Setelah Tujuh Tahun

Nadjib Kartapati Z.
http://www.suarakarya-online.com/

Hari telah hampir siang ketika aku turun di Stasiun Poncol Semarang. Aku mempercepat langkah, menerombol di antara para penumpang kereta ekonomi. Langkahku terhenti saat kudengar berita pembunuhan atas seorang bekas penjahat besar di Pemalang. Sejenak aku pandangi pesawat televisi yang berada di lobi stasiun.

Dari televisi itu aku sempat mendengar, mantan bromocorah yang sudah lama insyaf itu tewas terbunuh di tempat tidurnya dengan sebilah pisau dapur menancap di lehernya hingga tembus. Polisi menduga pembunuhnya adalah pembantu rumah tangga korban sendiri yang dilaporkan menghilang. Dan seperti biasanya, petugas selalu mengatakan bahwa pihaknya sudah mengantongi identitas pelaku.

Terbayang di benakku darah segar berwarna merah pekat itu mengalir pelahan-lahan di atas tempat tidurnya. Aku bergidik.

Aku menahan gemuruh di dadaku setiap kali mendengar orang menyebut kata bromocorah. Sebab, aku punya riwayat kelam tentangnya. Kalau tak salah hitung, sekurang-kurangnya peristiwa itu sudah duapuluh lima tahun berlalu. Kala itu aku masih tinggal di Desa Gawon bersama suami dan seorang putriku yang berusia dua tahun, Hamidah namanya. Itulah masa-masa paling indah dalam hidupku (sebelum pada akhirnya peristiwa terkutuk itu tiba-tiba menyergap kami).

* * *

Aku sedang menyiapkan makan malam ketika Kang Safuan pulang sholat isya dari musholla. “Kamu jadi bikin pepes gendon, Isah?” tanya suamiku itu. Aku mengangguk. Sore tadi, ketika aku menungguinya mengairi sawah dengan ebor, ia melihatku diberi tiga ekor gendon besar oleh anak tetangga yang pulang rencek di hutan jati. Kang Safuan sangat menyenangi pepes gendon. Kalau disantap dengan sambal terasi rasanya lezat sekali. Kini pepes dan sambal itu sudah terhidang di meja makan. Kang Safuan mengangguk-angguk tersenyum.

Suamiku belum sempat duduk di kursi makan saat pintu diketuk-ketuk orang. Ia pun beranjak ke depan dan sebentar kemudian kudengar suara gaduh yang mencurigakan. Aku menghambur keluar. Ya, Tuhan! Suamiku sedang ditelikung tiga lelaki kekar yang semuanya mengenakan topeng. Tampak olehku di pinggang mereka masing-masing terselip golok yang menggiriskan.

Aku menjerit-jerit dan berupaya melepaskan suamiku dari pitingan mereka. Tapi tubuhku segera saja terpental ketika salah seorang dari mereka, yaitu lelaki berbadan paling gempal, menyemplakku kuat-kuat.

Aku maju lagi, menyerang dengan menggigit tangannya, tapi dengan mudah si gempal mendorongku hingga aku terjengkang. Lolonganku yang melengking-lengking membuat para tetangga berdatangan. Mereka terhenti di pintu ketika si gempal tadi mengacungkan pistolnya.

Tak seorang pun dari para tetanggaku berani membela kami. Suamiku digelendeng seperti pesakitan, sebelum akhirnya dinaikkan ke mobil dan dibawa pergi. Itulah untuk terakhir kali aku melihat Kang Safuan dalam keadaan masih bernyawa.

Malam itu juga berita tersebar ke mana-mana hingga kakak dan adikku, kerabat dekat dan beberapa kenalan, pada datang di rumahku. Aku masih shock berat. Macam-macam celoteh mereka. Ada yang bilang itu demdam lama, penculik suamiku adalah saingan beratnya ketika sama-sama naksir putri kyai di mana mereka berguru mengaji kala remaja dulu. Ada yang tega menghembuskan isu pahit, bahwa suamiku terlibat perselingkuhan dengan istri orang. Ada yang menyebut suamiku sebagai korban penembak misterius yang saat ini memang lagi ramai dioperasikan.

Tapi, apa salah suamiku? Perbuatan jahat apa yang sudah dilakukan sehingga ia menerima semua ini? Kang Safuan cuma seorang petani yang menghabiskan waktunya di sawah dari pagi hingga petang. Kalau malam ia lebih banyak rumah atau di mushola. Ia berkumpul dengan teman dan tetangga hanya apabila ada jagong bayen, ngantenan atau sunatan.

Suatu sore ada berita bahwa Kang Safuan sudah didor. Kabar itu diperoleh dari seorang warga yang pada malam itu sedang memukat perkutut di Bukit Rajawangi yang jauhnya sekitar tiga puluh kilometer dari desaku. Pemukat perkutut itu mengintip dari balik semak, menyaksikan seorang lelaki didor dan dikubur sembarangan di bukit itu juga. Lelaki itu bersarung pelekat. Siapa lagi kalau bukan Kang Safuan?

Sore itu juga sejumlah tetangga dan familiku berangkat. Beberapa orang memintaku agar menunggu saja di rumah, tapi aku memaksa ikut. Dengan dipandu si pemukat perkutut, kami mendaki Bukit Rajawangi. Kami membawa cangkul, sekop, angkruk, kain jarit, senter, dan dua lampu petromak yang menyala terang. Kalau bukan karena besarnya rasa cintaku pada Kang Safuan, pastilah aku sudah roboh kelelahan. Sekujur tubuhku penat dan linu. Rasa nyeri menggerogoti seluruh persendian tulang-tulangku.

