Ketika Para Sastrawan Bersatu Membangkitkan Sastra Indonesia di Mata Dunia

Sastra Terpinggirkan, Karakteristik Bangsa Hilang
Siti Mugi Rahayu
http://www.indopos.co.id/

Terpinggirkan, begitulah nasib Sastra Indonesia di era modern. Menyambut peringatan Hari Kebangkitan Nasional ke-103, para sastrawan bersatu membangkitkan Sastra Indonesia di Panggung Dunia.

PULUHAN orang pengunjung dari berbagai kalangan profesi seperti sastrawan, produser dan sutradara film, keluarga mendiang sastrawan terkenal, memadati Aksara Book Store, Plaza Indonesia, Jakarta, kemarin (19/ 5). Mereka terlihat antusias berdiskusi, bertukar pendapat tentang nasib Sastra Indonesia di era modern yang digagas oleh Yayasan Lontar dan Djarum foundation. Ada apa dengan Sastra Indonesia? Sastrawan sekaligus seniman serba bisa, Putu Wijaya menuturkan, Sastra Indonesia, kini tak lagi dipandang sebagai ilmu pengetahuan.

Sastra hanya dipandang sebagai sesuatu yang kuno dan hanya sebagai abdi pelajaran Bahasa Indonesia. Kurangnya perhatian Pemerintah terhadap Sastra, menjadi salah satu faktor, kurangnya sosialisasi sastra di pendidikan formal kepada generasi muda. ”Sekarang ini sudah ada kesalahkaprahan sehingga menyebabkan sastra tidak menarik, membosankan dan pada akhirnya terpinggirkan,” ujar pria kelahiran Puri Anom, Tabanan, Bali, 11 April 1944. Kekuatan sastra hilang dikarenakan kualitas dan kuantitas guru-guru sastra yang sudah berkurang di dalam pendidikan formal. Kebanyakan malah menggabungkan antara pelajaran Bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia. ”Karena tidak menarik, jam pelajarannya dibuang dan diganti dengan pelajaran lain. Orang jadi tidak mengerti kenapa harus baca karya Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer,” terang pimpinan Teater Mandiri ini.

Padahal, sambung Putu, dengan mempelajari dan memahami Sastra Indonesia dapat mempertahankan jati diri bangsa. ”Sekarang ini, kita seperti mengalami kehilangan karakter bangsa. Itu bisa dikembalikan dengan Sastra,” ujarnya. Lebih lanjut, pria yang telah menghasilkan karya berupa, 30 novel, 40 naskah drama, seribu cerpen, ratusan esei, artikel lepas, dan kritik drama ini menjelaskan, Sastra tidaklah lahir dari sebuah kekosongan Ia (sastra) ada setelah melewati proses yang berkaitan dengan berbagai aspek, yakni sosial, budaya, politik, ekonomi, bahkan juga ideologi dan agama. ”Sastra merupakan aset negara untuk promosi, membina karakter bangsa. Sastra punya kekuatan itu tapi sekarang dilupakan. Di sekolah pun sudah mulai terpinggirkan,” tandasnya.

Dalam menghadapi era globalisasi, Indonesia harus mempunyai ciri khas atau karakter bangsa. Hal tersebut tentu dapat dibangun melalui sastra. ”Jika ciri khas hilang, kita tidak mampu bersaing dan akan terberangus dalam dunia globalisasi,” tambahnya. Setali tiga uang dengan Putu Wijaya, penyanyi sekaligus novelis muda berbakat Dewi Lestari menuturkan Sastra Indonesia kini tidak diperkenalkan secara menarik. ”Kini malah dianggap sesuatu yang jauh di awang-awang,” jelas penulis novel Supernova ini. Demi membangkitkan kembali Sastra Indonesia di masyarakat serta di mata dunia. 10 Karya sastra Indonesia diterjemahkan ke dalam bahasa asing yang terangkum dalam Modern Library Of Indonesia oleh Yayasan Lontar dan Bakti Budaya Djarum Foundation. ”Diharapkan, ini bisa menjadi menjadi duta dalam memperkenalkan Indonesia dipanggung dunia. Selama ini orang luar tidak tahu bahwa kita bisa menulis. Ini sebagai pembuktian bahwa Indonesia tidak kalah jika disejajarkan dengan penulis dunia,” pungkas wanita yang akrab disapa Dee. (*)