Renungan Malam Lebaran

Denny Mizhar *

Malam tadi semua orang menanti keputusan penetapan 1 Syawal 1432 H untuk peringatan hari raya Idhul Fitri. Adapun dengan hasil penetapan pemerintah bahwa 1 Syawal 1432 H pada tanggal 31 Agustus 2011 juga Organisasi keagamaan Nahdatul Ulama sama dengan pemerintah. Meskipun sudah ditetapkan masih ada penetapan lain akan jatuhnya 1 Syawal 1432 H yakni tanggal 30 Agustus 2011 hal itu dilakukan oleh Organisasi Keagamaan dan Kemasyarakatan Muhammadiyah yang jauh hari sudah memutuskannya. Saya tak hendak mempertentangkan perbedaan keputusan tersebut, bagi saya setiap keputusan punya rujukan dan dalil-dalil yang diyakini kebenarannya masing-masing, terpenting adalah bagaimana menyikapi perbedaan dengan dewasa. Meskipun saya melaksanakan hari raya tanggal 30 Agustus 2011.

Maka dengan begitu, bagi saya puasa Ramadhan telah usai. Kumandang takbir di masjid-masjid, di suarau-suarau menggema. Saling kirim pesan pendek ucapan selamat lebaran dan permohonan ma’af mengalir bagai air terjun yang menderas sampai ke bawah. Jalanan pun ramai orang-orang berarak-arakan sambil mengumandangkan gema takbir menyebut besaran Allah SWT.

Lebaran, mengingatkanku pada sebuah sajak yang ditulis oleh Sitor Sitomorang yang berjudul “Malam Lebaran”. Sajak pendek yang terinspirasi ketika Sitor Sitomorang pergi ke rumah satrawan Pramoedya Ananta Toer. Bunyi sajaknya: Bulan Di Atas Kuburan. Meskipun pendek, sajak tersebut bagi saya memiliki makna yang dalam. Kalau dilihat kesatuan sajaknya, jika malam lebaran tentu bulan masih belum terlihat. Bagaimana bisa ada bulan di atas kuburan. Dua kata yang paradoksal bulan yang menggambarkan kecantikan dan seringkali diidiomkan dengan perempuan bersanding kuburan yang memiliki makna suram, kematian. Kalau digabungkan maka kecantikan yang suram. Ada binerasi yang mencipta makna diantaranya. Atau mungkin saja ada perempuan hamil sedang berada di kuburan waktu malam lebaran, tapi entalah. Sebab saya tak hendak membahas perempuan hamil tetapi membahas judul dan isi secara teks dan menafsirnya berkaitan dengan lebaran.

Lebaran yang sejatinya adalah ritual keagamaan dalam rangka perayaan hari besar yang bernama Idhul Fitri. Tetapi pada kenyataanya di Indonesia perayaan tersebut telah berbaur dengan kebudayaan masyarakat Indonesia yakni mudik lebaran. Mudik adalah kebiasaan masyarakat untuk pulang kampung dan bertemu dengan keluarga atau kerabat dekat untuk bersilaturrahmi dan saling berma’af-ma’afan. Selain itu pesta-pesta kecil ataupun besar dipersiapkan dengan membeli baju baru, memasak makanan yang akan dimakan bersama-sama keluarga. Kesemua itu tentunya membutuhkan tidak sedikit biaya yang keluar. Inilah yang saya namakan bulan yakni kecantikan, keindahan dan kemeriahan lebaran.

Di samping kemeriahan lebaran tentu masih menyisakan beberapa probelm lebaran. Misalnya saja beberapa kawan saya sedang bekerja di luar pulau jawa, di Ibu Kota dan di beberapa daerah lainnya tidak dapat pulang. Persoalan beberapa kawan saya tidak dapat mudik dikarenakan mereka tidak punya biaya untuk pulang lebaran meskipun ada beberapa di antaranya dengan lebaran dapat meraup rezeki yang lebih banyak. Keresahan-keresahan kawan saya menarik pertanyaan akan lebaran yang banyak dinikmati dengan kemeriahan dengan berlebihan dan tidak jarang sifat konsumtifnya lebih banyak dari pada memaknai hakekat makna lebaran Idhul Fitri itu sendiri.

Saya juga berfikir tak hanya kawan saya yang tidak bisa pulang, orang-orang yang miskin tentunya tak dapat menikmati lebaran dengan meriah bahkan mungkin ada yang tidak dapat membeli baju baru atau menyediakan makanan untuk tamunya di rumahnya. Persoalan kemiskinan bangsa ini masih belum benar terselesaikan. Hal ini membuat keyakinan saya, bahwa di sebagian lain orang-orang merayakan lebaran dengan meriah dan glamor di bagian lain orang-orang merayakan lebaran dengan menahan perut lapar, memikirkan uang sekolah yang semakin mahal dan bahan pokok yang tiba-tiba mahal ketika lebaran tiba.

Jadi teks sajak Sitor mewakili gambaran yang terjadi di Malam Lebaran. Bulan di Atas Kuburan. Kemeriahan pesta lebaran dan kondisi kemiskinan yang terjadi. Maka dalam agama Islam di anjurkan untuk berzakat dan bersodaqoh. Hal tersebut upaya menjembatani pengentasan kemiskinan walaupun berulang kali lebaran, berulang kali zakat dibagikan orang miskin masih berceceran. Bisa jadi pengelolaan zakat dan sodaqoh yang kurang maksimal.

