Sosiologis Sastrawan terhadap Karya Sastra

Ria Ristiana Dewi
http://www.analisadaily.com/

Buah yang jatuh memang tak jauh dari pohonnya. Ungkapan ini pas, bila melihat maraknya karya sastra di kota Medan dan memang tak jauh dari pribadi sastrawan itu sendiri. Bila ingin mengenal sastra, terlebih dahulu kita mengenal sastrawan yang merupakan sosok di balik terciptanya karya sastra. Di balik hubungan erat antara sastrawan dengan karya sastra, ada yang berbanding lurus pula berbanding terbalik.

Karya sastra yang berbanding lurus adalah karya sastra yang karakteristiknya merupakan cerminan pribadi kehidupan si pengarang. Berbanding terbalik, karya sastra yang karakteristiknya bertolak belakang dengan pengarang atau sastrawan. Dalam teori sastra, terdapat enam faktor yang melatarbelakangi sosiologis sastrawan: asal sosial, kelas sosial, jenis kelamin, umur, pendidikan dan pekerjaan (Siswanto, 2008: 3).

Penulis ambil satu contoh sastrawan yang telah menasional terlebih dahulu, Budi Darma. Budi Darma lahir di Rembang, Jawa Tengah, 25 April 1937. Dia sudah sering berkeliling ke kota-kota di Indonesia dan mancanegara. Berangkat dari kegemarannya berkeliling itulah dia membuat cerpen berjudul “Gauhati” yang ditulis saat dia berada di Gauhati, India. Selain itu saat menempuh S-2 dan S-3 di Bloomington, Budi Darma melahirkan kumpulan cerpen Orang-Orang Bloomington. Dalam cerpen “Keluarga M”, diungkapkan tempat tinggal tokoh yang merupakan manipulasi dari tempat tinggal Budi Darma di apartemen seperti kutipan berikut:

Sudah lama saya tinggal di gedung raksasa yang memuat dua ratus apartemen ini dan mungkin sayalah satu-satunya yang hidup sendirian tanpa anak dan istri. Selama ini saya tidak pernah terganggu. Meskipun saya tidak pernah mempunyai cita-cita untuk mempunyai anak, saya tidak keberatan melihat anak-anak menghabiskan waktunya di lapangan bermain di sebelah utara gedung. Lapangan ini dapat saya lihat dari jendela apartemen saya di tingkat delapan. Banyak benar jumlah mereka. Karena banyak orang tua yang hanya tinggal beberapa bulan saja, anak-anak di gedung ini pun banyak yang datang dan pergi (Darma, 1940 : 41 dalam Siswanto, 2008: 4).

Budi Darma sebagai sastrawan yang sudah cukup lama, sudah sering kita dengar. Bagaimana pula sekarang? Di kota Medan khususnya, masih hangat dibenak kita bagaimana Hasan Al Banna meluncurkan buku antologi cerpen yang isinya berciri khas Batak. Hal ini tentu saja sejalan dengan identitasnya yang tinggal di Medan dan mengerti bahasa Batak. Hubungan ini merupakan salah satu contoh keberatan sastrawan dengan karyanya yang berbanding lurus.

Contohnya saja, judul-judul tertuang dalam buku Hasan Al Banna seperti: Rumah Amangboru, Gokma, Parompa Sadum Kiriman Ibu, Pasar Jongjong, Tiurmaida, Horja dan masih banyak lagi. Ini merupakan pembuktian. Asal sosial sastrawan turut mempengaruhi karyanya. Asal sosial sebagai salah satu faktor latar belakang sosiologis sastrawan ini menjadi bagian yang tak terlepaskan memunculkan ide-ide jitu memperkenalkan wilayah sastrawan, tentu tidak disia-siakan begitu saja.

