M.D. Atmaja
Aku pernah melalui satu perjalanan bersama dengan seorang kawan yang begitu aku percayai menggenggam kehidupanku untuk berada di tangannya. Tapi dasar aku, mungkin terlalu bodoh, teramat gobloknya karena telah menyerahkan kehidupan merdeka yang pernah aku perjuangkan sekuat tenaga pada dirinya. Memang aku yang tolol, tidak perlu menyalahkan dirinya. Ia pun, memang sudah sewajarnya untuk mendapatkan kemerdekaannya sendiri. Meskipun, itu dengan penghianatan. Dengan pembunuhan. Ah, terserah saja dia. Terserah! Seperti ini, dahulu ketika dalam suatu perjumpaan yang sungguh tidak pernah direncanakan, aku menemukannya. Tatapannya itu, penuh panorama yang membuatku tergetar. Lalu, suaranya yang mengalun? Ah, seperti alunan seruling bambu yang mengikat jiwa. Mengajakku menari bahagia dalam melupakan derita.
“Kita akan berjalan dari sini, berdua seperti tubuh dan darah. Tidak terpisahkan.” Ucapnya pelan dalam senyum manis yang membius otakku.
Aku terdiam sejenak. Kata-katanya itu, membuat terbang sampai jauh dan melupakan bumi.
“Meski menjadi buronan, aku tidak perduli.” Ucapnya lagi, mungkin saja sedang berusaha membuatku sakau.
“Meski?”
“Iya.” Ia memastikan bersama anggukan kecil, senyuman manja, dan kerling berbinar yang sampai detik ini terus membuntut.
Aku benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa. Aku ini, seperti anjing jalanan yang terusir dan kini mendapatkan sandaran untuk melepaskan letih setelah sekian lama berlari jauh. Jadi teringat dengan lagu itu, “Aku hitam, kau pun hitam” ah, benar merasakan kebahagiaan.
“Aku akan menanggung semuanya. Semua demi perjalanan kita yang akan menuju pada-Nya. Dua dalam satu tarikan napas yang tidak pernah bisa diputuskan oleh apa pun. Sepenuhnya, kita akan saling mengabdi dan berbakti.”
Anjing jalanan ini mengibaskan ekor mendengar kata-kata itu. “Tidak pernah aku mengingkari janji. Itu kehormatanku!”sahutku.
“Itu yang aku harapkan. Aku juga tidak akan mengingkari janji.” Ungkapnya senang.
“Sepenuhnya, aku akan meniti jalan ini. Apa pun yang harus dikorbankan, pasti aku bayarkan.” Sahutku penuh keyakinan, karena selama ini aku memang tidak pernah mundur untuk meninggalkan janji.
“Aku tahu! Aku tahu itu.” sahutnya dan tersenyum kembali. “Aku akan menemanimu, membela petani yang tergusur itu. Atau nelayan yang dihempaskan gelombang. Sampai semuanya selesai.”
“Sumpah?” sahutku berkali-kali memastikan.
“Demi Allah!”
“Kamu tahu dengan kehidupanku. Kita akan berjalan dalam kemiskinan. Bahkan, kita akan terhina. Tapi, semua ini sudah aku pilih. Aku mencintai-Nya dan Dia berpesan agar aku bersiap menerima bala’. Aku mencintai utusan-Nya, dan utusan itu berpesan agar aku berlaku sederhana, bahkan mencintai dengan kemiskinan.”
“Selama masih ada Allah di samping kita.” Dia tersenyum begitu manis, membuatku tidak bisa berkedip. “Aku tidak akan khawatir, lagipula, di sana juga ada kamu.”
“Heh, begitu. Lalu, bagaimana dengan keluargamu?”
“Mereka akan mengerti!” ia diam sejenak, “Keluargamu?”
Aku ragu, namun dia juga harus tahu dengan kebenarannya. “Saat ini, kamu tidak bisa masuk ke sana.”
“Lalu bagaimana?”
“Kita akan pergi, sampai mereka menerimamu.”
“Kau akan lakukan itu?” ia memandangi tidak percaya.
Aku tersenyum saja. Tidak ada, yang tidak dapat aku lakukan untuk apa pun yang aku inginkan. Dan aku tahu, dia pasti tahu. Aku pasti akan melakukannya. Kami membakar istana yang sudah berdiri kokoh sebeblum kehadirannya. Istana penuh mimpi, yang ruhku telah aku semayamkan di sana. Dalam bara bendera perjuangan yang pernah aku sumpahkan bersama laskar jiwangga. Istana itu, berikut laskarnya sudah aku bakar habis. Tidak tersisa. Hanya reruntuhan.
Tiba-tiba dia berlari menjauh. Jauh sekali sampai pandanganku terselaput pembatas yang tidak dapat kusingkirkan. Aku diam saja. Menunggu sungai takdir melewat, yang kan membingkiskan sekuntum mawar, entah gada berduri. Entahlah, pikirku saat itu. Sudah terlanjur melangkah dan seorang lelaki tidak pantas untuk berbalik, begitu aku dididik oleh Bapakku yang petani kampung.
Matahari sudah memerah, darah. Sehabis kami berdua membakar tumpukan istana di sana. Lalu, setelah itu kami akan melanjutkan perjalanan yang penuh bintang gemintang. Yah, bintang gemintang.
“Maaf,” tiba-tiba pesannya aku terima melalui angin yang semilir, “aku tidak mau dipersalahkan. Semua orang akan menghina kita. Aku tidak mau. Aku tidak bisa. Apalagi, menjadi petani. Ah, aku tidak bisa menjadi petani.”
Aku masih diam. Mencermati diri yang sendirian berdiri, memandangi senja yang semakin memerah.
“Tidak bisa, tolong ampuni aku.” Pesan terkandungi angin itu aku dengar kembali, seperti lagu sedih. “Aku kan pergi, ke pulau seberang untuk menjadi yang inginkan ibuku. Demi ibuku. Walaupun begitu, aku tetap mencintaimu. Maaf, sudah aku bakar kerajaanmu.”
“Kenapa?” tanyaku lirih.
“Aku tidak mau dihina. Aku tidak bisa berdiri di puncak gunung dan menjadi petani.”
PENG…NGE…CUUT.!!! teriakku dalam hati, sementara langit semakin memerah, terbakar.
Kau pergi karena ketakutan pada gemuruh perutmu sendiri. Kau hianati sumpah atas nama Tuhanmu karena ketakutanmu pada dunia ini? Ah, manusia pengecut, mulut semanis yang berfirman untuk membodohi pejalan sunyi sepertiku. Ah, anjing, aku yang anjing. Terlalu senang berkibas ekor dengan manusia yang melempar tulang sementara di tulang itu berlumur racun. Matilah aku!
Studio SDS Fictionbooks, 2011