Yendra Brutus *
http://www.harianhaluan.com/
Selama ini banyak kalangan yang selalu gencar mendengungkan untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar atau bahasa baku. Selayaknya kita sebagai seorang yang Indonesia mendukung hal tersebut, sehingga bangsa kita masih tetap memliki identitas bahasanya.
Kita memang meyakini kalau bangsa kita Indonesia memiliki bahasa persatuan nasional, yakninya bahasa Indonesia. Semenjak ditetapkannya bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu yang diikrarkan Sumpah Pemuda, sampai pada masa sekarang ini bahasa Indonesia kian dibenahi dan semakin berkembang. Yang kemudian kita kenal dengan EYD atau Ejaan Yang Disempurnakan.
Akhir-akhir ini, kalau kita perhatikan di daerah, bahasa Indonesia rata-rata sudah digunakan dalam berkomunikasi. Jika kita amati di lingkungan kita, misalnya Kota Padang. Kita sering kali mendengar orang-orang berbicara dalam bahasa “Indonesia” terlebih lagi generasi mudanya. Sepertinya masyarakat Padang sadar akan bahasa persatuan Indonesia. Tapi apakah benar demikian?
Mungkin kita pernah mendengar ujaran-ujaran seperti berikut ini. “lagi ngapain kamu?” atau “suka-suka kamu aja mah!”, atau “kemana kita lagi ni?”, atau “nggak apa-pa do”, atau ke sini aja lah”, atau “aku lagi di jalan ni ha”, dan mungkin masih banyak ujaran lainnya yang senada dengan itu.
Kalau kita dengar sekilas lalu, ujaran tersebut terdegar seperti bahasa Indonesia pada umumnya, akan tetapi kalau kita cermati lagi rasanya ada yang “aneh” dan janggal dari ujaran tersebut. meninjau lebih jauh lagi ujaran bahasa ini tergolong unik dan boleh dikatakan agak berbeda dengan bahasa Indonesia baku pada umumnya.
Secara struktur, ujaran “nggak apa-pa do” dan “aku lagi di jalan ni ha” mirip dengan struktur atau pola yang ada dalam bahasa Indonesia, Tetapi ditandai dengan kode – kode dalam bahasa minang sperti [ha] dan [do].
Coba kita cermati ujaran “lagi ngapain kamu?”, “kemana kita lagi ni?”, “kesini aja lah kamu”, dan “suka-suka kamu aja mah”. Struktur yang digunakan merupakan konstruksi atau susunan frasa berpola Menerangkan-Diterangkan, karena bagian yang menerangkan ‘lagi ngapain’, ‘kemana’, ‘kesini’ dan ‘suka-suka’ berada di depan yang diterangkan ‘kamu’ dan kita. Dalam tataran yang lebih luas disebut bahasa yang berpola V-O (Verb – object) atau predikat verba mendahului nominanya.
Sedangkan kalimat dalam bahasa Indonesia biasanya berstruktur Diterangkan – Menerangkan. Jadi seharusnya dalam bahasa Indonesia kalimat tersebut adalah “kamu sedang apa?”, “kita mau kemana?”, “Kamu datang saja kesini” dan “kamu seenaknya saja”.
Nampaknya ujaran-ujaran di atas terpengaruh oleh struktur bahasa Minang pada umumnya yang merupakan bahasa yang boleh dikategorikan bahasa yang berpola Ergatif atau pola Pasien menjadi Subjek dan Agen menjadi Objek. Sementara susunan kalimat dalam aturan bahasa Indonesia pada umumnya adalah Akusatif atau pasien menjadi Objek dan Agen menjadi Subjek.
Coba kita lihat perbandingan berikut. Misalnya, bahasa Indonesia “Kamu Marah ya?” dan bahasa Minangnya adalah “Berang ang yo?”. Yang menjadi objek dalam kalimat tersebut adalah ‘Marah’ dan subjeknya adalah ‘Kamu’. Tetapi dalam bahasa Minang strukturnya justru terbalik. ‘berang’ merupakan Subjek dan “Ang” merupakan Objek.
Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkkan bahwa ujaran – ujaran diatas merupakan sebuah percampuran kode (mixing code) antara bahasa Minang dan bahasa Indonesia. Percampuran tersebut menghasilkan bentuk bahasa baru yang kerap disebut dengan bahasa “Indonesia Padang”. Atau lebih tepatnya bahasa minang yang di – Indonesia – kan.
Selain itu, percampuran bahasa di atas juga melibatkan bahasa daerah lain. Kalau kita perhatikan kata ‘ngapain’, ‘nggak’ dan ‘aja’ bukan merupakan kosakata dalam bahasa Indonesia, melainkan kosakata yang ada dalam bahasa daerah Betawi atau Jakarta. sementara, [mah], [ha], [do], [lah] merupakan kode – kode kebahasaan yang sering digunakan dalam bahasa Minang. sedangkan [ni] berasal dari kosakata bahasa Indonesia ‘ini’ yang kemudian dirubah menjadi [ni] karena terpengaruh penggunaan kata dalam bahasa Minang [ko] turunan dari ‘iko’ yang sepadan dengan kata ‘ini’.
Coba kita lihat bentuk lain, seperti ujaran “Tolongin aku satu ha” ujaran ini mungkin terdengar sedikit lucu dan mengingatkan kita pada ujaran dalam bahasa Minang “Tolongan ambo ciek ha”. bentuk bahasa seperti ini merupakan bahasa Minang yang dirubah kosakatanya dengan kata yang agak Indonesia dan sedikit bernuansa agak Betawi tanpa merubah struktur bahasanya.
Dari fakta diatas tampaknya telah memicu terjadinnya sebuah fenomena kebahasaan. Memahami bahasa Indonesia tanpa memperhatikan kenyataan keanekaragaman bahasa yang ada merupakan suatu hal yang dirasa kurang bijak, mengingat Indonesia merupakan negara yang memiliki ragam budaya atau multikultural, dan bahasa merupakan salah satu penanda dari perkembangan suatu budaya dalam suatu mayarakat.
Kita tidak bisa menyangkal bagaimana dinamika bahasa Indonesia dalam lingkungan bahasa daerah yang jumlahnya cukup banyak dalam masyarakat Indonesia yang beragam bahasa atau multilingual. Antara bahasa, budaya dan masyarakat merupakan sebuah pertalian yang tidak bisa lepas satu dengan lainnya.
Pada dasarnya antara satu bahasa dan bahasa lainya memang selalu berkontak, apalagi bahasa – bahasa yang yang dimiliki oleh masyarakat yang memiliki dinamika bahasa dan budaya yang dinamis seperti orang Minang. Siapa yang bisa menyangkal kalau orang Minang mempunyai pola pemikiran yang dinamis, piawai dalam berbahasa, mudah bergaul. Dan terlebih lagi orang Minang merupakan sosok yang terkenal sangat mudah menyesuaikan diri dengan masyarakat di luar Minang. faktor inilah salah satu pemicu yang menyebabkan terjadinya kontak bahasa yang pada akhirnya mengakibatkan percampuran bahasa.
Akan tetapi proses percampuran bahasa ini kadang terjadi karena masyarakat penutur bahasa tidak memiliki kemampuan memilah bahasa sesuai konteks yang ada dan ketidak fahaman terhadap sutuasi yang ada, sehingga terbentuklah fenomena bahasa yang pada akhirnya menjadi sebuah ketelanjuran.
Kadang kita berfikir apakah kita harus bangga dengan “kreatifitas” berbahasa seperti ini. Ataukah miris melihat kondisi ini. Di satu sisi kita tidak bisa menyangkal bahwa kita harus menjaga ke – daerahan kita. Di sisi lain kita juga tidak bisa menyangkal untuk menjaga nasionalisme berbahasa kita. sehingga faktor tersebut menjadi sebuah “dilema kebahasaan”.
Tapi apakah kita pernah menyadari jikalau dilema kebahasaan semacam ini justru merugikan kita sendiri sebagai pengguna bahasa. Dengan arti kata bahasa daerah yang kita cintai seperti menjadi hilang keasliannya, sedangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang kita hargai juga seperti kehilangan identitasnya. Akankah fenomena seperti ini yang akan “terlanjur”menjadi bahasa Indonesia selanjutnya?
*) Mahasiswa Program Studi Linguistik, Program Pascasarjana Universitas Andalas, Padang. 01 May 2011