Tidak Masalahkan kalau Petani?

M.D. Atmaja

Menjalani hidup di zaman modern, dihadapkan pada permasalahan yang begitu pelik. Menemukan tidak hanya satu, namun lebih banyak lagi kompleksitas yang harus dipahami untuk membuat suatu keputusan tertentu. Karena kondisi yang akhirnya menjadi super pelik itu, saya musti berhati-hati dalam mengambil langkah. Menimbang setiap persoalan yang ada untuk menimbang – tidak sekedar mengenai untung dan rugi, lebih jauh lagi menyangkut pengumpulan modal untuk perjalanan hidup selanjutnya. Itu pun, kalau kita masih mempercayai adanya perjalanan setelah kehidupan hari ini. Seringkali saya diingatkan akan sebuah syair (ramalan), “Dilalah kersa Allah, begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling waspada” (Ranggawarsita, “Serat Kalathida”). Syair itu membuat saya tidak lelah untuk terus berlaku dengan apa adanya sambil terus berusaha memahami. Kalau ada kesalahan dimaklumi saja, karena banyak orang masih memandang saya sebagai manusia yang belum “ngerti” sehingga kesalahan itu cukup dimaklumkan. Tidak lelah untuk terus membenahi diri agar lekas menjadi “ngerti” meskipun terkadang terjatuh dan tertatih ketika bangkit.

Jatuh? Tidak mengapa, dalam film Batman dikatakan, “Kenapa kita harus jatuh? Karena biar kita belajar untuk bangkit!” (saya kutip bebas). Dalam perjalan itu, saya pun memahami arti dari gerakan “Realisme-Sosialis” yang mengusung pemikiran untuk “turba” atau turun ke bawah, yaitu sebagai gerakan untuk kembali menyimak sejarah kehidupan manusia (Pramoedya dalam Kurniawan, 2002: 7). Gerakan “turba” selain diinterpretasikan sebagai suatu pemahaman akan keberadaan realitas sejarah, juga dapat dipandang sebagai penempatan diri untuk menjalankan prinsip kerakyatan.

Suatu prinsip yang memposisikan rakyat (kecil) pada peringkat pertama. Dalam struktur kehidupan berkelompok (baik masyarakat maupun dalam tingkatan negara) rakyat banyak harus mendapatkan prioritas dalam pertimbangan pengambilan keputusan. Menempatkan rakyat pada puncak otoritas, yang pernah saya ungkapkan dalam sebuah draf negara ideal. Posisi rakyat berada di bawah Tuhan, setelah itu para birokrasi pemerintahan. Dalam prinsip kerakyatan, rakyat tidak hanya dijadikan semacam bidak catur demi kepentingan politik tertentu. Rakyat harus dikembalikan menjadi penguasa yang sebenarnya, “tuan tanah” yang sebenarnya dan pemerintah hanyalah buruh.

Keberadaan rakyat itu, khususnya kehidupan petani memberikan saya banyak ruang untuk membaca. Seiring dengan waktu, istilah “turba” diatas saya pahami sebagai langkah untuk berdiri di bawah (desa) bersama rakyat kebanyakan (petani). Saya banyak belajar dari kehidupan petani, suatu takdir tersendiri menjadikan saya sebagai keluarga petani dan dididik dengan cara petani. Saat kecil, seringkali saya mendapatkan cerita dari Ibu yang berakhir pada “mlebu lenging kinthel: cunthel”. Dari kehidupan keluarga petani ini, saya banyak memperoleh pengajaran. Begitu luas dan tebalnya dengan ilmu namun mereka (para petani) mencatatnya dengan tinta laku. Jarang sekali kita menemukan retorika tentang kebijaksanaan, namun petani memberikan keteladanan.

Seperti sastra, yang sudah saya bacai ketika umur masih terlalu muda untuk mengerti dengan puisi. Perjumpaan pertama saya adalah ketika duduk di kelas dua bangku sekolah menegah pertama. Perjumpaan yang tidak saya mengerti dengan sebuah buku lusuh berjudul “Empat Kumpulan Sajak” yang beberapa isinya sering saya sadur untuk beromantika dengan cinta picisan. Sajak-sajak penuh dengan kalimat yang menggetarkan menuntun untuk menulis puisi, menyusur sampai jauh yang akhirnya membawa pada gerbang sekolah di fakultas sastra. Sastra Indonesia lagi, program studi yang teramat sulit untuk dijual demi sekepal nasi.

