Soni Farid Maulana
http://www.pikiran-rakyat.com/
ALHAMDULILLAH, pada Kamis kedua, bulan Mei 2011, laman Mata Kata kembali hadir dengan menampilkan sejumlah puisi yang ditulis oleh penyair Riyadhus Shalihin (Bandung), Kiki Padmowiryanto (Bandung), dan Budi Muhammad (Bandung). Ketiga penyair yang tampil kali ini menunjukkan kemampuannya masing-masing dalam mengolah pengalaman puitiknya.
Sejumlah puisi yang ditulis oleh Riyadhus Shalihin, diakui atau tidak, terasa segar, menarik untuk diapresiasi dan direnungkan makna yang dikandungnya. Larik-larik puisinya kerap membawa ingatan kita pada suasana-suasana puitik tertentu, yang ada kalanya terasa surealistik. Hal ini menunjukkan, bahwa Riyadhus bukan orang baru dalam menulis puisi. Dilihat dari caranya ia menulis, tampak punya jam terbang yang cukup lumayan.
Sementara itu, Kiki dan Budi tampil dengan cara yang lain, walau apa yang diungkapnya itu terasa sederhana, Namun demikian, tentu saja masih ada nilai yang bisa dipetik. Paling tidak, apa yang diungkap oleh Kiki dan Budi bukan ditulis dari ruang batin yang kosong. Ia pasti berangkat dari sebuah pengalaman, baik secara fisik maupun metafisik.
Sekalipun menulis puisi merupakan dunia rekaan, sebagaimana dikatakan Prof. Dr, A. Teeuw pengamat sastra Indonesia asal Belanda, yang banyak jasanya memperkenalkan sastra Indonesia di Belanda sana, pada kenyataannya menulis puisi bukan dimaksudkan untuk sekadar main-main. Menulis puisi, harus ada tujuan. Setidaknya ia harus turut serta mencerahkan batin pembacanya pada sebuah pengalaman tertentu.
Puisi sebagai dunia rekaan, ia tentu tidak ditulis begitu saja, Ia pasti bersangkutan dengan logika, dan daya intelektual para penyairnya. Berkaitan dengan itu, menulis puisi pada sisi yang lain tentu tidak sekali jadi, dan apa yang disebut revisi pada titik-titik tertentu selain akan mematangkan sebuah puisi, juga berfungsi untuk menyiangi puisi dari pilihan diksi yang tidak tepat, dan sebagainya. Adakalanya ketika rima diperhitungkan, ia ditulis dalam tahap revisi. Apa sebab? Karena pada tahap pertema, biasanya penyair lebih menyerahkan dirinya pada gelombang puitik yang menuntun dirinya menulis puisi hingga larik akhir selesai dituliskan.
Ada yang menarik dikatakan penyair Acep Zamzam Noor dalam percakapannya dengan penulis, jika menulis puisi hanya untuk main-main, apalagi bila main-mainnya itu tidak bermutu, maka sebaiknya tidak mengerjakan apa-apa. Karena hal itu hanya membuang-buang waktu saja. Lantas kenapa menulis puisi harus serius? Karena menulis puisi bukan hanya urusan hati semata-mata, melain juga urusan otak dengan berbagai variasinya. Karena itu menulis dengan professional. (Soni Farid Maulana/”PRLM”)***
***
Sajak-sajak Riyadhus Shalihin
Selusur Akasia
Di sini jejakmu kembali menggenang
Air matamu deras berbulir, merangkum lengkung senja
Yang menaungi kesedihanku, pencarianku.
Dan di setiap halaman tak berpenghuni
Selalu helai musim semi yang menghantarkanku terlelap
Sementara masih saja kita memetik keheningan, bersandar
pada hari – hari yang teramat sendu
Di balik temaram aku yakin kau telah berpulang pada rindu.
Biarkan hutan yang akan menyerukan namamu, biarkan selusur akasia, remah luluh daun cemara dan juga gelak limbung burung gereja, berkhidmat pada dirimu,pada kehilanganku atas wangi rerumputan, rayuan dan sela sela rambutmu yang tulus.
seperti ketika hujan pertama kali membasahi bumi, kemudian mengering menjadi sepi.
pada akhirnya aku ingin menuntun diri ku sendiri,
kecemasanku yang berlebihan pada kenangan – kenangan kita
sementara senja tak lagi menunggu iringan burung yang berpulang
dan saat kau tak ingat lagi, pada harum secangkir teh
pada bebunyian serangga menjelang malam yang
selalu membuat kau tertidur pulas.
April 2011
Pada Hutan Cibodas
1/
Selalu ada yang terlambat terkatakan.
Selalu ada yang membawaku pada memoar itu.
Apabila dedaunan telah meranggas
Hujan menyulam kata – kata
Maka kutahu di dalam gugusannya kan kutemukan wajahmu.
Selalu dingin ini yang menyelusup rerimbunan
Pada patung – patung kusam berlumut
Kita bersandar, mengatur hari
Menjejaki embun yang berselimut.
Masihkah kau sesendu dahulu?
Sulur hutan yang kita lewati
Perlahan menghilangkan keramaian
Aku mulai senang sendiri.
Bayangmu memudar
Perlahan hilang di antara genangan hujan.
