Asarpin
Rumah dan pulang mungkin dua tema yang akan terus kita temukan dalam kesusastraan sampai kapan pun. Sebab kedua tema ini telah menjadi bagian penting sejumlah penyair, di mana pun penyair itu berada. Sebagian besar mereka pernah menulis sajak tentang rumah dan pulang dengan kadar dan kedalaman masing-masing.
Esai ini hendak menggali kedua tema itu dalam puisi-puisi kita, dan itu tentu tidak semuanya bisa disajikan di sini. Hanya beberapa sajak saja yang sempat saya kumpulkan yang bicara ihwal rumah dan pulang, sementara ratusan—bahkan ribuan—sajak dengan tema yang sama tak mungkin bisa disinggung di sini. Barangkali inilah kepentingan sekaligus ketidakadilan seorang pembaca; ia memilih sajak sesuka hatinya, sesuai dengan hasrat hati dan keinginan subjektifnya.
Sebagian besar puisi lepas dengan riwayat dan sejarahnya masing-masing, yang akan dibicarakan di sini, tak mudah disusun menjadi satu ”rumah” pemaknaan. Sajak lepas ibarat sebuah potongan jigsaw yang mesti saya susun dengan teliti sekaligus harti-hati, agar membentuk suatu kedalaman kemaknaan dari kehidupan.
Rumah ibarat sepetak nostalgia yang ingin ditengok selalu. Sama seperti kampung halaman, rumah adalah sejarah dan rasanya tak puas kalau tak mengingatnya, jika perlu mendatanginya sekadar untuk melihat, syukur kalau bisa menginap sehari dua hari. Tapi rumah juga bisa membuat orang tak bebas bepergian jauh. Pancangan kenangan selalu akan terngiang, memanggilnya untuk kembali.
Kita tak sepenuhnya bisa menjadi warga dunia, dan mampu menjadikan setiap tempat milik kita karena memori akan selalu mengingat asal kita. Dan kalau sudah punya rumah, panggilan untuk pulang menjadi semacam keniscayaan sejarah, atau tradisi, layaknya mudik setiap lebaran: ia telah dianggap bagian dari pengalaman wajib untuk memperkaya hidup orang zaman sekarang.
Rumah erat kaitannya dengan lokalitas. Rumah yang apak sekalipun tak akan pernah terkikis dan terbuang dalam ingatan para penyair kita. Sebab ”tiada pengembara yang tak merindukan sebuah rumah”, kata Joko Pinurbo yang mengaku terus-terang dalam sajak ”Tiada”.
Tapi di situ pula soalnya. Kalau Tuan masih tak takut kehilangan rumah, tidakkah Tuan lihat: begitu banyak orang merindukan rumah yang ditinggalkan, dan berduyun-duyun mudik dengan segala risiko yang menghadang di perjalanan. Di sana mahia menjadi sesuatu yang mustahak. Dan rumah tidak selalu merupakan kehadiran yang mengungkung.
Iwan Nurdaya Djafar menjadikan tema pulang sebagai judul himpunan sajaknya. “Akhirnya aku pun paham, bahwa hidup adalah perjalanan pulang setelah terusir pada masa silam” (”Pulang”). Sementara Isbedy Stiawan harus kembali ke asal sebagai pengobat rindu: “kususuri masalalu, di sini matahari telah lesap, hingga sulit nemukan jejakku kembali…daun-daun luruh/menghapus arah, mengatup rumah/bagiku pulang” (“Kususuri Masalalu”).
Iswadi Pratama sama sekali tak ingin jadi pendurhaka dengan melupakan rumah, sampai-sampai “aku tak mau kehilangan bau keringatku” (“Pulang”). Sementara Ari Pahala mengajak membangun kembali rumah yang telah runtuh karena “ia tempat bagi bakal anak dan istrimu”, bahkan tempat “bagi nuranimu” berlabuh (“Membangun Rumah”). Dina Oktaviani membayangkan Tanjungkarang ditinggalkan sebagai bangkai yang kadang “menjelma hari kemarin, memberi semacam sakit dan ingatan” ( “Bangkai Tanjungkarang”). Jimmy Maruli berseru: “Pulanglah, atau kau sudah nemu rumah baru yang suwung/seperti tempat tinggal kita dahulu di kampung” (”Ayat Hikayat”).
Mengapa penyair kita begitu cepat memutuskan pulang? Secuil jawaban kita temukan dalam sajak Jimmy: “karena kota ini angkuh bagi pendatang, karena kita kadang dibaptis sebagai perantau, diberi indeks-indeks, rumah dengan kamar sempit, dimana kata tak menjamin segalanya rampung”.
Kalau sudah begitu, yang jadi soal bukan mengapa pulang, tapi bagaimana rumah dan pulang itu dihadirkan. Sebagian besar penyair kita ternyata takut kehilangan rumah. Hal ini bisa dimaklumi, sebab kita semua akan selalu kehilangan rumah. Disinilah konflik dan ketegangan itu bermain.
Bagi penyair yang gandrung pada mitologi Yunani, mereka mengambil tauladan dari beberapa tokoh. Chairil Anwar berusaha memecahkan ketegangan dengan memutuskan jadi manusia pengembara selamanya bagaikan Ahasveros yang dikutuk Dewi Eros. Karena dia penyair, rumah yang dibayangkan bukan seperti penyair kebanyakan, tapi ”Rumahku dari unggun-timbun sajak/Di sini aku berbini dan beranak” (”Rumahku”).
Sementara sebagian besar penyair kita mengambil tauladan dari sosok Odysseus, sekan-akan itulah dewa yang ideal. Padahal tokoh ini kata Emmanuel Levinas, masih merindukan pulang, dan akhirnya memang memutuskan pulang. Sitor Situmorang tipikal penyair model ini ketika mengatakan: “Rinduku/Pulang dalam Rumah dalam Seni/Angin manis meniup pasir benua Afrika/Di Eropa kutahu masih salju/Sampai ke padang-padang Siberia/Aku harus ke Moskow, tapi/Memenuhi harapan yang kusayang/Untuk kumpul di akhir Ramadhan/Aku pulang malam terbang garuda rindu” (sajak ”Panggilan”).
Sementara Toto Sudarto Bachtiar dalam sajak ”Rumah” bilang: ”Terkadang terasa perlunya ke rumah/Atau terasa perlunya tak pulang rumah”. Sutardji C. Bachri ”terpaut nyeri dalam guratan kicau Riau parah yang dalam, riwayat lengah tak sampai paham, meski pulang selama pulang, tak hilang kau dari ingatan (”Buat Idrus Tintin”). Pencarian akan Tuhan juga harus diakhiri dengan bertobat: ”Ya, Tuhan, jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoar, tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia, kini biarkan aku menenggak marak cahayaMu, di ujung sisa usia” (”Idulfitri”).
Begitulah sekelumit kegelisahan para penyair kita dalam menentukan tempatnya berpijak. Persoalan rumah dan pulang menjadi semacam daerah pergulatan, atau pergolakan, yang eksistensial sifatnya. Ada kalanya mereka berusaha mempertanyakan kembali apakah sebaiknya penyair memang tak memiliki rumah. Adakalanya mereka merasa cemas dan takut kehilangan rumah. Tapi satu hal yang jelas: kita memang akan selalu kehilangan rumah.
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/