Kampus USU Padang Bulan, Sepi Kreatifitas Sastra

Yulhasni
analisadaily.com

Siapa yang tak mengenal Universitas Sumatera Utara (USU) dengan kreatifitas sastranya? Agak terkesan arogan memang, tetapi barangkali pernyataan itu sebagai sebuah keprihatinan yang mendalam atas apa yang sering saya sebut sebagai “kemandekan kreatifitas sastra”.

Saya tidak punya referensi yang akurat soal sejarah perkembangan kreatifitas sastra di USU. Hanya dari beberapa literatur yang sempat saya akses dan bincang-bincang dengan alumni, USU atau dipersempit dengan Fakultas Sastra USU (sekarang Fakultas Ilmu Budaya), USU pernah melahirkan sejumlah penyair, cerpenis, dan esais/kritikus sastra.

Kurun waktu itu kabarnya sempat berhenti di era 90-an. Sejak itu, kreatifitas sastra telah diambil alih anak-anak Unimed, IAIN, UMSU dan UMN. Peta percaturan kreatifitas sastra nyaris tidak menyebut nama USU sama sekali. Tentu saja ini patut menjadi keprihatinan, terutama bagi civitas akademika USU. Bahkan dari berbagai pertemuan sastra yang saya hadiri, kita tidak menemukan lagi hal itu berlangsung secara intensif di Kampus USU Padang Bulan.

Padahal sebelumnya dari kampus ini dikenal sejumlah penulis pada era 70-an sampai 80-an, sebut saja Jaya Arjuna, Idris Pasaribu, Saut Situmorang, R Mulia Nasution, SL Faris, Hidayat Banjar, Harus Al Rasyid, Syaiful Hidayat, Yusrianto Nasution, Panca Wardhana Sebayang, Thompson HS, Maz Mansur dan sebagainya. Di era 90-an juga muncul sejumlah penulis seperti Ibrahim Sembiring, Agus Mulia, Mhd Yasin, Emil W Aulia, Amelia Zuliyanti Siregar, Denny S Batubara, Tikwan Raya Siregar, Ibrahim Sembiring, Mukhlis Win Aryoga dan beberapa diantaranya.

Setelah itu, meski muncul beberapa nama, namun geliatnya tidak seheboh beberapa tahun sebelumnya. Bahkan jika tidak berlebihan, kampus USU yang identik dengan Kampus Padang Bulan, telah mati suri dalam kreatifitas sastra. Kita tidak menemukan lagi penulis sastra yang menghiasi pelbagai surat kabar di daerah ini. Mungkin lebih tepatnya, geliat sastra telah menghilang dari USU. Jika ditelusuri secara sederhana, geliat sastra itu hanya jadi milik beberapa komunitas dan itu pun sifatnya temporal seperti Teater O USU.

Geliat sastra yang dimaknai dalam arti luas misalnya juga bisa dilihat dari usaha penerbitan karya-karya sastra, baik pada tingkat lokal maupun regional. Saya masih mencatat, terakhir sekali penerbitan buku yang lahir dari Fakultas Sastra USU adalah kumpulan puisi tentang tsunami Aceh yang digagas Selwa Kumar dan kawan-kawan. Selepas itu, meski dari kampus lain geliat penerbitan terus berkembang pesat, kampus Padang Bulan adem-adem saja.

Suatu ketika dalam diskusi di Unimed yang diadakan KSI-FPBS Unimed, Saut Situmorang sempat menyentil perubahan nama Fakultas Sastra USU menjadi Fakultas Ilmu Budaya (FIB). Katanya, dengan perubahan itu sama saja menghilangkan tujuan Fakultas Sastra untuk melahirkan para peneliti, apresiator dan penelaah sastra. Pada sisi tertentu pernyataan itu bisa dibenarkan. Akan tetapi saya tidak mengarah kepada perubahan nama saja melainkan jauh dari itu kebijakan kampus untuk mampu memberi ruang yang seluas-luasnya bagi pengembangan kreatifitas sastra. Sebagai catatan, nasib menyedihkan misalnya dialami Teater O USU yang tidak mempunyai anggaran per tahun untuk kegiatan kesenian.

