Islam dan Pascamodernisme

Peresensi: Geger Riyanto *
Judul: Nietzsche Berdamai dengan Islam: Islam dan Kritik Modernisme Nietzsche, Foucault, Derrida
Pengarang: Ian Almond
Tebal: 140 halaman
Penerbit: Kepik Ungu
Waktu terbit: April, 2011
oase.kompas.com

Judul buku ini akan menghenyakkan siapa pun yang pernah membaca Nietzsche, filsuf kelahiran Jerman yang mengemukakan kematian Tuhan. Berdamai dengan Islam, bagaimana bisa itu dilakukan oleh seorang tokoh berkumis tebal yang menghujat para pemeluk agama pada masanya?

Segera, di paragraf-paragraf awal bab pertama, Ian Almond, penulisnya, memutar balik keheranan kita; ia justru heran, mengapa kata Nietzsche dan Islam justru menjadi sesuatu yang tampak diametral, bertentangan? Nietzsche, bila diteliti dengan saksama, seperti yang dilakukan Almond dalam buku ini, justru kerap menampilkan sikap yang simpatik terhadap Islam.

Nietzsche, yang menolak agama agar bisa menikmati hidup dengan penuh, ternyata menganggap Islam sebagai satu keyakinan yang dapat mengakomodasi hasrat diri yang dipenjara oleh rezim agama di Eropa. Hafiz, penyair Islam, atau sekte Assassin, para petarung Muslim dari Timur Tengah, dikagumi Nietzsche lantaran keberadaan mereka mengafirmasi pemikiran filsafatnya yang nihilis, yang menganggap kekuatan, bukan moral, sebagai penentu dunia.

Namun, memang, “berdamai” adalah kata yang tepat untuk digunakan sebagai judul. Nietzsche, seperti yang dijelaskan Almond, tidak berniat untuk sampai menganut Islam. Ia menggunakan Islam, yang dianggapnya mampu menyelaraskan panggilan spiritual dan duniawi, sebagai amunisi untuk mengkritik habis-habisan hegemoni rezim agama di Eropa yang dengan munafik hidup dalam dalih-dalih surgawi. “Berdamai” mengimbuhkan semacam gencatan senjata Nietzsche dengan Islam, berperang bersama menghadapi Eropa.

Namun, ulasan tentang Nietzsche sebenarnya hanya sekadar pembuka buku ini. Lebih jauh, Ian Almond juga mengulas dua pemikir penting lainnya, Michel Foucault dan Jacques Derrida. Keduanya dikenal sebagai ikon gerakan pasca-modernisme, sebuah skeptisisme total terhadap apa-apa yang modern, lebih maju, beradab, dan rasional.

Kedua figur tersebut, sama seperti Nietzsche, tampak kontradiktif dengan kata Islam. Selain itu, ternyata, analisis terhadap citra Islam di antara para pemikir ini membuka horizon-horizon tak terduga.

Perlu ditekankan, semua ini tidak berarti penulis sepakat terhadap pemikiran mereka. Penulis juga sadar dengan bias-bias dalam pemahaman para filsuf ini terhadap Islam. Selain itu, apa yang dilakukannya, tak lebih, tak kurang, adalah kerja seorang peneliti yang prolifik, menunjukkan kepada kita bagaimana Islam dipahami oleh para pemikiran pasca-modernisme.

Terakhir, di antara gegap gempita yang mungkin ditimbulkan oleh buku Nietzsche Berdamai dengan Islam, saya kira nilai literatur ini terletak pada bagaimana ia mengekspos kepada kita, keragaman dan kekayaan citra tentang Islam di Barat, yang ternyata tak selamanya gelap. Dengannya, secara tidak langsung, buku ini mengajak kita untuk tidak canggung dalam pergaulan global, mengajak kita untuk selalu memahami yang lain dengan lebih utuh dan penuh.

* Alumnus Sosiologi Universitas Indonesia, 28 April 2011