M. Za’imuddin W. As’ad
radarmojokerto.co.id
PERASAAN saya, saat itu persis seperti yang terjadi lima tahun lalu ketika KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (GD) menjenguk ayahanda (Muh. As’ad Umar) yang menderita sakit stroke di rumah. Sebagaimana lazimnya para penjenguk, dengan santai tapi sangat antusias GD tanya beberapa hal tentang riwayat dan keluhan penyakit beliau.
Sesekali GD juga bercerita bahwa telah dijenguknya penderita lain yang lebih parah tapi akhirnya bisa sembuh. Kisah-kisah yang sangat ”menghibur” ayahanda. Ketika suasana agak hening, GD bertanya pada ibu saya yang terbilang masih ”mambu sedulur” dengan Ny. Wahid: ”Nedone Pak As’ad yoknopo yu..?”
Belum sempat ibu menjawab, petanyaan dilanjutkan,”Angsal nedo sate ta?”
Tentu saja pertanyaan itu jauh dari serius dan lebih dimaksudkan untuk mencairkan suasana, sehingga ibu saya dan tamu lainnya hanya senyum-senyum saja. ”Pengeran niku adil,” ucap GD seolah tahu kalau di sekitarnya sedang menahan tawa,”Waktu enom biyen jik doyan-doyane sate, gak iso tuku. Barang saiki wis iso tuku weduse, gak iso mangan sateen,” kelakar GD yang langsung disambut tawa lepas seisi rumah.
Tak lama kemudian, GD pun berpamitan. Saat itulah saya merasa tangan beliau seolah-olah memegang erat lengan saya seperti mengajak saya masuk dalam mobilnya. Tanpa bertanya lagi, saya langsung menyertai beliau mengambil posisi duduk di kursi paling belakang sebuah MPV (sejenis Toyota Kijang) abu-abu metalik.
”Berapa putranya Pak As’ad itu?” tanya GD yang saya yakin ditujukan ke saya, meski ada tiga penumpang lain yang menyertainya. ”Banyak Gus, delapan. Saya yang pertama, sebagian besar adik saya aktif di kepengurusan NU…kecuali saya..” jawab saya dengan agak cemas jangan-jangan GD mempermasalahkan ketidakaktifan saya ini.
Tampaknya GD menangkap kegelisahan saya itu,”He..he.. kalau jadi pengurus itu kan ada batas waktunya, masa baktinya jelas.. ya enak seperti kita-kita ini, bisa bersentuhan langsung dengan warga NU melalui apa saja, di mana saja dan kapan saja sak katoge he.. hee..” jawab GD yang sangat membesarkan hati saya.
Itulah karakter dasar seorang pemimpin sejati, selalu berupaya membesarkan orang-orang kecil dan menyemangati orang yang sedang dalam kegelisahan.
Termotivasi oleh sikap GD yang sangat jauh dari kesan ketokohannya tersebut, saya pun mulai berani mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang akhir-akhir ini menggelayuti benak saya. ”Maaf Gus, beberapa hari lalu ada insiden kekerasan terhadap tokoh gereja HKBP di Bekasi, tersangka pelakunya adalah warga muslim. Bagaimana menurut jenengan.?”.
”Negara harus tegas, siapapun pelakunya harus ditindak sesuai hukum yang berlaku. Sekali alat negara dibayang-bayangi ketakutan untuk menindak pelanggar hukum lantaran si pelaku di-back up ormas atau kelompok yang mengedepankan kekerasan, maka saat itu juga wibawa negara akan hancur. Sehingga rusaklah tatanan hukum yang sudah kita sepakati bersama ini.” tukas GD seperti memendam amarah.
”Tapi gus, kejadian itu merupakan klimaks dari protes warga Ciketing yang di tengah pemukiman mereka ditempati kebaktian gereja tersebut, padahal di perkampungan itu tidak ada penganutnya?” tanya saya lagi, dengan sangat hati-hati.
”Itulah kelemahan ummat kita. Itu menunjukkan kita sesungguhnya hanya besar di jumlah tapi tidak di kualitas keimanan. Kalau iman seseorang sudah kuat jangankan ada pemeluk agama lain beribadah di depan rumahnya, beribadah di kamar yang sama pun tidak akan mengusik keislamannya. Ingat, jika Islam di Indonesia mau besar, maka Islam yang mayoritas ini harus bisa melindungi yang minoritas. Atau -seperti yang pernah saya tulis- kebesaran Islam karena Islam turut mangangkat derajat pemeluk agama lain. Coba baca lagi tulisan saya yang berjudul NU, Muktamar XXXI dan Demokratisasi yang saya diktekan 10 Desember 2004 di Melborne dulu,” papar GD dengan intonasi yang serius.
