Wayan Supartha
http://www.balipost.co.id/
SEPERTI biasa, ruang pengadilan di alam baka, hari ini penuh sesak. Tiap detik, ribuan atma antre diadili, sebelum menghuni sorga atau neraka. Jumlah dosa mereka ditimbang-timbang dengan perbuatan baiknya. Jika lebih banyak dosa ketimbang baiknya, maka ia berhak menghuni sorga terlebih dahulu. Setelah itu, barulah ia dijebloskan ke neraka, mungkin ratusan atau ribuan tahun sampai ia menjelma kembali ke alam fana.
Sebaliknya, jika jumlah perbuatan baiknya lebih besar ketimbang dosanya, terlebih dahulu ia medekam di neraka. Setelah dianggap cukup, barulah ia berhak menjadi penghuni sorga. Lamanya juga bisa ratusan atau ribuan tahun, sampai ia menjelma kembali ke alam fana.
Seorang atma wanita dipanggil hakim. Sanghyang Yamadipati, hakim tunggal di alam baka, segera memeriksa berkas perkara yang disodorkan Sanghyang Suratma, satu-satunya panitera yang bertugas mencatat semua perbuatan manusia di alam fana. Hanya beberapa detik saja Yamadipati memeriksa, vonispun segera dibacakan.
“Setelah mempertimbangkan matang-matang, pengadilan menghukum saudari sebulan di neraka, selanjutnya menikmati alam sorga tiga ratus tahun.”
Yamadipati mengetuk palunya. Dua cikrabala, yaitu petugas keamanan di alam baka segera mengambil atma wanita itu. Di pengadilan alam baka, tidak ada upaya hukum yang bernama naik banding, kasasi atau peninjauan kembali (PK). Begitu palu diketuk, mau tak mau vonis hakim harus diterima. Hukum acara di alam baka memang disusun begitu. O,ya, perlu juga diketahui, hukum di alam baka, tidak mengenal istilah hukum perdata atau hukum pidana. Hakim yang mengadili pun pun selalu hakim tunggal. Tidak ada jaksa, pun tidak ada pengacara. Semua vonis hakim mutlak benar, harus dianggap adil, dan oleh karenanya harus diterima.
Tapi kali ini, suasana pengadilan di alam baka, benar-benar lain dari biasanya. Ketika atma seorang pendeta mendapat giliran divonis satu bulan di sorga, tiga ratus tahun di neraka, ia melancarkan protes.
“Tuan Hakim!” teriak pendeta itu dengan suara keras. “Saya tidak bisa terima vonis hakim ini. Hakim benar-benar melanggar perasaan keadilan.”
Hakim Yamadipati merasa kaget juga. Soalnya baru kali ini, ada seorang atma melancarkan protes. Jutaan atma yang ngantre di ruang sidang mendadak jadi gaduh. Yamadipati pun segera mengetukkan palunya beberapa kali untuk menenangkan para atma yang menunggu giliran.
“Saudara, sebenarnya tidak ada aturan seorang atma melakukan protes meskipun dengan dalih membela diri,” kata Yamadipati setelah suasana sedikit tenang. “Tapi oleh karena tidak ada aturan, baiklah, saya perkenankan saudara membela diri. Nah, atas dasar apa saudara menilai vonis ini tidak adil?” tanya Yamadipati.
“Begini. Tuan hakim. Tadi saya sudah menyaksikan sendiri, wanita tadi divonis hanya sebulan di neraka, lalu berhak tinggal di sorga selama 300 tahun. Sedangkan vonis untuk saya kebalikan dari vonis wanita tadi. Ini kan benar-benar tidak adil?”
Jutaan atma yang berada di ruang sidang yang luas itu bertepuk tangan. Mereka bersorak sorai dan bahkan ribuan atma berteriak, “Hidup pendeta…! Hidup pendeta…!” Mereka seakan baru punya wakil yang berani memprotes vonis hakim Yamadipati yang tampangnya serem dan galak itu. Sebelum ini, jangankan protes, memandang wajahnya saja sudah takut.
