Tak Sempurna, tapi Menawan
Benny Benke
suaramerdeka.com
Indonesia tanah air kita/ Bahagia menjadi nestapa/ Indonesia kini tiba-tiba/ Selalu dihina-hina bangsa.// Disana banyak orang lupa/ Dibuai kepentingan/ dunia/ Tempat bertarung merebut kuasa/ Sampai entah kapan akhirnya.
Petilan sajak ”Aku Masih Sangat Hafal Nyanyian Itu” disyairkan dengan nanar oleh KH A Mustofa Bisri (Gus Mus) diiringi musik minus one yang laras. Ketika petilan sajak yang memarodikan syair tembang “Indonesia Pusaka” itu purna, Idris Sardi dengan penghayatan penuh menggesek biola, membungkus akhir sajak dengan titi nada lagu “Indonesia Pusaka”.
Ketika sajak keenam dalam Pergelaran Satu Rasa Menyentuhkan Kasih Sayang yang menyandingkan Gus Mus dan Idris Sardi usai, 350-an penonton di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Rabu (22/3) malam, memberikan aplaus meriah.
Gus Dur dan sang istri Shinta Nuriyah serta Yenni Wahid dan Inayah Wulandari tampak terlihat paling bersemangat memberikan aplaus. Hadir pula Quraish Shihab, Salahudin Wahid (Gus Sholah), Rizal Ramli, Achmad Bagja, Sutardji Calzoum Bachri, dan Piyu Padi.
Meski sebenarnya tak ada yang istimewa benar dengan cara pembawaan dan penghayatan Gus Mus saat melantunkan sajak-sajaknya, spontanitas “penyair balsem” itu ketika berdialog dengan Ratih Sanggarwati di atas panggung menjadi hiburan tersendiri.
”Gus, saya belum mempersilakan Anda naik ke pangggung,” tegur Ratih Sang kepada Gus Mus yang nyelonong ke panggung.
”Saya ingin mendengar Mas Idris main,” jawab Gus Mus. Jawaban spontan Gus Mus itu disambut gelak tawa hadirin.
Idris Sardi yang hendak mendapat giliran memainkan biola secara solo pun tersenyum. Namun karena kesalahan teknis, permainan biola Idris Sardi batal. ”Kesalahan teknis. Nanti saja mainnya,” ujar Idris.
”Baik, kalau begitu giliran saya saja, tak pernah salah teknis,” ujar Gus Mus cepat.
Ya, kolaborasi Gus Mus-Idris Sardi tentu berbeda dari kerja sama antara “Presiden Penyair” Sutardji Calzoum Bachri dan musikus blues. Sutardji mampu menyatukan puisi dengan musik. Bahkan bahasa tubuh Sutardji pun sudah blues. Begitu pula keapikan cara WS Rendra mendeklamasikan sajak diiringi musik barok Kantata Takwa.
Dalam kolaborasi Gus Mus-Idris Sardi, sajak dan biola cenderung berjalan dalam aras masing-masing, tak menyatu. Kemahiran sang maestro Idris Sardi memerikan nada-nada menyayat, nglangut, dan perih memang tak terbantah. Namun untuk menyatu dengan syair-syair Gus Mus masih perlu proses dialog lebih intens.
Gus Mus, dibantu Ratih Sang dan Fatin yang membacakan Sajak Atas Nama, Dalam Kereta, Hanien, Pencuri, Cintamu, Aku Masih Sangat Hafal Nyanyian Itu, Gelap Berlapis-Lapis, Kaum Beragama Negeri Ini, Ada Apa Dengan Kalian, Aku Tidak Bisa Lagi Menyanyi, Nasehat Kematian, dan tujuh sajak lain nyaris menggunakan intonasi, birama, dan penghayatan setipe serta datar.
Kemampuan sebagai deklamator sebagaimana Rendra dan Sutardji menghantarkan sajak sehingga dramatis, berisi, dan bernyawa sehingga menghipnotis penikmat tak muncul dalam kolaborasi Gus Mus dan Idris Sardi. Namun bukan Gus Mus jika tak menawan hati.
Kejujuran dalam sajak-sajaknya serta spontanitasnya menjadi nilai tersendiri yang menghibur hati. Sajak Gus Mus, meminjam istilah Mohammad Sobari, yang memberikan orasi budaya pada awal perhelatan, menjadi cermin masyarakat, cermin zaman. Kata-kata dan syair Gus Mus, meski terdengar lemah dan lembut, tetap memengaruhi dan menginspirasi para pendengar.
”Terima kasih atas sedekah waktu Saudara-saudara mendatangi pertunjukan kami. Maafkan jika pertunjukan kami tidak sebagus dan sehebat yang diiklankan,” ujar Gus Mus ketika pertunjukan usai. Penonton tertawa dan menyambut dengan bahagia.
24 Maret 2006.