Merasakan gelagat pembicaraan yang kian ”menghangat”, saya akhirnya mencoba mengalihkan ke topik yang ringan. ”Maaf Gus, pemerintah sekarang sedang punya rencana besar untuk membangun proyek pemakaman di Tebuireng dan lingkungan sekitarnya dengan biaya 180 miliar. Bagaimana menurut jenengan?”
”Siapa yang bilang begitu?” GD balik bertanya penuh selidik. ”Dulu SBY, tapi beberapa hari lalu Saifullah Yusuf (Gus Ipul) mengemukakannya lagi pada acara halalbihalal di Alun-Alun Jombang. Dia malah menegaskan bahwa dana itu merupakan sharing (urunan) pemerintah pusat dan daerah. Apa…” belum selesai saya menuntaskan kalimat saya, GD sudah merespons dengan tawa terpingkal-pingkal yang panjang.
Saya tidak tahu, apakah GD tertawa karena saya menyebut nama presiden yang punya sikap ”double standard” terhadap PKB beliau, atau karena mendengar nama wagub Jatim yang pernah beliau tindak tegas. Apa karena mendengar kata sharing-nya yang terkesan ada pendomplengan popularitas.
Setelah tawanya berhenti, saya mengulangi pertanyaan yang tersela tadi,”Apa GD setuju dengan proyek akbar untuk makam tersebut?”
GD terdiam sejenak, kemudian sambil menata duduknya, beliau menjawab,”Ya jangan tanyakan sikap saya dong, karena saya tidak dalam posisi menyetujui atau tidak. Apalagi di sana ada makam tokoh nasional yang kebetulan beliau adalah kakek dan ayah saya sendiri. Saya tidak ingin jawaban saya mengundang tafsiran macam-macam seperti biasanya.”
Karena GD tidak berkenan menjawab, maka saya bermaksud membuat pernyataan-pernyataan yang kemudian akan saya konfirmasikan pada GD. ”Begini Gus, saya melihat adanya suatu ironi. Di satu sisi pemerintah bersedia menyediakan anggaran besar yang bisa digunakan membangun 180 SD untuk membangun situs pemakaman jenengan, di sisi lain nilai pluralitas atau kebhinekaan yang jenengan perjuangkan justru tidak termasyarakatkan dengan baik, bahkan ada kecenderungan faktual malah memudar. Saya kok melihat kentalnya nuansa politis pada proyek itu. Bukannya saya sok kritis Gus, sepengetahuan saya apa yang dilakukan pemerintah sekarang, sama dan sebangun dengan apa yang dilakukan presiden Soeharto terhadap makam BK (Bung Karno) di Blitar dulu. Tujuannya adalah untuk merangkul massa pendukung BK dan untuk menunjukkan pada dunia betapa kelirunya pendapat yang menyatakan bahwa antara Soeharto dan BK berseberangan. Padahal dalam praktik kekuasaannya, nilai ekonomi kerakyatan dan kemandirian yang diajarkan BK, ditinggalkan jauh-jauh oleh rezim Soeharto digantikan kapitalisme dan IMF oriented. Singkatnya: makamnya dihormati, ajarannya diingkari. Jadi saya kuatir sekali gus, kalau-kalau pemerintah sekarang mengikuti jejak pak Harto. Bagaimana pendapat jenengan terhadap keusilan analisis saya ini?” tanya saya dengan suara pelan pada GD yang dari tadi saya lihat tertidur pulas.
Tapi tiba-tiba keluar juga jawaban beliau,”Itu bukan usil, itu suatu analisis yang sangat…” belum selesai GD menyempurnakan jawabannya, saya dikejutkan tepukan lembut di pundak saya. ”Excuse me sir, your safety belt please..” ucap ramah pramugari Emirates mengingatkan saya supaya mengencangkan sabuk pengaman, sambil ia menegakkan sandaran kursi saya.
Masya Allah, saya baru sadar bahwa sejak dari Juanda sampai mau mendarat di Changi (bandara Singapura) saya tertidur lelap. Biasanya saya membalas keramahan pramugari dengan senyum sambil berterima kasih. Tapi kali ini saya agak jengkel, karena mimpi belum tuntas sudah dibangunkan. Mimpi yang sangat mahal, sebab bisa berdialog singkat dengan tokoh yang saat ini prinsip-prinsipnya sangat dirindukan ibu pertiwi, Gus Dur. Allahummaghfirlahu, warhamhu, wa’afihi wa’fu’anhu.
*) Wakil Rektor UNIPDU Jombang.