Ajip Rosidi
Pewawancara: Muhammad Subarkah
Republika, 28 Juni 2011
AJIP Rosidi adalah sastrawan terkemuka Indonesia yang lahir pada 31 Januari 1938 di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat. Ia menulis secara otodidak semenjak usia 14 tahun. Penerima gelar doktor honoris causa dari Universitas Padjadjaran, Bandung, ini juga disebut sebagai sastrawan Indonesia paripurna. Selain itu, dia juga telah membuktikan diri sebagai juru bicara mengenai kebudayaan Indonesia di luar negeri, terutama ketika dia mengajar di berbagai universitas di Jepang selama 22 tahun. Ajip juga menjadi ketua Yayasan Rancage yang semenjak tahun 1988 setiap tahunnya memberikan penghargaan kepada para sastrawan yang menulis dalam bahasa Jawa, Sunda, dan Bali.
Dalam wawancara ini, Ajip menumpahkan kegelisahannya mengenai nasib bahasa Indonesia ke depan. Menurut dia, elite Indonesia merendahkan bahasa nasionalnya. “Mereka minder atau takut dianggap bodoh ketika menyampaikan pikirannya dengan bahasanya sendiri!”
Sekarang ada kecenderungan dalam acara kenegaraan resmi setelah menyanyikan lagu Indonesia Raya, pemimpin negara malah berpidato bahasa Inggris, apa pendapat Anda?
Sekarang ini, ada keadaan yang buruk, para pejabat dan kaum intelektual kita, apalagi kaum selebriti, memakai bahasa gado-gado, atau bisa disebut bahasa gaul dengan logat Jakarta. Ini jelas menunjukkan posisi intelektual mereka seperti apa sebenarnya. Mereka gemar memakai kata atau kalimat-kalimat bahasa Inggris. Padahal, itu tidak perlu. Sebab, ini hanya menunjukkan bahwa bahasa nasionalnya tidak mampu mewadahi ekspresi pikiran dan perasaan dia.
Tindakan itu jelas merendahkan bahasa Indonesia. Padahal, bahasa Indonesia sudah terbukti dapat dipakai sebagai bahasa untuk menulis tentang ilmu apa pun juga. Jadi, mereka seharusnya kini sudah punya kemampuan berbahasa Indonesia yang tinggi. Apalagi, pada kenyataannya, setengah abad yang lalu, pada tahun 50-an, ada mata pelajaran atau kuliah yang tidak bisa diberikan dengan bahasa Indonesia. Saat itu, karena pengajarnya guru-guru besar bangsa Belanda, mahasiswanya harus belajar bahasa Belanda. Saat itu, misalnya, ada guru-guru khusus untuk menolong mahasiswa ketika harus membaca teks-teks kuliah berbahasa Belanda. Itu terjadi pada mahasiswa hukum.
Tapi, sekarang hal itu tidak perlu lagi. Mau kuliah apa pun dengan mempelajari ilmu apa pun bisa dilakukan dengan bahasa Indonesia. Dari segi ekspresi seni, sekarang karya sastra Indonesia sudah diakui di dunia internasional. Jadi, bahasa Indonesia mampu menjadi bahasa sastra juga.
Mengapa pada situasi seperti ini banyak pejabat atau elite kita berbicara memakai bahasa gado-gado? Apakah ini karena dibelit rasa minder?
Di antaranya, ya karena minder itu. Mereka merasa rendah diri dan tidak ingin ketahuan bila tidak bisa mengucapkan kata-kata Inggris yang akibatnya takut dianggap bodoh. Karena dia menganggap bahasa Indonesia tidak dapat mewadahi ilmu, padahal kenyataannya itu bisa. Ini memang terjadi karena dia tidak membaca karya-karya ilmu yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Misalnya, mereka tidak mengikuti karya sastra Indonesia yang dikagumi oleh negara lain.
Selain itu, mereka berbicara dengan bahasa gado-gado, ya karena pelajaran bahasa Indonesia, baik tingkat dasar sampai tingkat akhir, banyak yang salah. Kalau saya baca buku-buku pelajaran kelas enam sekolah dasar, misalnya, di sana siswa diharuskan tahu mengenai apa itu subjek atau predikat. Nah, padahal, apa gunanya. Yang penting kan siswa sekolah dasar itu dalam pelajaran bahasa Indonesia harus dididik supaya bisa mengemukakan pikiran dan perasaannya dengan bahasa itu. Untuk itu, harus ada contoh-contoh. Dan, contoh-contoh yang terbaik itu ada dalam karya sastra.
Ironisnya, di sekolah-sekolah kita tidak ada perpustakaan yang lengkap. Kalaupun ada, koleksinya pun bukan buku-buku sastra. Ini karena penyediaan buku oleh pemerintah untuk sekolah tidak berdasarkan mutu buku itu. Tapi, berdasarkan pada komisi proyek buku itu berapa besarnya.
