Museum Nasional yang dicuri dan lantas dijual oleh “orang dalam” museum. Kenapa lukisanlukisan itu gampang dicuri?
Karena selama itu lukisan-lukisan tersebut cuma teronggok sepi di gudang. Pemerintah tidak memfasilitasi display agar publik umum bisa secara terbuka memandang-mandang. Kasus ini mengingatkan kita kepada beberapa lukisan Hendra Gunawan yang raib dari Museum Juang, Jakarta, hampir 20 tahun lalu. Dari cerita Museum Nasional dan Museum Juang itu kita segera dibawa ke panggung keriuhan politisi Istana Presiden belum lama ini. Para penasihat Presiden SBY sekonyong-konyong menurunkan ratusan lukisan berharga dari dinding gedung Binagraha, yang sejak 2005 digubah jadi Museum Seni Rupa Istana Presiden.
Konon karena gedung eks Binagraha itu akan dipakai sebagai kantor mereka. Koleksi peninggalan Bung Karno sampai Megawati itu lalu “dilempar” keluar dan disebar di empat Istana Presiden lain di daerah. Ah, begitu nista eksistensi Seni si anak tiri di mata politisi Indonesia. Kisah kediaman pelukis Belgia Le Mayeur de Merpres di Bali adalah contoh lain lagi. Rumah seni ini mulai dikunjungi orang sejak awal tahun 1950-an. Kedatangan para turis ke kediaman Le Mayeur bahkan merupakan berkah bagi Sanur, sehingga Sanur akhirnya menjadi pantai primadona.
Ketika Le Mayeur wafat 1958, Ni Polok, istri Le Mayeur, mengelola studio dan tempat tinggal suaminya resmi sebagai museum, dan jadi obyek wisata. Museum Le Mayeur berkibar harum berkurun tahun dan menjadi maskot wisata Bali. Ni Polok meninggal pada 1985. Pada tahun itu juga, tepatnya tanggal 28 Agustus, Museum Le Mayeur diambil alih pemerintah Republik Indonesia. Banyak orang sudah memprediksi, marabahaya pelan-pelan akan mendatangi museum ini.
Dugaan itu benar. Sejak 10 tahun lalu Museum Le Mayeur cukup sengsara nasibnya. Puluhan lukisan sang maestro yang berharga puluhan juta sampai 3 miliar rupiah itu mulai lapuk. Bangunannya yang tanpa proteksi mulai rusak terancam angin laut. Menurut penjaga museum, pemerintah tak punya duit untuk membiayai perawatan. Lha harga tiketnya cuma Rp. 750. Dan lantaran tak ada promosi, dalam sehari paling banyak 15 orang yang mengunjungi. Penjaga museum pun kesepian. Persis seperti bendabenda seni di museum itu, yang merindukan perhatian dan “sapaan” orang.
Padahal, museum ini pada 50 tahun silam dipromosikan dengan susah payah, di antaranya,menurut catatan William AJ Vroegroep, dengan sebuah film berdurasi lima menit yang menceritakan Ni Polok menari di tepi pantai, dekat kediaman Le Mayeur. Film ini diputar berulang kali di sekujur Eropa, dan menjadi reklame luar biasa bagi Le Mayeur, Ni Polok, Pantai Sanur dan Pulau Dewata.
Ujung kalam, akankah koleksi Museum Le Mayeur sama nasibnya dengan koleksi Museum Radya Pustaka? Adakah koleksi museum-museum lain sama merananya dengan Museum Le Mayeur? Dan, akankah museum-museum di Indonesia menanti “kedermawanan” Pak Harto, yang meski sudah pikun ternyata tahu belaka nasib jeblok museum di negerinya?
***
*) Agus Dermawan T., Kritikus, penulis buku-buku seni rupa