Teuku Kemal Fasya*
http://www.sinarharapan.co.id/
Putroe Neng seperti hidup kembali. Mitos ini sering tangkup dalam tuturan masyarakat Aceh Utara tentang seorang putri China yang hidup sebelum terbentuknya kerajaan Islam Samudera Pasai.
Ia adalah simbol seks, seumpama Roro Jonggrang atau Ken Dedes dalam Babad Tanah Jawa. Makamnya pun ada di pinggiran Kota Lhokseumawe, berada di sisi jalan trans-Sumatera. Makamnya berpagar tinggi dan menjadi hiasan di depan PT. LNG Arun yang mulai meredup karena kehabisan gas.
Kisah itulah yang diangkat oleh Ayi Jufridar, wartawan sebuah media nasional sekaligus sastrawan Aceh yang memulai bakat kepenulisannya melalui cerpen remaja. Novel ini menjadi genre baru penulisan sastra di Aceh. Ada tiga hal yang membuat novel ini kuat secara narasi dan menyehatkan sebagai karya sastra.
Pertama, novel Putroe Neng menjadi pionir penulisan novel sejarah dengan mitos sebagai aras utama kisah. Kisah dimulai dari seorang raja yang berhasil mengalahkan seorang panglima perang sekaligus ratu Kerajaan Seudu, yang merupakan keturunan China. Masyarakat lokal menyebutnya Putroe Neng.
Kecantikan dan daya pikat seksualnya memabuk-kepayangkan banyak lelaki. Salah seorang raja yang pernah menaklukkan Putroe Neng adalah Meurah Johan dari Kerajaan Darut Donya, yang kemudian mengalahkannya di atas ranjang.
Namun karena percintaan paksa, sang raja pun beku-membiru (hal.10). Kematiannya dicurigai karena menelan ?ranumnya? liang Putroe Neng. Inilah karma yang diterima laki-laki yang terburu-nafsu menggagahi tubuhnya.
Aura seksual telah menumbalkan 99 orang lelaki bertahun-tahun setelah itu. Hanya ada seorang lelaki yang bisa memutus racun dunia yang dimiliki perempuan yang tak kunjung menua itu.
Pertanyaannya bagaimana mungkin seorang perempuan bisa memiliki vagina berbisa dan mematikan semua yang mabuk kepayang padanya. Hal ini kemudian diungkap juga menjelang bab akhir.
Pada masa remaja, Nian No (nama kecil Putroe Neng) telah dipersiapkan menjadi ?ratu mendoza? oleh neneknya, karena ia melihat cucunya ini telah menjadi gadis yang luar biasa cantiknya.
Sang nenek memasukkan pelbagai inti racun yang paling mematikan (kalajengking, ular, dan ubur-ubur) ke dalam ?ceruk sempitnya? dengan ikatan mantra-mantra. Ritual itu digambarkan secara non-realis. Itulah penangkal sekaligus racun yang akan membunuh laki-laki yang menyetubuhinya.
?Bukan dari pedang besi, tapi pedang para lelaki. Dengan pedang itu para lelaki memang tidak bisa membunuhmu. Tapi kamu bisa membuatnya menderita. Kadang itu lebih menyakitkan dari kematian? (hal. 352). Bagaimana dengan nasib suaminya yang keseratus, Syekh Syiah Hudam? Anda sebagai pembaca silakan menemukan sendiri jawabannya.
Novel ini membolak-balik peran fakta dan fiksi. Disebut fakta karena ada makam yang masih dirawat hingga kini, bahkan dibiayai oleh pemerintah daerah. Masyarakat memercayai ada aura magis dari kuburannya.
Jika mengambil gambar tanpa izin maka mendapatkan kesialan. Kalau tidak sakit ya mati (hal. xi). Disebut fiksi karena tidak ada mazhab sejarah kanonik Aceh yang membenarkan keberadaannya, yang disebut telah ada sejak 1024. Novel ini mengajak pembaca meniti buih fiksi di tengah gelombang patriarkisme sejarah dan mitos.
Kedua, Ayi Jufridar, sang penulis mampu mendekatkan fungsi mitos pada gambaran etnografis sebuah masyarakat, sehingga terbentuk postur antropologis yang tidak diparsialisasi nilai-nilai logis modern yang kadang merusak.
Nama-nama seperti Lamuri, kerajaan Darut Donya, Raja Indra Sakti, Indra Jaya, Indra dan Puri menunjukkan pengaruh animis-hinduisme di Aceh sejak awal Masehi. Hal itu tidak serta-merta hilang dengan masuknya Islam.
Politik sejarah Aceh modern cenderung mengecilkan akar-akar etnografis ini dan meradikalisasi teks bahwa sejarah Aceh baru dimulai sejak masuknya Islam.
Ketiga, novel ini telah ditumbuhi teks-teks erotisme yang mempereteli pagar bahasa dalam pakem kesantunan, keaiban, dan estetika borjuis. Peran seks dalam novel ini hampir menggeser fungsi semiotisnya sebagai novel sejarah (mitos).
?Syekh menyentuh bagian belakang telinga, leher, dan bibir Putroe Neng dengan bibirnya… Janggut kasarnya tenggelam di antara dua bukit. Putroe Neng sangat menderita dalam belitan berahinya.? (hal. 367).
Meskipun tidak sama persis, ketika membaca Putroe Neng saya mengembara pada ulasan Roland Barthes tentang Marquis de Sade, seorang penulis Prancis (Sade/Fourier/Loyola [1971]).
Sade dianggap pencetus sekaligus sastra genius bergenre erotis yang mampu memberikan goncangan spirit tekstual bagi generasi penerus. Seks tidak ditutupi dalam wicara, tetapi dirayakan dan diurai dalam detail-detail yang mengaduk-aduk psikologis melalui jejak sastrawi.
Kalaupun ada sedikit kelemahan, disebabkan banyaknya tokoh sehingga sulit bagi pembaca untuk merasakan ketegangan dan hubungan antar-tokoh secara penuh. Namun hal itu tertutup oleh teks-teks jouissance (kelip-kelip gairah) yang memantul-mantulkan imajinasi serba-liar.
*) Peresensi adalah dosen mata kuliah Antropolinguistik di Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe.
Penulis : Ayi Jufridar
Penerbit : Grasindo, Jakarta
Cetakan I : April 2011
Tebal : 384 + xvi hal
http://www.sinarharapan.co.id/content/read/gairah-putri-china-di-aceh/