Kehidupan petani memberikan banyak hal yang bisa membawa pada suasana yang selalu “begja” atau beruntung. Memahami laku hidup yang dari pencaharian mereka untuk senantiasa menanam dan memanen, bukankah banyak ajaran kebijaksanaan yang mengambil paradigma pemikiran menanam dan memanen ini? Coba kita selaraskan dengan pemikiran Kamma dalam ajaran Buddha dan Karmaphala dalam ajaran Hindu. Di dalamnya memiliki kesamaan arti, tentang “apa yang kamu tanam, itu yang kelak akan kamu panen”, sungguh menjadi ajaran yang menjadi pelita dalam perjalanan hidup.

Ditambah ketika dalam perjalanan yang lain ketika menjilati bangku perkuliahan, saya bertemu dengan karya Rendra yang lainnya. Saya sampai saat ini masih bisa mengenang bagaimana satu-satunya dosen yang berkompetensi di sastra, Drs Dedi Pramono, M.Hum (semoga arah jalan lurus dan kesehatan selalu tercurah pada beliau) ketika menjelaskan kepenyairan Rendra. “Fantastis” suara itu masih menggema sampai sekarang saat Pak Dedi membaca sebait puisi Rendra berjudul “Kotbah”. Memang fantastis, dalam irama gerak yang penuh dengan cahaya mencerahkan. Di sana, saya melihat ketimpangan dalam perjalanan hidup manusia. Kenapa bisa sekabur ini? Pikir saya sampai hari ini masih belum bisa terselesaikan.

Berada di samping petani, membuat saya bertahan untuk tetap berusaha menjadi manusia yang sadar dengan “sangkan paraning dumadi” untuk tetap menjadi manusia yang “eling dan waspada” seperti yang dipesankan Ranggawarsita. Perlahan namun pasti, saya menggeluti lumur pertanian itu. Belajar di dalam tapak tilas kehidupan, dari merunduknya padi sampai Kedelai yang tidak serakah dengan air yang berlimpah.

Ternyata, kehidupan patani itu menerima wahyu Tuhan. Rendra dalam puisinya yang berjudul “Rakyat adalah Sumber Ilmu” mengetengahkan lima jenis wahyu (baca: pengetahuan), yaitu mengenai agama, alam, kesenian, obat-obatan, pendidikan, pertanian dan peternakan, raja, menteri dan panglima, dan yang terakhir adalah wahyu hakim. Dari kesempilan jenis wahyu ini, setidaknya perjalanan kehidupan petani memiliki lima jenis wahyu dan keseluruhannya bisa didapatkan dalam proses penempuhan laku.

Pertama, pengetahuan (wahyu) tentang agama, bahwa petani melalui kegiatannya bercocok tanam juga mengajarkan berbagai kejadian yang ada di dalam agama. Keikhlasan, kesabaran, pengabdian yang keseluruhannya terekam dengan keberadaan Dewi Sri dan Dah-Hyang yang memberikan. Mereka, para petani ini memahami konsep “nrima ing pandhum” yang selaras dengan takdir Tuhan.

Kedua, pengetahuan mengenai alam, yang secara jelas dimiliki oleh petani. Pengetahuan mengenai alam tersebut memberikan petani petunjuk untuk memulai penggarapannya. Mempelajari siklus alam untuk menanam apa saja yang bisa menghasilkan dalam kondisi alam yang terjadi. Ketiga, pengetahuan mengenai kesenian dan sekaligus keempat mengenai pendidikan. Petani menjadikan dua konsep pengetahuan ini sebagai suatu jalinan yang saling berisnggungan, yaitu seni sebagai media untuk mendidik. Misalnya, kesenian yang berbentuk dongeng dan Macapat yang biasanya digunakan dalam rangka proses pendidikan agar seorang anak kecil mengerti dengan hidup. Kelima, pertanian dan peternakan.

Fenomena yang memakau ketika saya menyadari keberadaan dari kehidupan para petani. Laku kehidupan manusia yang sudah menjadi “roh” yang dijalankan, bukan diretorikakan. Pekerjaan mereka mengolah tanah, memunculkan saripati yang bisa dimanfaatkan oleh manusi lainnya, seperti yang diungkapkan Rendra di puisinya berjudul “Gugur”, yaitu: “Bumi yang menyusui kita/ dengan mata airnya”. Air susu yang dikeluarkan bumi melalui tangan para petani. Lantas, tidak masalahkan kalau petani?

Bantul – SDS Fictionbooks, Rabu Pahing 30 Maret 2011.
Sumber: http://phenomenologyinstitute.wordpress.com/2011/03/30/tidak-masalahkan-kalau-petani/