Problem apakah sebenarnya yang terjadi di Kampus Padang Bulan itu, sehingga terjadi kematian yang panjang dalam kreatifitas sastra? Apakah proses kreatif itu memang saatnya dimatikan di kampus negeri ternama ini? Beberapa kalangan sempat beralibi bahwa ruang kreatifitas itu harusnya dilihat ke kampus Fakultas Sastra dan tidak bisa digeneralisasi untuk USU. Pada bagian lain mencari alasan bahwa Fakultas Sastra bukan melahirkan sastrawan tetapi peneliti sastra. Sayangnya memang kedua alibi tersebut hingga sekarang hanya sebuah jawaban dari ketidakmampuan berbagai kalangan di USU untuk mencari jalan keluar bagi pengembangan kreatifitas sastra.

Pada masa-masa dulu kreatifitas memang tidak mengenal latar belakang disiplin. Saya menyebut satu nama misalnya Emil W Aulia. Lelaki yang kerap menulis cerpen dengan nama Malin Murad ini justru kuliah di Fakultas Hukum USU. Emil bahkan telah melahirkan novel berjudul Berjuta-juta Dari Deli yang diterbitkan Gramedia Jakarta.

Jika alasan misalnya Fakultas Sastra USU bukan tempat mencetak sastrawan tetapi melahirkan peneliti sastra, sayang hingga sekarang setelah era Alm Prof Ahmad Samin Siregar, Drs Irwansyah MS dan Prof Dr Ikhwanuddin Nasution, MSi dan Syaiful Hidayat kita tidak menemukan nama lain yang rajin memberi apresiasi atas karya sastra lokal di Sumatera Utara ini. Bahkan pada tingkat mahasiswa sekali pun, saya belum menemukan satu atau dua nama yang bisa disejajarkan misalnya dengan Sakinah Annisa Mariz dan Wahyu Wiji Astuti dari Unimed misalnya.

Melirik dan mengikuti sejumlah komunitas sastra yang lahir di daerah ini, meski dengan cara dan teknik muncul yang beragam, keprihatinan pantas dialamatkan ke Kampus Padang Bulan. Dari sekian komunitas yang lahir, hampir keseluruhan berasal dari kampus non-USU. Dalam perspektif kreatifitas, kita memang tidak bisa kemudian mengatakan bahwa kehilangan nama USU menjadi barometer hilangnya kualitas penciptaan.

Saya tidak hendak membuat dikotomoni soal kualitas penciptaan, akan tetapi terkait dengan kemunculan itu kerinduan terhadap kreatifitas anak-anak USU tentu saja menarik diwacanakan. Kemana kreatifitas sastra yang dulu pernah menghiasi sejumlah media cetak lokal dan nasional itu? Apa yang tengah terjadi di Kampus Padang Bulan, sehingga proses kreatif itu hilang begitu saja?

Problem di kampus lain, saya kira hampir sama, karena proses kreatifitas mahasiswa jarang mendapat apresiasi dari kalangan petinggi kampus. Hal itu tentu saja tidak membiarkan terjadinya “mati suri” kreatif. Ada benang merah yang melatarbelakangi terjadi proses seperti itu. Salah satu ukuran yang bisa dijadikan pemikiran yakni tidak terjadi proses interaksi kreatif antara dosen dan mahasiswa dalam melahirkan karya sastra. Proses interaksi itu misalnya dilihat dari seberapa besar apresiasi dosen terhadap mahasiswa yang berkreatifitas di bidang sastra. Interaksi itu yang saya kira telah hilang di Kampus USU Padang Bulan. Lantas apakah semua orang di USU sana berdiam diri?

Saya omong-omong dengan Idris Pasaribu, walau aluimni Fakultas Hukum USU (1972-1979) dan Jaya Arjuna Fakultas Teknik USU, mereka juga sangat menyayangkan, FIB sekarang tidak bisa berbuat apa-apa untuk kreatifitas sastra di Indoinesia.

Menurut Jaya Arjuna, rekan Idris Pasaribu beberapa kali mengundang anak-anak sastra USU untuk bisa ikut bergabung dengan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) yang dipimpinnya setiap sabtu di bawah Pokok Asam, sayangnya tiodak ada yang berminat. Sastra harus jalan, hingga menurut Jaya Arjuna, Idris harus puas membina anak-anak dari Unimed, UMSU, Darma Agung dan Medan Area dan mereka melahirkan karya-karya yang menyebar di Indonesia.

*) Dosen FKIP UMSU dan Alumnus FS USU Medan /31 Jul 2011

Bahasa ยป