Mozaik Puisi Lebaran

Bandung Mawardi
Lampung Post, 28 Aug 2011

LEBARAN sebagai kisah dan peristiwa menjadi acuan selebrasi imajinasi. Penyair dalam laku kreatif memiliki sekian ekspresi demi mengisahkan Lebaran dengan orientasi religius, filosofis, sosial, atau kultural. Lebaran dalam puisi adalah perayaan mengenang dan membayangkan biografi manusia dari genesis sampai eskatologis. Samadi dalam puisi Berkabung di Hari Raya (1941) mengisahkan duka karena kematian seorang ibu. Suasana kontras terasakan dalam puisi itu dengan imaji-imaji sunyi dan ramai. Kematian ibu itu sunyi di saat Lebaran berarti ramai dengan bunyi beduk, petasan, dan sorak sorai.

Lebaran sebagai puncak kenikmatan dari ritual Ramadan menjelma puncak duka dan akhir sebuah kisah hidup. Kematian ibu menjadi pembalikan situasi karena makna kelahiran kembali tergantikan dengan kembali kepada Tuhan. Lebaran jadi dilema untuk perayaan hidup atau perayaan mati. Penyair menuliskan puncak duka dan luka: Semua makhluk bersuka ria/ Tapi aku akan membarut dada/ Dengan mencucurkan air mata …. Imajinasi Lebaran adalah imajinasi duka: keberterimaan atas takdir Tuhan.

Jejak imajinasi Lebaran juga dituliskan Sitor Situmorang dalam puisi Malam Lebaran (1954). Puisi itu dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern kerap membuat kerepotan dalam interpretasi. Pembaca dan kritikus sastra repot untuk membaca dan menilai puisi Malam Lebaran karena konstruksi teks pendek dan simbolis. Puisi itu hadir dalam sebuah kalimat pendek: Bulan di atas kuburan. Lebaran memberi kesadaran bahwa hidup dan mati manusia memiliki sekian simbol dan interpretasi. Lebaran mungkin menjadi titik penting untuk kembali membaca dan menilai manusia.

Ajip Rosidi pada tahun 1960-an menulis puisi Hari Lebaran dengan pemaknaan religius, tradisi, dan eksistensi. Puisi reflektif itu menjadi momentum untuk mengingat makna hidup, mati, dan waktu. Ajip Rosidi menulis: Hari ini hari hati percaya/ Akan arti hidup dan mati, yang cuma sempat/ Direnungkan setahun sekali. Lebaran dalam puisi itu memiliki puncak pemaknaan eksistensi manusia.

Lebaran adalah titik balik kesadaran manusia sebagai makhluk Tuhan dengan titah dan lakon hidup. Pengalaman merayakan Lebaran melahirkan tobat dan pengakuan atas kenaifan manusia. Ajip Rosidi menulis: Hari ini hari pertama ?kan menjalani/ Hidup antara manusia, sedangkan diriku sendiri/ Makin sepi terasing, lantaran mengerti/ Kelengangan elang di langit tinggi.

Arifin C. Noer (1966) menulis Sajak Lebaran untuk merayakan Lebaran sebagai kisah dan peristiwa religius. Puisi itu menjadi reprentasi perayaan imajinasi untuk mengungkapkan makna-makna religiositas manusia. Pemaknaan mendalam tentang Lebaran terasakan dalam bait awal: Inilah saat pertemuan kita semua/ Kita yang sekarang/ Kita yang dulu kala/ Kita yang akan datang.

Arifin C. Noer dengan kalem menemukan kesadaran religius bahwa Lebaran menjadi titik pertemuan lakon-lakon manusia. Titik pertemuan mencakup fragmen-fragmen biografi manusia dalam waktu. Lebaran sebagai hari kelahiran kembali atau manusia kembali suci menjadi refleksi religius: mengonstruksi eksistensi dan esensi sebagai manusia.

Arifin C. Noer dalam bait terakhir membuat kesadaran religius semakin mengental: Inilah waktu Tuhan mengembalikan ciptaan-Nya/ pada ujud semula yang bernama cinta. Lebaran adalah puncak pertemuan dan manifestasi perayaan cinta manusia pada Tuhan (vertikal) dan manusia dengan manusia lain (horizontal). Religiositas dalam Sajak Lebaran adalah kesadaran hidup dan ibadah cinta untuk menemukan hakikat dan fitrah manusia. Lebaran menjadi perayaan imajinasi transenden dan imanen.

Ahmadun Yosi Herfanda menulis puisi Catatan Idul Fitri (1981) untuk mengungkapkan sisi-sisi liris dalam merealisasikan makna kelahiran kembali manusia. Idulfitri adalah puncak dari perayaan religius dengan suasana nikmat dalam silaturahmi: indah dan intim. Ahmadun Yosi Herfanda mengisahkan Lebaran dalam laku pengakuan salah dan dosa demi peleburan dan penghapusan pada hari suci: tiada kedamaian sedalam pagi ini/ angin berjabat hangat dengan pohonan/ kita pun saling berjabat tangan/ menyatukan getar rindu/ segala alpa runtuh jadi debu. Puisi liris itu menjadi representasi dari tradisi silaturahmi manusia dalam cinta, damai, dan persaudaraan. Lebaran adalah perayaan religiositas dan humanitas.

Sutardi Calzoum Bachri dalam puisi Idul Fitri (1987) pun mengungkapkan jejak-jejak biografis dan kesadaran religiositas. Puisi Idul Fitri merangkum biografi manusia untuk mengenangkan masa lalu sebagai fragmen lalai dan sia-sia. Idulfitri atau Lebaran menjadi momentum untuk pertobatan dan merumuskan kembali biografi dalam doa dan cinta. Sutardji Calzoum Bachri menulis: O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini/ ngebut/ di jalan lurus/ Jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoir/ tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia/ Kau biarkan aku menenggak marak cahaya-Mu/ di ujung usia.

Bait itu mengesankan alur hidup manusia sampai pada kesadaran merumuskan kembali iman dan menentukan jalan menuju Tuhan. Masa lalu dalam lalai dan jalan bengkok adalah kesalahan dan kekalahan. Lebaran memberi pencerahan untuk tobat dan mencari cinta Tuhan. Niat dan laku tobat itu semakin menguat dalam bait akhir: Maka pagi ini/ Kukenakan zirah la ilaha illallah/ aku pakai sepatu siratul mustaqiem/ aku pun lurus menuju lapangan tempat shalat ied/ Aku bawa masjid dalam diriku/ Kuhamparkan di lapangan/ Kutegakkan shalat/ dan kurayakan kelahiran kembali/ di sana. Sutardji Calzoum Bachri dengan puisi merayakan Lebaran sebagai kelahiran kembali manusia untuk sampai kepada Tuhan.

Lebaran menjadi perayaan estetika dengan muatan-muatan kompleks untuk mengungkapkan religiositas sampai pada fenomena kultural. Puisi-puisi Lebaran adalah teks inklusif untuk membaca dan menilai lakon-lakon manusia. Lebaran dan puisi adalah perayaan interpretasi tak usai. Begitu.

Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo dan Penulis Buku Macaisme.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/08/mozaik-puisi-lebaran.html