K e c i n g

Asep Yayat
http://www.suarakarya-online.com/

Ponselku mengalunkan nada panggil. Sebuah nomor asing terpampang di layar ponsel itu.
“Halo …” sapaku.
“Bonel?” suara perempuan langsung menyergah. Nadanya sengak.
“Ya, betul. Maaf, saya bicara dengan siapa?”
“Dengan Monik! Masih ingat?”
“Monik?”
“Ya, Monik. Sudah pikunkah kamu?”
“Monik … Monik teman di SMA?”
“Iya!”
“Benarkah?”

“Sudahlah, Bon! Aku tak mau berpanjang lebar. Aku hanya ingin bilang, kita punya masalah yang harus segera diselesaikan.”
“Masalah? Masalah apa?”
“Masalah anakmu, Endo.”
“Anakku?”
“Iya. Endo! Anakmu, kan?”
“Betul. Dia anakku. Kenapa dia?”

“Endo menghamili gadis bungsuku!” suara Monik makin sengit bercampur sewot. “Kamu harus segera menenteng Endo ke tempatku. Dia harus menikahi anakku sebelum perutnya membuncit.”

Aku termangu. Aku berharap sedang di dunia mimpi.
“Bonel!” Monik menyentakkanku. “Kamu harus janji membawa Endo ke sini. Dia harus mempertanggungjawabkan kehamilan anakku. Sebagai orangtua, kamu harus ikut bertanggung jawab. Kamu jangan menjadi lelaki kecing seperti dulu …”

* * *

Monik. Ah, nama yang hampir sepanjang hidupku tak pernah pupus dari ingatan. Selalu kurindukan. Sosok yang mematrikan setumpuk kenangan manis. Sekarang dia tiba-tiba muncul begitu saja, meski cuma lewat telepon. Ah, dia pasti tahu nomor ponselku dari Neno, teman kami dulu di SMA yang kini menjadi tetangganya.

Hampir tiga puluh tahun aku kehilangan informasi tentang Monik. Baru belakangan aku tahu bahwa dia tetap tinggal di Tasik seperti dulu semasa SMA. Dia beranak tiga. Suaminya meninggal sekitar dua tahun lalu. Semua itu kutahu lewat penuturan Neno dalam beberapa kesempatan chatting di facebook. Ah, ya. Kalau saja pertemanan aku dan Neno tak tersambung kembali lewat perantaraan facebook, boleh jadi sampai sekarang pun aku tetap tak tahu-menahu tentang Monik.

Monik sendiri tidak punya akun di facebook ataupun di jejaring sosial lain. “Dia gagap teknologi. Dia lebih piawai bertindak menjadi juragan tembakau, menggantikan suaminya,” kata Neno memberi penjelasan.

Betapa ingin aku bertandang ke rumah Monik. Atau paling tidak menyapanya melalui telepon. Ya, sekadar untuk menumpahkan rasa kangen yang selama ini terus bergelayut di dada. Tapi keinginan itu kutahan. Aku khawatir Monik tidak suka. Bukankah saat aku titip salam lewat Neno pun dia tak mau membalas? “Aku tak punya urusan sama Bonel,” kata Neno menirukan ucapan Monik.

Neno juga bercerita bahwa Monik memintanya jangan lagi menyinggung-nyinggung tentang aku. “Sori Bon, ya. Dia kelihatannya benci sama kamu,” ujar Neno.
Benci?

Ah, ya, kata itu dulu pernah beberapa kali diucapkan Monik. Pertama, kala Monik sewot karena melihatku datang ke rumahnya dengan membonceng Neno. Saat itu, Monik tak masuk kelas selama dua hari dengan alasan sakit. Maka aku dan Neno menengoknya sepulang sekolah.

“Aku benci kamu! Beraninya kamu membonceng Neno,” kata Monik di belakang Neno.
“Lho, Neno kan teman baik kita. Kenapa sewot?”
“Pokoknya aku tak suka. Aku benci kamu!”
“Itu bukan benci namanya, Neng. Tapi cemburuuuu …” kataku menggoda.
“Benciiii ….!!!”