“Okey…Okey…! Saya persilakan saudara melancarkan protes. Tapi saya mohon, semua yang hadir di sini menghormati lembaga pengadilan. Saya mohon…sekali lagi saya mohon…para atma semuanya tenang,” kata Yamadipati berusaha menenangkan hadirin. Hakim sorga itu lalu mengambil HP-nya yang super canggih untuk mengontak pihak keamanan alam baka. Ribuan cikrabala segera didatangkan untuk mengamankan sidang. Oleh karena cikrabala itu membawa senjata dan bodinya tinggi besar dan kuat, situasi yang tadinya gaduh alang kepalang, kini kembali hening. Sang pendeta pun kembali angkat bicara.
“Tuan hakim. Tuan selama ini dikenal hakim yang paling adil, tidak pernah kena kasus suap, apalagi korupsi. Pendek kata, hakim di alam baka selama ini dikenal tak pernah terlibat dalam mafia peradilan.”
Pendeta itu kemudian menoleh ke kiri, ke kanan dan ke belakang. Ia memandang para atma dan berharap memberikan dukungan. Kemudian dengan suara lantang pendeta itu melanjutkan.
“Nah, sekarang rupanya Tuan hakim mulai berani bertindak tidak adil. Dulu saya mengira, hanya hakim di alam fana saja yang melanggar sumpah, mengalami krisis moral. Ternyata hakim di alam baka pun juga bisa disogok, hingga vonisnya sangat tidak adil.”
“Saudara bisa kemukakan argumentasi?” tanya Yamadipati.
“Tadi saya sudah katakan, kok vonis wanita itu jauh lebih baik ketimbang vonis saya? Apakah itu namanya keadilan?”
“Memangnya kenapa dengan wanita itu? Saudara mengenal dia?”
“Jelas kenal,” jawab sang Pendeta dengan mantap. Kemudian lanjutnya, “Letak rumah wanita itu berseberangan dengan geria saya. Setiap pagi, ketika saya melakukan upacara Suryasena, menyembah dan berbakti kepada Dewa Surya, saya melihat wanita itu baru pulang di antar oleh seorang peria. Lalu, ketika saya melakukan puja Tri Sandhya di sore hari, wanita itu dijemput oleh seorang peria yang lain. Baik yang mengantar maupun yang menjemput orangnya sering beda. Setelah saya minta informasi kepada tetangga, wanita itu adalah seorang CO, cewek orderan, bekerja di kafe untuk menghibur si hidung belang.”
“Terus?” Yamadipati mempersilakan melanjutkan.
“Masak seorang CO mendapat hukuman jauh lebih ringan ketimbang saya seorang pendeta, yang setiap hari melakukan persembangan. Apakah ini yang dinamakan keadilan?”
Yamadipati manggut-manggut. Ia memandang ke seluruh atma yang diam tak berani berkutik lantaran di setiap sudut ada cikrabala yang galak.
“Baiklah. Untuk membuktikan argumentasi saudara, saya akan memutar kembali rekaman video ketika saudara dan wanita tadi masih hidup di alam fana.”
Layar lebar kemudian dibentang. LCD Projektor dan laptop super canggih segera dipasang. Laptop sorga itu konon punya software yang kecanggihannya tak terhingga. Semua file perbuatan makhluk hidup, dari manusia, binatang dan bahkan tumbuh-tumbuhan terekam di sana. Tidak ada kekuatan virus pun yang dapat merontokkan data atau file Sanghyang Suratma. Lagi pula, rekamannya sangat akurat, lengkap, jernih, pokoknya penemu komputer pun terkagum-kagum dengan kecanggihan alat dewata itu. Itulah sebabnya, tidak ada yang berani membantah kebenarannya.
***
Pagi-pagi, sebelum Sang Surya memancarkan sinarnya di ufuk timur, Ida Pendeta Soleha Kabinawa sudah duduk di depan padmasana. Segelas air dan sesajen juga sudah siap di depannya. Setalah komat-kamit beberapa lama, sang pendeta pun mengambil genta kemudian digoyang-goyangkan sambil melantunkan mantra. Ning…ning…ning…!