2/
Ujung cemara itu mengingatkanku
Bahwa diantara bayangnya kita pernah menyusuri
jalan setapak yang tak pernah berujung ,
serat mahoni melumat rinci keheningan, saat kita saling terlelap
terpekur manja di antara rintik – rintik senja
Pohon – pohon yang tirus
Dan desah merayu ranting ranting
Perlahan menjadi senyum yang menggairahkan.
sore ini kau tampak begitu kemayu
harum nafasmu menjadi begitu kultus
mengumbar syahwat bermusim, dalam wangi dan birahi.
Aku sungguh ingin mengecup keningmu
Di antara celah celah pepohonan.
3/
Jemarimu lemah dan begitu ramping, kelak aku ingin pulang
Pada lembap benalu dan inang – inangnya.
Muara pada kasihmu mengendapkan amuk menggelegak
Dan sekali lagi aku menimbunmu dengan rayuan.
Berkelindan lembut ku susuri ujung ujung tubuhmu
Selusur lehermu adalah bebukitan sepi, ku eram dan ku lumat
Melalui tubuhmu kunikmati erangan hutan
Mengilhami jeritan angin.
Anak – anak burung menanti ibunda
Petang berayun, dan mustahil akan ku genggam lagi.
samar – samar gerimis pun berderai
Kau hanya membisu.
4/
Masihkah kau berhias dengan adanya, sebab aku selalu rindu
mencumbu pada halus guratmu yang sederhana.
Luas matamu yang membentang, mengingatkanku
pada padang edelweiss
Di musim semi, pangrango yang sunyi.
Di dahimu hinggap luruhan resah, berkecambah
dengan ribuan ciuman
Bersama rasa hangat antara unggun juga dawai malam,
Kita pun menekuni semesta kota di kejauhan.
Cahaya rumah berumbul satu persatu,
Bagai lampion yang berkelindan bermunculan
Kau pun memelukku erat.
Suatu hari kau akan menepi pada sebuah pengembaraan
dimana aku telah menantimu, kita pun berkemas
Berlabuh di ujung lembayung.
5/
Berduyun sepi menggulung hutan, bagai gondola.
Di tepi segara, dedaunan menguning
Suluh suluh bersuara, dan dunia sesaat terpejam
Berarak kalimat – kalimatmu terasa menjadi tanggung
Mengapa tak segera kita beralih ke tepian
Danau dan perahunya tertambat di haluan
Mari kita seberangi kemuning senja.
Melalui rumah – rumah tak berpenghuni
Hari ini ingin ku jemput hatimu.
Menamai mu, mengamini setiap dayuh yang mengantarkanku
Kembali padamu. Bagai induk semang di hulu
Aku akan terus menangisi hutan ini, sebab dengan adanya
sembilu ini.
Aku yakin kau akan menyahut
Kau akan menyambutku.
2011
Riyadhus Shalihin Lahir dan dibesarkan di Kota Bandung, pada tanggal 10 Desember 1989. Sempat kuliah di Jurusan Jurnalistik, Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Bandung. Kini Mahasiswa Seni Teater, Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung. Alumnus Pondok Pesantren Islamic Centre Muhammadiyah, di kaki gunung Hutan Cibodas, Bogor. Bergiat di Forum Pemahaman Nilai – Nilai Islam, STSI Bandung.
***
Sajak-sajak Kiki Padmowiryanto
Sunset
tatkala hari telah memuncak pada belas kasih Illahi
curahan anugrah-Nya menaungi pesisir,
Pura di tebing-tebing karang, gua air suci,
dan sahaja nadi-nadi keikhlasanmu
sementara di tepi keluasan lautan hatimu
kuterpana mencemburui alam nirwana,
menawar kenangan, agar lebih lama lagi
kaupamerkan lukisan pergantian waktu
dari senja ke malam
sebelum lazuardi redup perlahan,
sebelum matahari ditelan ombak
di batas cakrawala.
Tanah Lot,
13 Maret 2009.
Anjing Gamang
anjing gamang
merintih sendiri
melolongi bulan yang sembunyi
di balik kelam malam
anjing gamang
memendam gejolak rindu
liurnya menetes tawar
hidungnya mengendus
birahi betina
betina!betina!
mengapa kau balut kesepian ini
dengan diam?
mengapa cinta tak berpihak
kepadaku?
saat bayanganmu melintas
di antara deretan harapan
caraka asmara.
– kau gantungkan peluang yang
tak teryakinkan,
membuatku cemas dan ragu
melepasmu atau mencarimu?
di mana dunia tengah menanti
cerita cinta yang belum kau tuntaskan…
betina!betina!
kulacak selalu isi hatim
mengejar obsesi
andai aku anjing Kintamani
atau anjing gembala Jerman?
atau mungkin seperti yang kau mau
Bandung,
8 September 2009.
Kiki Padmowiryanto lahir di Garut 21 Oktober 1973. Menulis puisi, cerita pendek,dan artikel. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Sari Kata, majalah Aksara , Media Bersama, Kompas, Harian On Line Kabar Indonesia, beberapa antologi bersama, dan lain-lain. Kini bekerja di BNI Syariah Bandung dan tinggal di Bandung.
***
Sajak-sajak Budi Muhammad
Aceh, 26 Desember 2004 (4)
pandangan merapat
seakan tentara
dalam upacara
“gaung tangis seorang ibu”
kulit manusia abuabu
konon yang terhitung 200 ribu melayang
saat itu
kota tempat berlabuh perahu
pantai jadi terminal
“maafkan aku ibu
ini adalah kehendakNya”
gumam gempa
diamini air
juga angin
28 Desember
Budi Muhammad lahir dan tinggal di Bandung.***