Stigmatisasi Sastra Indonesia

Maria Magdalena Bhoernomo *
Seputar Indonesia, 23 Sep 2007

STIGMATISASI sastra Indonesia menjadi “sastra kelamin”, “sastra imperialis”, “sastra kontekstual”, “sastra pedalaman”, “sastra Islami”, “sastra kiri”, “sastra pop” dan lain sebagainya, perlukah?

Pertanyaan ini agaknya cukup penting untuk didiskusikan karena faktanya tidak membuat sastra Indonesia lebih akrab dengan masyarakat Indonesia. Mungkin saja pihak-pihak yang melakukan stigmatisasi sastra Indonesia berkepentingan positif. Misalnya, ingin membuat sastra Indonesia lebih akrab dengan kelompok masyarakat tertentu.

Kepentingan demikian mungkin menyembunyikan tujuan tertentu, seperti ingin mengajak kelompok tertentu bersedia memberikan apresiasi terhadap sastra secara lebih proporsional. Atau,ada tujuan lain seperti ingin menempatkan sastra Indonesia (yang telah mengalami stigmatisasi) tidak lagi terasing dari kelompok masyarakat mana pun karena faktanya yang disebut sebagai masyarakat Indonesia juga telah mengalami stigmatisasi-stigmatisasi.

Tujuan ini bisa juga dikaitkan dengan keinginan untuk membangkitkan minat kelompok masyarakat tertentu terhadap sastra. Jika stigmatisasi sastra Indonesia memang bertujuan seperti yang terpapar di atas,hal itu layak dihargai.Misalnya,jika sastra Indonesia sudah diberi stigma sebagai “sastra Islami”,kemudian kaum muslim ramai-ramai mengapresiasi dan juga ramai-ramai memproduksi karya sastra sehingga pada akhirnya tidak ada lagi fenomena keterasingan sastra di tengah masyarakat kita sebagaimana yang selama ini berlangsung.

Kasus larisnya novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman mungkin bisa dikatakan sebagai hasil stigmatisasi sastra Indonesia sebagai “sastra Islami”, jika merujuk mayoritas pembacanya yang terdiri atas kalangan berjilbab.Kasus ini bisa menjadi fenomena yang cukup mendukung upaya mengembangkan apresiasi sastra Indonesia manakala didukung mutu.Artinya,sebuah novel bercitra sebagai “sastra Islami”bisa laris bukan semata-mata berkat promosi gencar dan dukungan apresiasi yang bersifat fanatisme maupun sentimentalisme religius kelompok tertentu yang kebetulan mayoritas di Indonesia.
***

Data empiris banyak membuktikan bahwa stigmatisasi sastra Indonesia (baca: sastra berbahasa Indonesia) tidak banyak mendukung perkembangan apresiasi dan produktivitas sastra Indonesia manakala hanya bertujuan untuk menimbulkan fanatisme dan sentimentalisme yang berkaitan dengan agama, ideologi,dan ras tertentu. Misalnya, sebelum dan selama Orde Baru, betapa sastra Indonesia mengalami stigmatisasi menjadi “sastra kiri”dan “sastra kanan” yang ternyata justru menyeret sastra menjadi bagian dari propaganda politik yang ujung-ujungnya merugikan sastra itu sendiri.

Betapa banyak buku sastra yang dibakar atau dibredel. Betapa banyak sastrawan yang terpenjara secara fisik maupun psikologis dan terbunuh karakternya serta terpinggirkan dari media publikasi. Data empiris tersebut sampai sekarang masih menyisakan trauma yang mendalam. Trauma itu kemudian melahirkan generasi yang terasing terhadap karya sastra bangsa sendiri.

Di tingkat akar rumput, sampai sekarang masih berlangsung antipati terhadap karya-karya sastra yang ditulis oleh kelompok sastrawan yang dulunya dianggap sebagai musuh. Sampai sekarang masih banyak orangtua yang melarang anak-anaknya membaca novel-novel yang ditulis oleh sastrawan tertentu yang dulunya menjadi musuh politiknya meskipun novelnovel tersebut sangat bagus dan bahkan masuk kategori “sastra dunia” karena telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa di banyak negara.