Sampai di bukit itu malam sudah turun. Benar kata pemukat perkutut. Di cerukan tanah landai ada gundukan yang menyerupai kuburan baru. Dua ekor anjing liar sedang berupaya membongkarnya. Anjing itu menceker-ceker tanah dengan kedua kakinya. Mereka seperti geram melihat kedatangan kami dan enggan beranjak walau sudah kami halau dengan lemparang-lemparan batu.

Aku menangis tanpa air mata lagi. Kenapa harus berebut dengan anjing toh kami hanya ingin mengubur jasad manusia secara lebih layak? Setelah binatang jahanam itu kabur, kami mendekat dan menguasai kuburan itu. Ya Tuhan! Pada bekas cekeran anjing tadi menyembul dengkul suamiku dengan sobekan sarung pelekatnya.

Aku melarang orang-orang menggunakan sekop, apalagi cangkul. Kuburan itu terlampau dangkal. Kutirukan gerakan kedua anjing tadi: menceker-ceker tanah dengan kedua tanganku. Tak ingin aku mendapati jasad suamiku terkoyak oleh sekop atau alat lain. Akhirnya semua mengikuti gerakanku, beramai-ramai menggali kubur dengan tangan-tangan mereka. Dadaku menyesak ketika melihat wajah Kang Safuan meringis seperti menahan rasa sakit. Ada lubang peluru pada pelipis kirinya. Aku meraung sekeras-kerasnya sebelum pada akhirnya jatuh pingsan.

Syukurlah kami sudah menyelesaikan tugas berat kami: menemukan jasad Kang Safuan sebelum dikoyak dan disantap kawanan anjing malam. Memandikannya, mengafaninya, dan menyolatinya sebelum mengaraknya ke pemakaman umum, lalu memakamkan jenazahnya sebagaimana layaknya mengubur jasad seorang manusia.

Beberapa malam setelah itu seorang lelaki perkasa berkulit hitam mendatangiku. Ia memperkenalkan dirinya bernama Sapuan dari Desa Gawon Kidul. Nama itu seperti tak asing lagi di telingaku. Ia datang hanya untuk meminta maaf kepadaku.

“Suamimu hanya korban salah ciduk, cuma gara-gara punya nama yang sama dengan namaku,” katanya. Aku tercekat. Aku baru ingat lelaki ini adalah pencoleng kayu jati yang ditakuti oleh banyak orang, bahkan oleh polisi hutan sendiri.

“Aku punya musuh yang sudah lama menginginkan kematianku.” “Siapa dia?”

“Tak perlu kusebut namanya. Yang jelas ia menyewa pembunuh bayaran dari luar kota yang tidak paham daerah sini. Pembunuh itu menyangka suamimu adalah aku.”

Dari penjelasannya lebih lanjut akhirnya dapat kuketahui bahwa pembunuh bayaran itu bernama Sutarto, bromocorah bertubuh gempal yang waktu itu sempat membuatku terjengkang. Sutarto! Betapa gampang mengingatnya!

* * *

Ditinggal mati Kang Safuan dengan cara seperti itu, rasanya aku hanya punya nyawa tanpa memiliki kehidupan lagi. Andai saja tak ada Hamidah, anakku satu-satunya, tak tahu seperti apa jadinya hidup ini. Hamidah adalah semangat sekaligus daya hidupku. Pernah beberapa lelaki berminat mengambilku sebagai istri. Semua kutolak karena Kang Safuan serasa masih tetap hidup dalam jiwaku.

Hamidah kubesarkan dengan jerih payahku berkebun dan menggarap sawah tinggalan suamiku. Tak kuizinkan ia ikut menaruh dendam kepada siapa saja atas tragedi ayah kandungnya. Meski kadang-kadang dada ini bagaikan mau meledak bila sewaktu-waktu Hamidah bertanya tentang penyebab kematian ayahnya.

“Jangan kamu tanyakan sesuatu kalau jawabannya akan menyakiti hatimu sendiri, Nduk!” kataku selalu.Satu tahun setelah tamat SMK, Hamidah segera aku nikahkan dengan Jaenun, guru madrasah yang kutahu sering berkirim surat cinta kepadanya. Jaenun kuminta tinggal di rumahku. Dan sebulan setelah pernikahan itu (aku ingat waktu itu hari Selasa, persis tujuh tahun yang lalu) aku pergi dari rumah tanpa sepengetahuan mereka.

Aku mengembara bersama tangis suamiku yang menyayat-nyayat, seolah-olah ia punya harapan yang tidak terpenuhi. Mungkin saja Kang Safuan belum mendapatkan ketenangannya di alam sana.

Sekarang inidalam usia hampir setengah abad aku pulang kampung. Tujuh tahun sudah aku membendung rindu pada Hamidah. Aku yakin ia telah memberiku cucu entah berapa jumlahnya. Pasti ia kaget sekaligus gembira oleh kedatangan ibunya yang selama ini menghilang bagai ditelan bumi.

Hari sudah sore saat aku tiba di desaku. Seperti berpacu melawan ketergesaan, kuputuskan untuk berziarah ke makam Kang Safuan lebih dulu sebelum matahari menyentuh bukit. Aku berlutut menghadap kubur suamiku dan berkata kepadanya bahwa aku sudah merampungkan pekerjaan terberatku untuknya.

“Sekarang tidurlah yang pulas, Kang! Aku akan segera menemui Hamidah anak kita. Setidaknya sebelum yang berwajib meringkusku dan menjebloskanku ke penjara akibat pekerjaan terberatku itu.”
Cipinang Baru, 2009-2011.

Catatan:
Gendon = ulat besar pohon jati
Rencek = mencari kayu bakar
Ebor = penyiduk air terbuat dari anyaman bambu
Bayen = berjagong di rumah orang yang lagi punya bayi
Angkruk= semacam tandu dari bambu
Pelekat= motif sarung berkotak-kotak