Kali kedua, kata itu terlontar dari mulut Monik kala aku mendadak menghentikan pergumulan panas dengannya, sehari menjelang keberangkatanku ke Yogya untuk mengawali kuliah sebagai mahasiswa baru.
“Bon! Kamu kok gitu?” suara Monik bernada kesal.
“Sori, sori. Kita nyaris … Tidak! Kita tak boleh melakukan itu,” kataku sambil merapikan pakaian.
“Booon …! Aku sayang kamu ….”
“Ya, ya. Aku juga sayang kamu.”
“Tapi kamu kok begitu? Aku benci, benciiii …!!”
“Sttt …”

* * *

Selepas SMA, aku kuliah di Yogya. Di tahun pertama, komunikasi via surat pos antara aku dan Monik masih lancar. Dari situ kutahu bahwa kuliah Monik di Bandung hanya bertahan tujuh bulan, karena dia memutuskan berhenti dan pulang ke Tasik. Dia beralasan, tidak sreg menjalani kuliah karena bidang studi yang dia pilih ternyata tidak cocok.

Sebuah surat Monik sempat membuat aku termangu karena dia memintaku segera menikahinya. “Aku tak sanggup jauh darimu. Aku ingin selalu di sampingmu,” katanya, mirip sepenggal syair sebuah lagu pop gubahan Obbie Messakh. Tapi aku tegas menolak. Kukatakan bahwa aku tidak siap menikah muda. Aku baru siap memperistrinya kalau kuliahku sudah kelar. Itu pun dengan catatan: aku sudah beroleh pekerjaan tetap.

Dalam surat berikutnya, Monik mengabarkan bahwa orangtuanya didekati juragan tembakau di Tasik. Si juragan, katanya, berharap dia menjadi pendamping hidup anaknya. “Makanya, cepat kamu pulang dulu. Kita menikah sekarang saja,” pintanya.

Aku tak terlalu yakin atas cerita Monik tentang juragan tembakau itu. Pikirku, boleh jadi Monik membual – sekadar untuk menggiringku supaya aku segera menikahinya. Karena itu, suratnya tak kubalas. Aku tak punya jawaban yang layak disodorkan.

Monik berkirim surat lagi. Kali ini dia mengancam: jika aku tak segera menikahinya, dia akan menerima lamaran anak sang juragan tembakau. Namun aku masih saja menganggap itu sekadar akal-akalan Monik untuk mendorongku segera menikahinya. Karena itu, dengan semangat bergurau, aku mengirim surat balasan: “Kalau menurutmu anak juragan tembakau itu lebih baik, coba saja kamu terima lamarannya.”

Eh, balasan Monik lebih cepat dari biasa. Tapi kali ini bukan lagi lewat surat, melainkan telegram. “Kamu kira aku tidak serius?” demikian isi telegram itu. Bulan berikutnya, datang lagi telegram susulan. Isinya: “Aku sudah memutuskan menerima lamaran anak juragam tembakau. Bulan depan aku menikah dengannya. Goodbye.”

Benar saja, tiga bulan kemudian datang kartu undangan. Kartu diselipi secarik kertas bertuliskan coretan tangan Monik: “Jangan tidak datang. Aku akan membencimu seumur hidup jika kamu tak muncul di hari pernikahanku.”

Aku terpukul. Aku sangat mencintai Monik. Aku tidak rela kehilangan gadis itu. Jadi, aku tak bisa terima kenyataan bahwa Monik benar-benar menikah dengan lelaki lain. Karena itu, aku tak sudi datang menghadiri penikahannya. Bahkan sekadar berkirim ucapan selamat lewat surat pun tidak kulakukan.

Sejak saat itu, komunikasiku dengan Monik terputus total. Surat-menyurat terhenti sama sekali. Aku tak tahu bagaimana selanjutnya perjalanan hidup Monik bersama suaminya. Bahkan di mana mereka tinggal pun aku tak tahu. Sampai bertahun-tahun kemudian, ketika pertemananku dengan Neno tersambung kembali melalui facebook, baru aku bisa memiliki kembali gambaran tentang kehidupan Monik. Dari Neno kukorek banyak informasi tentang mantanku itu.