Lebaran Idhul Fitri sendiri memiliki makna penyucian diri atau kembalinya diri menjadi suci seperti kertas putih. Ramahdan adalah perjalanan spiritual yang mengandung nilai sosial dan puncak keyaninan bagi umat Islam. Harusnya di maknai dengan seksama agar tidak hanya ritual dan penjalanan budaya semata. Nilai-nilai yang memiliki demensi kesolehan individual dan makna kesolehan sosial dapat terejahwantahkan dengan baik.

Dengan begitu harusya, jika menelisik dalam makna yang ada pada Idul Fitri maka sehabisnya tak ada lagi dosa, mulai dari dosa individu ataupun dosa sosial yang mengikis nilai kemanusiaan. Sehingga kemanusiaan tetap terjaga dengan baik yang berdasar nilai ketuhanan. Tetapi nyatanya, sehabis lebaran tahun-tahun lalu masih saja kita jumpai dosa-dosa yang berhamburan di mana-mana. Aku mengaris bawai dosa sosial, sebab dosa sosial urasannya bukan hanya dengan Allah SWT saja tetapi bersingungngan dengan manusia lainnya.

Lalu kembali aku menelisik surat Al-Maun, barang siapa yang menghadik orang miskin dan anak yatim maka dia lalai dalam sholatnya. Kira-kira itu terjemahan bebas saya dari surat tersebut. Maka, jika melihat kemiskinan yang masih melanda bangsa ini saya mengambil kesimpulan: kebanyakan dari kita lalai dalam sholat. Sholat saya memberi arti adalah ritual keagamaan, bisa jadi sholat lima waktu, puasa, ataupun ibadah-ibadah yang lainnya.

Malam ini saya yang hanya bisa merenung sebab saya juga mungkin termasuk orang yang lalai dalam sholat. Tak bisa berbuat banyak pada kemiskinan yang melanda bangsa. Lalu, harus berbuat apakah di lebaran kali ini? mari merenung dan berbuat sesuatu paling tidak semisal berbuat tidak berlebihan dalam perayaan, menghindari sikak hedonistik (kesenangan sesaat), dan memberi zakat atau sodaqoh yang membuat orang tak mampu berusaha lagi dengan modal zakat/sodaqoh (menafsir ulang bentuk pemberian) yang kita berikan pada orang-orang yang lemah.

Begitulah renungan saya pada malam lebaran kali ini. Saya hanya coba memberi pemaknaan sendiri atas puisi Sitor Sitomorang tersebut dengan konteks kondisi yang aku pandang di realitas masyarakat saat ini.

Malam Lebaran, Lamongan, 1 Syawal 1432 H

Beberapa Puisi Lama, saya post ulang mengakhiri catatan renungan kali ini:

Idul Fitri

hilal memerah aku terpanah
tepat di dinding hati
lama menjelma quldi

hancurku kembali
mengeja hari lebih sunyi
pada idul fitri

menempah hati
merdeka diri

sebulan adalah perjalanan
menetapkan puisi pada bilik diri

Malang, 3 Syawal 1429 H

Prosesi Suci

Sebulan penuh menuntun hati
Mengayun diri pada pintu suci
Berhuyun-duyun berserah diri

Membaca isyarat Illahi
Selagi hari fitri menghampiri
Lantunkan do’a saling menyalami

Hilanglah dosa
pada jiwa-jiwa yang mencari
Bebaskan hitam hati
capai kemanusiaan sejati

Mengelupaslah dosa insani
Tak ada noda lagi
takdir surgawi menghampiri

Malang, Ramadhan 1430 H

Perjalanan Suci

Pada bejanah berupah cinta
hati melangkah
setapak dosa melebur
mengurai hakekat diri

Lembaran waktu
mengantar pada jantung muasal
jadilah kertas putih kembali
terhapus sudah dosa diri

Laa ilaaha ha illa Anta
Melantun dengan cinta
kembali pada-Nya
sebab hari fitri kini tiba

Malang, Ramadhan 1430 H

MALAM TAKBIRAN

1
Allahu Akbar
Allahu Akbar
Allahu Akbar
Walillahilham

Berkumandang lantunan kebesaran-Mu ya Ilahi
Aku berdo’a untuk negeri ini
Berkali-kali Kau uji tak juga jerah mengakhiri

Pada malam takbir suci
Nama-Mu mengalun di seluruh pelosok negeri
Mengobati miskin hati

Ya Rabbi, pemilik semesta ini
Tunduk aku merunduk
Memohon ampunan untuk negeri

Untuk pemimpin-pemimpin yang engkau sayangi
Tunjukkan bagaimana mengatur negeri
Biar miskin enyah dari sini

2
Allahu Akbar
Allahu Akbar
Allahu Akbar
Walillahilham

Sejagat ilmu-Mu tak habis untuk digali
Ilhamkanlah pada negeri yang aku cintai
Menumbangkan gelapnya akal budi
Agar negeri ini tak selalu dibodohi

(Bukankah ini hari fitri waktu
untuk merenungi nasib negeri
membebaskan nafsu rakus pada diri
agar kemerdekaan sejati dapat teraih)

Lamongan, 1 Syawal 1429 H

*) Pengajar di SMK MUDA (Muhammadiyah Dua) Kota Malang, Pegiat Pelangi Sastra Malang dan Anggota Teater Sampar-Indonesia Malang yang sedang Mudik ke Kampung Halaman.