Suara Pembaharuan 7 Agustus 2011
Narasi-Narasi Kesepian
I
aku pacu kuda putih menyambut bulan yang hendak mengakhiri diri. ketika angka pada ekornya berubah wujudnya. di mana perawan aku kenang. dalam malam memampah waktu. siluet harum kenanga menyapa, memetiknya. menyelipkan di sela telinga. wajahmu masih wangi terasa bersetubuh dalam sembayangku yang sunyi.
II
satu persatu pergi. aku sendiri. tapi ini tak aku ingin. sebab kesepian bagiku mengerikan. di mana tuhan? dalam diriku pun tak ada: ada dalam tubuh perawan.
III
aku pernah membuat rumah dalam kepalamu. tetapi kerapuhan mengunjungi hingga roboh berkali-kali. aku pergi melambaikan senyum perpisahan–jarak fikir antara kita begitu absurd– aku tak menyesali: kepergian.
IV
satu persatu mereka pergi membawa mimpi dari hari yang dilewatinya. sedang aku masih di sini, sendiri. ah, tap apa. bukannya kesendirian juga punya ruang resonansi menembus langit. tetapi kadang juga mereka memaksaku berkemas menemui keramian yang tak kumaui. tidak, aku masih ingin sepi berkasih dengan Tuhan Yang Maha Suci.
V
jikalau langit sudah kau rebahi. bercintalah dengan perawan surga. segera kembali pada tanah yang kau pijaki. gembalakan anak-anak menuju rumahNya. aku masih menyaksikan tangis luka atas kemlaratan yang dihimpun dari kekuasaan tiran.
Malang, 2010
Ritus Kerinduan
I
sesayap matamu terbang pada keheningan malam
mengabarkan kerinduan pada sukmaku yang parau
dihimpit pertanyaan akan purnama sang perawan
memadu kasih dengan kesyaduhan suci
aku menelanjangi tubuhku, membelahnya hingga mata batinku
mengurai dosa-dosa adam dan hawa atas keterjatuhannya di bumi fana
memanggil Yusuf, belajar darinya arti kesetiaan atas godaan
berkeluh kesah pada Nuh, menumpakkan kerinduan yang membadai
persiapkan kapal guna arungi gelisah
adakah yang perawan selain Maryam
padanya aku mengaduh tentang persetubuhan
II
Tuhan, dalam diriku ada catatan dusta
hingga kerinduan tak dapat aku eja sempurna
ritus-ritus aku lafadzkan
bebunga mawar dan melati aku rangkai
merajut sepi menjadi mantra pemuja-Mu
kemana Halaj, Rumi, Rabi’ah?
aku ingin mabuk dengan mereka
aku siapkan anggur yang kucampur
dengan darahku
hingga hatiku bercinta dengan-Nya
Malang, 2011
Narasi-Narasi Hujan
I
pada pintu kesadaran
hujan rintik membimbingku
basah aku menuju pintu waktu
II
rerintiknya,
aku berteduh bersamamu
pada kepulangan ketika senja
menyapa dengan gelisah
III
aku basah, kau basah, kita sama-sama basah
dengan kebasahan aku mengecup bibirmu
ada sajak jelita di matamu
IV
pada sebuah warung saat hujan menderas
air matamu jatuh di cangkir kopiku
kuteguk berlahan dengan kisah lukamu
V
hujan, aku dan kamu
menjadi satu dengan sisa tanya
yang berkejaran dalam ruang sepiku
Malang, 2011