Sejak berpisah hingga hampir tiga puluh tahun kemudian, aku tak pernah tidak merindukan Monik. Hari-hariku terus dihiasi gambaran tentang Monik di kepala. Wanita itu benar-benar menjadi khayalku setiap saat. Di hatiku tak tersisa sedikit pun ruang untuk wanita lain.

Karena itu, hingga kini berumur hampir lima puluh tahun, aku belum juga punya pendamping hidup. Setelah lulus kuliah, aku mengarungi hidup di Jakarta dengan status bujangan – sampai aku menjadi jomblo lapuk sekarang ini.

Namun aku tetap bisa membangun sebuah keluarga. Maksudku, aku bisa menjadi orangtua bagi seorang anak laki-laki. Dia ponakanku yang kuanggap dan kuperlakukan bak anakku sendiri. Dia hidup bersamaku sejak umur 12 tahun. Dan sejak dua tahun lalu, Endo – anak itu – kuliah di Bandung.

* * *

Tak disangka tak dinyana, Endo berpacaran dengan teman sekampusnya, Dora, yanng tidak lain anak Monik. Dan Dora kini berbadan dua. Endo sendiri sudah mengakui bahwa dia adalah ayah bayi dalam kandungan Dora.

Tak bisa tidak, pernikahan pun harus segera dilangsungkan. Mumpung kandungan Dora belum kentara. Itu bukan sekadar untuk menutup aib, melainkan terutama karena bagaimanapun Endo harus bersikap kesatria. Bagiku, Endo tak boleh lari dari tanggung jawab. Siap tidak siap, dia harus menikahi Dora.

Maka, setelah melalui perundingan singkat dengan Monik dalam suasana serba kaku dan kikuk, penikahan Endo-Dora pun dilangsungkan di rumah keluarga pihak perempuan di Tasik. Pernikahan berlangsung sederhana saja. Nyaris tanpa persiapan. Kecuali keluarga masing-masing pengantin dan tetangga dekat Monik, tak ada tamu yang diundang menghadiri pernikahan itu. Bahkan teman-teman kuliah Endo-Dora pun tak dikabari atau apalagi diundang.

Usai ijab kabul, roman muka Monik terlihat lega. Ketegangan sudah luruh. Ketika itulah kusadari bahwa Monik masih menyisakan pesona kewanitaan. Meski raut muka ataupun badannya tak lagi ranum seperti tiga dasawarsa silam, sosok Monik yang kini dalam balutan kebaya masih sedap dipandang. Anggun.

Karena itu, berkali-kali tanpa sadar aku larut mencuri pandang. Rongga dada pun kembali bergetar-getar. Rasa sesal di kalbu, yang selama ini tak kuasa kuhalau, makin menggumpal. Ah, andai saja …

Lamunanku seketika buyar manakala Monik tiba-tiba menyergahku. “Ngapain liat-liatin aku?” ujarnya sengit. Tapi tak urung dia duduk di dekatku.

Aku merasa kikuk. Terlebih di ruang tamu itu kini hanya tinggal aku dan Monik berdua. Pasangan pengantin ada di ruang tengah. Tawa mereka sesekali terdengar berderai. Pasti mereka digoda-goda orang. Entah siapa.

“Kita segera punya cucu,” kataku memecah rasa kikuk.
“Yah, aku lega sekarang,” ujar Monik. Nada suaranya tak lagi sengit. “Aku lega karena cucuku nanti lahir dengan seorang ayah di samping ibunya.”

“Jadi, kamu sempat cemas kalau-kalau cucumu lahir tanpa ayah yang menunggunya?” Monik mengangguk. Lalu menoleh dan menatapku. “Aku salut kepada Endo. Dia benar-benar lelaki. Dia berani melakukan apa pun – termasuk perbuatan terlarang sekalipun – demi cintanya. Dia bukan lelaki kecing seperti kamu!”***

Jakarta, 14 Juni 2011

Catatan:
Kecing (Sunda) = tak bernyali.