Yuyu AN Krisna *
http://www.sinarharapan.co.id/
MEMBACA Memoar Ventje HN Sumual setebal 706 halaman, kita hanyut dalam gelombang kehidupan seorang laki-laki Minahasa yang begitu peduli akan nasib bangsa ini, bangsa Indonesia. Berbagai gerakan demi kemajuan bangsa ini dilakukan oleh perwira pejuang, politikus, pengusaha, tokoh sosial yang lahir di Remboken, Minahasa, Sulawesi Utara, 11 Juni 1923 ini.
Menurut sejarawan Prof Salim Said, buku ini mengungkapkan begitu banyak fakta dan kata yang selama ini tidak diketahui para sejarawan, apalagi masyarakat umum.
Salah satunya, serangan umum 1 Maret 1949, ternyata adalah gagasan Ventje Sumual. Pada 12 Februari 1948, Soeharto meminta Ventje Sumual menjumpainya di Desa Semaken, Kulon Progo. Ventje diantar oleh utusan Soeharto, Letkol Soedarto. Ternyata rapat rahasia itu hanya mereka bertiga. Hal 89. Tanpa membuang waktu, Soeharto langsung mengajak ke pokok rapat. Strategi ke depan. Sambil mengevaluasi langkah-langkah yang sudah dan sedang dilaksanakan. Ke depan, sesuai strategi umum perang gerilya, tentu saja mengenai serangan umum lagi. Itu memang sudah digariskan. Sudah merupakan teori umum dalam perang gerilya.
Langsung saya ajukan usul, ?Pak Harto, kita kan sudah beberapa kali melakukakan serangan umum, tapi semuanya pada malam hari. Bagaimana kalau kita lakukan pada siang hari, supaya lebih mendapat perhatian luas. Supaya diberitakan koran-koran. Berita-berita dalam koran selama ini hanya menguntungkan Belanda.?
Soehato setuju. ?Itu baik. Serang pada waktu siang,? katanya sambil mengangguk-angguk….
Catatan lain dari buku ini, saat pemimpin belum memikirkan tentang otonomi daerah, Ventje Sumual sudah berapi-api memperjuangkannya secara nyata. Oleh karena itu, terbentuklah Perjuangan Semesta atau PERMESTA 2 Maret 1957 dan Pemerintah Revolusionir Republik Indonesia, PRRI, pada 10 Februari 1958, yang oleh sementara kalangan dinilai sebagai langkah keliru. Namun, waktu telah membuktikan bahwa ?kekeliruan? yang dilakukan Ventje Sumual dan kawan-kawan saat itu adalah tindakan benar.
Ventje Sumual selalu berpikir jauh ke depan. Bukan sekadar berpikir, tetapi merealisasikannya, walaupun dia harus ditangkap dan mendekam dalam bui. Setiap perjuangan pasti ada korban.
Memoar Ventje Sumual ini memberikan penjelasan secara tuntas sekaligus merevisi sejarah Indonesia. Kalau sebelumnya masyarakat hanya mendapat penjelasan apa yang telah terjadi di Indonesia secara tersamar dan ?takut-takut?, buku ini mengungkapkan secara transparan dan terus terang tentang apa yang sebenarnya terjadi pada bangsa ini di masa lalu. Melengkapi dan meluruskan sejarah Indonesia yang bengkok. Menerangi ruang-ruang gelap di panggung sejarah kita. Demikian dikemukakan sejarawan Prof Salim Said dalam acara peluncuran dan bedah buku Memoar Ventje HN Sumual, 13 Juli lalu di auditorium Arsip Nasional Indonesia, Jakarta.
Banyak orang heran saat Permesta diproklamasikan oleh Ventje Sumual dan 50 kawannya pada 2 Maret 1957 di Makassar, karena selama ini Ventje Sumual mempunyai kedekatan dengan Presiden Soekarno. Tetapi, tindakan itu dilakukan karena dia sangat mencintai Bung Karno dan bangsa Indonesia.
