Budaya Komunikasi Tabung Hijau

Arswendo Atmowiloto
lampungpost.com

“to whom I must speak today..”

Walt Whitman, penyair

Ketika seorang penyiar radio bertanya: apakah program konversi minyak tanah ke elpiji bisa dikatakan berhasil—atau belum, saya maklum bahwa jawabannya bukan sekadar “sudah” atau “belum”, melainkan on going, masih harus berkelanjutan. Masalah konversi, perubahan dari suatu sitem ke sistem yang lain, si tabung hijau—tabung gas berukuran 3 kg, bukan sekadar data atau angka belaka, melainkan juga yang tak tercatat dengan angka. Yaitu perubahan sikap masyarakat penguna. Dan ini adalah proses budaya, sehingga memerlukan pendekatan budaya untuk memahami dan menangani permasalahan yang ada.

Dari Alat KB sampai Helm

Dalam suatu acara talkshow di televisi dengan petinggi Pertamina dengan tema yang sama, saya berlagak mengerti soal komunikasi dengan mengambil contoh peristiwa budaya yang sejenis. Yaitu ketika alat KB, keluarga berencana, mulai dikenalkan di masyarakat. Masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim, tidak akan mudah menerima informasi yang menyangkut soal aurat.

Dalam soal bisnis, sama tantangannya. Masyarakat yang terbiasa makan nasi—belum dianggap makan kalau belum makan nasi—disodori bentuk lain, yaitu mi. Atau masyarakat yang terbiasa minum teh secara gratis di warung, apa lagi air putih, sekarang harus merogoh koceknya. Atau bahkan informasi keselamatan dengan menggunakan safety belt atau helm bagi pengemudi atau pembonceng, yang jelas-jelas untuk keselamatan jiwa penggunanya, tetap perlu dikomunikasikan, perlu disosialisasilkan secara berkelanjutan.

Keberhasilan memasyarakatan program KB—pada tahap tertentu, tidak hanya dalam bagaimana menggunakan kondom aneka warna, atau bentuk spiral, tetapi juga bentuk kemesraan yang tak terkurangi. Baik melalui iklan, atau dan terutama bentuk-bentuk soft, yang lebih menyentuh, melalui sinetron, komedi, atau apa saja bentuk kesenian yang dikenali masyarakat. Hal yang sama ketika citra gagah menyantap mi, dan atau keakraban keluarga dengan minum teh, dan unsur kesehatan pada pilihan minum air putih.

Dalam hal ini lirik puisi penyair Amerika seperti merumuskan secara jelas “kepada siapa saya bicara, ketika Amerika sibuk hal lain dan bukan puisi”. Kaitan dengan tabung hijau, “unsur siapa”, adalah masyarakat pengguna yang barang kali secara sosial menengah atau bawah, yang biasa menggunakan minyak tanah dengan membeli di warung satu atau satu setengah liter, atau bahkan yang selama ini menggunakan kayu bakar. Kepada masyarakat ini, atau juga pengguna si tabung biru, berisi 12 kg, idiomnya bukanlah menghemat 30 triliun rupiah setiap tahun. Bahkan kalau angkanya lipat dari itu, atau nantinya dana itu bisa digunakan untuk bantuan lain, tidak menjadikan alasan berpindah. Alasan yang lebih praktis adalah bahwa dengan berpindah ke elpiji, terasakan manfaatnya, lebih hemat—syukur gratis, dan aman. Di luar itu, emangnya gue pikirin.

Dari Pikiran hingga Piring

Posisi Pertamina, mau tidak mau, harus berperan ganda. Di satu pihak menjalankan business as usual, dan sekaligus juga membuka cakrawala pemikiran atau perilaku baru. Untuk tugas pertama saja, sangat dipengaruhi kinerja perusahaan atau pengusaha lain—yang kalau ada masalah larinya ke Pertamina juga, di samping urusan birokrasi dengan pemerintah juga bukan hal yang mudah. Apa lagi menyangkut anggaran pemerintah dengan target tahun 2011 bisa menjangkau seluruh negeri. Sementara untuk peran keduanya, adalah bagian yang terus berproses. Menjaga bagaimana proses pemakai elpiji tidak kembali ke minyak tanah atau kayu bakar, merayu yang selama ini belum menggunakan. Kontinuitas yang kadang melelahkan, kadang mengulang, dengan beberapa pendekatan kreatif baru. Kita semua menyadari, betapa program KB yang sempat sangat sukses, harus diperbarui karena seakan terlupakan kesinambungannya.

Ini masalah bersama, namun Pertamina yang “ketiban sampur”, yang harus menjalankan program. Dengan segala risikonya, dengan segala kemungkinan untung atau buntung. Namun justru barang kali inilah tantangan utama—untuk tidak mengatakan yang terutama, bahwa upaya yang dilakukan melalui tabung hijau, adalah lampu hijau untuk mengubah persepsi masyarakat secara lebih luas dari sekadar menanggalkan kayu bakar atau minyak tanah. Menjadikan masyarakat lebih dewasa, lebih terbuka cara berpikir, juga lebih kritis untuk hal-hal lain. Pada titik itulah keberhasilan menjadi keberhasilan ganda.

Yang mudah diucapkan, namun perlu pendekatan kreatif yang lebih langsung ke sasaran yang dimaksud. Yang barang kali bisa dengan memakai media komik, penciptaan tokoh hero baru, dengan memperhatikan audience interactive, dengan segala gimmick baru, media sosial, dan menjaganya. Itulah yang juga dilakukan maskapai penerbangan manapun, ketika segala bentuk promosi dilakukan untuk kemudahan, pada saat yang sama masih mengingatkan dan memberi contoh penumpang untuk memasang sabuk pengaman, membuka jendela saat mendarat, dan tata krama yang lainnya. Berapa kali pun kita naik pesawat terbang, hal seperti itu masih terus diingatkan. Karena penggunaan si tabung hijau juga diharapkan berkesinambungan terus, agar program lain yang mulia bisa dilakukan. Karena keberadan si tabung hijau dan tabung biru harus menjadi bagian peralatan dapur kita, sebagaimana keberadaan piring, kain pel atau sapu.

Dan nantinya kalau anak-anak bercerita, atau melukis tentang dapur, tabung hijau menjadi idiom yang disertakan.
***

*) Arswendo Atmowiloto, Budayawan.

Bahasa »