Mengingat fakta buruk tersebut,jika kini masih ada upaya stigmatisasi sastra Indonesia layak dicemaskan karena akibatnya bisa jadi tidak akan menguntungkan generasi berikutnya. Apa pun latar belakang agama-ras-ideologinya,kita selayaknya berharap generasi berikutnya akan menjadi generasi yang mampu memberikan apresiasi tinggi terhadap sastra sebagai produk peradaban manusia yang memang selayaknya diapresiasi.

Kita juga layak berharap dalam dunia yang telah mengglobal ini tidak ada lagi anak-anak yang takut membaca sastra karena kebetulan penulisnya berbeda agama, berbeda aliran politik maupun berbeda ras. Rasanya sangat konyol jika masih ada sementara pihak yang mendorong lahirnya generasi yang alergi terhadap karya sastra tertentu karena hal ini tidak menguntungkan siapa pun.

Sebaik-baiknya generasi di dunia global ini tentu generasi yang membuka matanya lebar-lebar agar tahu banyak hal sehingga memiliki wawasan luas, tapi tetap teguh pada keimanan dan kebangsaannya daripada generasi yang sengaja menutup mata atau memakai kacamata minus sehingga tidak dapat mengetahui perkembangan kebudayaan yang berlangsung di sekitarnya.
***

Berkaitan dengan stigmatisasi sastra Indonesia menjadi sastra-sastra tertentu yang ujung-ujungnya bisa merugikan perkembangan apresiasi terhadap sastra, sebenarnya ada masalah besar yang lebih layak diurus agar tidak menjadi kendala abadi bagi upaya penghapusan citra keterasingan sastra kita di tengah masyarakat kita sendiri,yakni masalah keadilan dan proporsionalitas publikasi atau sosialisasi sastra.

Kita layak mengajak semua pihak (terutama pemegang otoritas media) untuk sama-sama menghormati kualitas sebagai satu-satunya hal yang harus diutamakan dalam urusan publikasi atau sosialisasi sastra Indonesia yang ditulis oleh siapa pun. Misalnya, rubrik sastra yang terbuka di koran-koran atau majalah sastra seperti Horison jangan sampai menjadi media yang cenderung berbau sektarian, apalagi kolusi dan nepotisme.Jangan biarkan rubrik sastra yang makin sempit atau majalah Horison yang nasibnya mirip bonsai, tidak lagi mengutamakan kualitas karya sastra, melainkan mengutamakan sastrawan-sastrawan tertentu saja.

Untuk menegakkan keadilan dan proporsionalitas media publikasi sastra memang tidak mudah, ketika banyak sastrawan produktif berada di dalamnya dan ikut memegang otoritas. Dan belakangan ini,semakin banyak sastrawan yang mengeluhkan ketidakadilan dan ketidakproporsionalan media publikasi sastra kita. Ada yang mengeluh bahwa koran-koran tertentu telah menjadi media arisan antarsastrawan tertentu sehingga sastrawan yang tidak bergabung tidak mungkin bisa terpublikasikan karyanya.

Ada juga yang mengeluh, majalah Horison bukan lagi menjadi barometer perkembangan mutu sastra Indonesia karena banyak sastrawan Indonesia yang tidak pernah mengirimkan karyanya untuk dipublikasikannya. Ada juga yang mengeluh betapa sejumlah penerbit hanya bersedia menerbitkan karya sastra yang memiliki tema-tema tertentu dan yang ditulis oleh sastrawan-sastrawan tertentu.

Keluhan-keluhan tersebut bisa jadi sangat cengeng, tapi ada baiknya menjadi alarm untuk meningkatkan keadilan dan proporsionalitas media publikasi sastra kita. Kalau ternyata keluhankeluhan tersebut ada benarnya, sebenarnya media publikasi sastra kita juga telah dengan terbuka melakukan stigmatisasi sastra Indonesia.

Dan jika ternyata tingkat apresiasi sastra Indonesia cenderung selalu sangat rendah dibandingkan dengan perkembangan populasi penduduk Indonesia, misalnya hampir mayoritas buku sastra kurang laku, mungkin itulah akibat yang ditimbulkannya. Sayang sekali.
***

*) Maria Magdalena Bhoernomo, Pesastra dan penikmat sastra.