Ventje melihat ada suatu proses yang membahayakan sedang terjadi di negara ini. Presiden Sukarno dan pemerintah pusat saat itu hanya sibuk dengan gelora politik dan komunis mulai mendapat angin. Sementara itu, rakyat di daerah ditelantarkan. Permesta maupun PRRI adalah bentuk protes atau peringatan dari seorang anak kepada Bapak yang mulai berjalan ?sempoyongan? keluar prinsip-prinsip demokrasi.
Jauh sebelum Presiden RI saat ini SBY memikirkan demokrasi, Putra Minahasa ini sudah jauh melangkah dalam perbuatan nyata. Situasi Indonesia pada saat itu mengkhawatirkan. Para pemimpin dan penguasa negara ini juga sudah memikirkan dan merencanakan bagaimana mengembalikan Soekarno dan pemerintah pusat yang mulai ?mabuk kekuasaan? kepada tujuan semula Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tercatat ada pertemuan rahasia antara Soeharto-Gatot Subroto-Sumual. Wakil Presiden Moh Hatta pernah mengemukakan hal ini pada Des Alwi. Banyak yang membahas, banyak yang memikirkan. Tetapi, Ventje Sumual berani bertindak mengambil risiko.
Beberapa bulan sesudah Ventje memproklamasikan Permesta dan institusi TT-VII dilikuidasi, Nasution masih menawarkan jabatan di Mabes Angkatan Darat. Tetapi, Ventje tidak menggubrisnya. Ia merasa saat ini sudah berada di garis perjuangan yang benar dan lebih penting daripada urusan jabatan.
Tak lama setelah Permesta, terbentuk Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, sebagai hasil pertemuan dari para perwira dan negarawan di Sungai Dareh. Syafruddin Prawiranegara ditunjuk sebagai Perdana Menteri dan Ventje Sumual sebagi Kepala Staf Angkatan Darat. PRRI mengeluarkan ultimatum Kemerdekaan Negara dan Bangsa untuk seluruh rakyat RI.
Dari bedah buku tersebut sejarawan Prof Herlina Lubis mengemukakan sosok Ventje Sumual paling tidak setuju dengan usulan tokoh PRRI Syafruddin Prawiranegara, bahwa mereka yang membangkang sebaiknya kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. ?Saya tidak pernah turun dari pangkuan Ibu Pertiwi,? kata Ventje.
Keluar dari bui, Ventje pernah ditawari berbagai jabatan penting baik dalam pemerintahan maupun militer, namun dia lebih memilih pengabdian lewat dunia usaha dan sosial kemasyarakatan. ?Saya mau membayar utang saya pada bangsa ini lewat pembangunan,? kata Ventje saat itu pada pemuda Theo Sambuaga, tokoh pemuda dan mantan menteri.
Ventje juga memelopori dan mengembangkan Lembaga Perkreditan Rakyat untuk menanggulangi masalah ketimpangan pembangunan antardaerah. Perhatiannya pada lingkungan begitu besar dengan memprogramkan penanaman pohon seho atau aren di Sulawesi Utara.
Catatan ini hanya sebagian kecil dari begitu banyak karya nyata Ventje HN Sumual semasa hidupnya. Tokoh yang terkenal dengan falsafah ?Baku Beling Pande? ini tutup usia pada 28 Maret 2010 di Jakarta. Memoar ini merupakan hasil kerja keras para editor Eddy AF Lapian, Frieke FH Ruata dan BE Matindas.
*) Peresensi adalah wartawan senior.
Judul Buku: Memoar?Ventje HN Sumual
Penulis: Eddy AF Lapian, Frieke FH Ruata, BE Matindas
Penerbit: Bina Insani, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2011
Tebal: 706 halaman
http://www.sinarharapan.co.id/content/read/memoar-ventje-sumual-merevisi-sejarah-indonesia/