Terus terang, gaya berbahasa elite kita memang memprihatinkan. Di televisi, saya melihat ada seorang anggota parlemen Ruhut Sitompul yang menyebut Ketua Mahkamah Konstitusi dengan sebutan si Mahfud. Ini kan menghina. Itu artinya, sewaktu di sekolah dasar tidak diajari gurunya bahwa kata si itu tak boleh dipakai sembarangan di depan nama orang, apalagi dilekatkan kepada nama ketua lembaga tinggi negara. Ini menegaskan, bila dia itu bukan hasil dari pendidikan bahasa Indonesia yang baik. Dan sayangnya, ini dia lakukan berulang-ulang. Padahal, ini tidak pantas diucapkan sebagai seorang anggota parlemen yang terhormat.
Menurut Anda, seperti apa perhatian pemerintah dalam penggunaan bahasa Indonesia sekarang ini? Apakah malah menganggap hal ini tidak penting?
Pemerintah Republik Indonesia semenjak berdiri memang tidak pernah menganggap kebudayaan itu penting. Tak peduli saat zaman Soekarno, Soeharto, atau hingga sekarang, perhatian itu juga tak ada. Sekarang, kebudayaan dianggap sebagai komoditas yang bisa dijual dan dilakukan dengan pariwisata. Dahulu, kebudayaan disatukan dalam departemen pendidikan. Di situ, kebudayaan hanya embel-embel serta dianggap tidak penting. Zaman Presiden Abdurrahman Wahid, kebudayaan dipindahkan ke departemen pariwisata. Ini lebih gila lagi karena kebudayaan dianggap barang jadi yang bisa dijual. Jadi, Pemerintah Indonesia tidak pernah menganggap sebagai hal yang penting.
Dahulu, ada ide harus ada menteri kebudayaan khusus. Saya waktu itu sudah mengatakan itu bukan jalan keluar. Sebab, kalau didirikan lagi, ada kementerian kebudayaan yang nanti berkembang bukan ke kebudayaan, melainkan korupsi. Kementerian malah hanya menjadi sarang korupsi baru.
Anda pernah 22 tahun tinggal dan mengajar di Jepang. Bagaimana penghargaan pemerintah di sana terhadap bahasa mereka?
Ya, sebetulnya juga tidak terlalu istimewa. Di negara-negara lain yang maju, semuanya memang berbuat sama dengan Jepang. Mereka menganggap pelajaran bahasa itu penting. Bahkan, di Jepang, kemampuan berbahasa Jepang menjadi syarat yang sangat penting meski orang Jepang juga mempelajari bahasa asing. Tapi, ada satu hal yang di sana menjadi sangat penting. Hal itu adalah semua ilmu atau semua karya sastra yang istimewa ada dalam bahasa Jepang. Kadang-kadang, bila di Jepang akan diterbitkan buku yang penting dari Amerika Serikat, buku itu terbit bersamaan dengan terjemahannya dalam bahasa Jepang.
Jadi, orang yang bisa membaca karya aslinya bersamaan dengan terbitnya karya terjemahan buku tersebut. Mereka sangat yakin bahwa bahasa Jepang cukup untuk membuat orang berbudaya. Akibatnya, di sana, bila ingin menjadi seniman, budayawan, ilmuwan, maka orang-orang Jepang itu cukup dengan menggunakan bahasanya saja. Begitu juga dengan orang Cina, Inggris, dan Prancis pun seperti itu: bangga akan bahasanya dan antusias menerjemahkan buku asing.
Namun, kita kan tidak. Dahulu, Pak Sutan Takdir Alisyahbana mengatakan, penerjemahan karya sastra dan ilmu dari bahasa ke bahasa Indonesia adalah hal yang mutlak. Bahkan, dia sempat mengusulkan perlunya pembentukan lembaga penerjemahan. Namun, ini tidak pernah dipedulikan oleh pemerintah sehingga Pak Takdir pernah mengatakan, “Kalau begini situasinya, maka lebih baik bahasa Inggris dijadikan saja bahasa nasional di Indonesia. Ini supaya bangsa Indonesia bisa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan.” Ya, sampai sebegitu besar rasa kecewanya Pak Takdir itu.
Melihat situasi yang berkembang menyedihkan itu, orang suka bicara gado-gado dan papan reklame ramai ditulis dalam bahasa Inggris, apakah menurut Anda bahasa Indonesia ke depan masih bisa bertahan?
Kalau dibiarkan seperti ini, bahasa Indonesia akan bernasib seperti bahasa ‘PGN’ Inggris (bahasa Inggrisnya orang Papua Nugini). Nah, sekarang bagaimana kita sendiri menyikapinya.