Suara genta itu terdengar nyaring sampai di tetangga, termasuk di telinga Sari Juminten. Sehabis mandi pulang dari kerja, ia duduk tepekur di kamar tidurnya. Suara genta yang ia dengar dari rumah seberang sangat menenangkan hatinya. Dentingan genta sang pendeta benar-benar menyentuh kalbunya. Dengan bersimpuh di lantai, wanita itu komat-kamit sambil meneteskan air mata.
“Ya Tuhan, yang maha pengasih. Ampuni dosa-dosa hamba. Hamba melakukan semua ini, bukan karena kehendak hamba, tapi demi anak-anak hamba, demi orangtua hamba.”
Juminten bangkit untuk melanjutkan kegiatan, begitu suara genta berhenti. Ia segera menuju dapur, menyiapkan makanan buat ketiga anaknya sebelum mengantar ke sekolah.
Ketika sang Surya menuju tempat peraduannya, Juminten duduk bersimpuh lagi di lantai kamar tidurnya. Seperti biasa, ia mendengar suara genta dari sang pendeta di rumah seberang. Sambil mengucapkan doa-doa, suara genta itu menyentuh kalbu, mengantarkan doa-doa yang dipanjatkannya.
Di tempat kerja, suara genta sang pendeta masih terngiang di telinga Juminten. Suara musik di kafe pun ia dengar suara genta. Ketika ada seorang lelaki mendekatinya, Juminten berkata dalam hatinya. “Ya, Tuhan, engkau telah mendekati diriku dengan penuh kasih sayang.” Ketika lelaki itu membelalainya, memeluknya, menciumnya, bahkan melakukan apa saja, Juminten pun berkata dalam hatinya, “Ya Tuhan, Engkau sangat penyayang, pemurah. Tanpa Engkau, hamba tak bisa berbuat apa-apa. Dan ampunilah setiap dosa yang hamba lakukan.”
Demikianlah, setiap hari Juminten mengucapkan nama-nama Tuhan berulang-ulang. Pikirannya selalu merasa hening, damai dan khusuk manakala ia mendengar suara genta pendeta. Bahkan dimanapun dan kapanpun, suara genta sang pendeta selalu terngiang di ditelinganya.
Lalu, bagaimana halnya tentang sang Pendeta? Setiap ia duduk di depan padmasana, ternyata pikirannya menerawang ibarat kuda liar. Ia mencantingkan mantra seraya membunyikan genta. Dalam benaknya ia tidak membayangkan wujud Tuhan, melainkan berkata, “Oh, betapa nikmatnya jika aku dapat kencan sama Juminten. Sayang, aku ini seorang pendeta. Etika dan aturan, tidak memungkinkan hal itu terjadi. Tapi, Oh, Juminten itu benar-benar yahud…”
Demikianlah setiap sang pendeta melakukan Suryasewana atau Trisandhya di merajan-nya, ia terbayang wajah Juminten. Kebetulan merajan sang pendeta ada di lantai II, sehingga sering dapat melihat gerak-gerik Juminten di rumahnya. Saat melakukan pemujaan, wajah Juminten lebih sering berkelebat di benak ketimbang wujud dewa-dewi yang dipujanya.
***
“Bagaimana? Apakah saudara masih menilai vonis pengadilan tidak adil setelah menyaksikan rekaman video tadi?” tanya hakim Yamadipati.
Sang Pendeta bungkam seribu bahasa. Para atma yang ikut menyaksikan rekaman video tadi juga tak ada yang berani berbisik.
Para cikrabala lalu mengambil sang Pendeta untuk dieksekusi. Dalam perjalanan menuju tempat hukuman, sang Pendeta berkata dalam hatinya, “Setelah aku menjelma kembali, aku akan memilih lahir sebagai seorang wanita dan menjadi CO.”
Denpasar, April 2011.