Selain pada cerpen Hasan Al banna, Intan HS merupakan penulis sekaligus seorang guru di kota Medan juga sedikit banyaknya sering menulis ciri khas Batak dalam cerpen-cerpennya. Contoh cerpen Intan HS sering kita baca di koran Medan Bisnis (Minggu, 9 Mei 2010) berjudul Marlojong yang begitu kental dengan lokalitasnya. Selain pada judulnya Marlojong yang berarti kawin lari pada masyarakat Batak Angkola, isinya memakai sebutan Batak seperti Mak Tua dan Umak membuat pembaca begitu yakin pribadi si pengarang. Cerpen lainnya karya Intan HS Tumbaga Holing juga berparas lokalitas Batak (Medan Bisnis, 20 Juni 2010) dan Senja di Tanjung Pura (Analisa, 30 Juni 2010). Hal serupa juga terdapat pada cerpen Zuliana Ibrahim, seorang penulis pemula dan masih berstatus mahasiswa ini, pernah menciptakan cerpen berjudul “Sekantong Rindu dari Datu Beru”. Cerpen ini mengambil latar di dataran tinggi Gayo. Berikut kutipannya:

Malam semakin larut. Usai bersujud, melabuhkan rasa pilu di hadapan-Nya. Kembali kuusap hawa sejuk dari dataran tinggi Gayo. Aku bukan hanya ingin membangun imajinasi, semoga saja malam ini ada keajaiban, tiba-tiba Tuhan menurunkan pangeran untukku, dipertemukan di antara sesayup suara gemuruhnya ombak atau perkasanya hembusan angin yang menerjang.

Memang, penggambaran latar beberapa contoh di atas begitu erat kaitannya dengan sastrawan. Bagaimana bila hubungan antara sastrawan dengan karya sastranya justru berbanding terbalik. Hal ini tampak pada karya Umar Kayam. Saat dia berada pada situasi yang mapan, justru dia bercerita tentang masyarakat kelas bawah. Begitu pula akhir-akhir ini kita mengenal Andrea Hirata, sang penulis buku fenomenal yang telah merajai nusantara justru menceritakan pengalaman hidupnya yang begitu sulit di masa lalu saat ia telah sukses.

Jenis Kelamin dan Pendidikan Sastrawan dengan Karyanya

Jenis kelamin sastrawan, pria dan wanita, ada hubungannya dengan kesastrawanannya. Nh. Dini dalam novel-novelnya banyak bercerita dan menyuarakan wanita, seperti suara wanita Indonesia (Pada Sebuah Kapal, Hati yang damai, La Barka), Wanita Belanda (Keberangkatan) atau wanita Jepang (Namaku Hiroko). Demikian juga dengan novelis wanita lainnya, seperti Djenar Maesa ayu, Th. Sri Rahayu Prihatmi, Titis Basino, Ayu Utami dan Dewi Lestari.

Bagaimana yang berbanding terbalik? Ternyata sastrawan laki-laki seperti Umar Kayam dan Linus Suryadi justru membuat karyanya tentang perempuan. Umar Kayam membuat cerita berjudul “Sri Sumarah dan Bawuk”, sedangkan Linus Suryadi bercerita dalam “Pengakuan Pariyem”.

Sekarang ini, tahun-tahun setelah sastrawan di atas, kita mengenal pula beberapa penulis Medan, membuat cerita yang bisa jadi berbanding lurus dengan jenis kelaminnya atau sebaliknya. Seperti yang dibuat oleh Ester P (Penulis kelahiran 1986) ini pernah membuat cerpen berjudul “Azizah dan Pria Bertahi Lalat itu” (Medan Bisnis, 28 Maret 2010) yang mana mengisahkan perjalanan Azizah. Juga Rina Mahfuzah Nasution menceritakan kisah wanita seperti pada Cerpen “Zahra” (Republika, 28 Februari 2010) dan Di Balik Awan (Analisa, 12 Juni 2011). Sedikit kutipan cerpen Di Balik Awan berikut ini: Perempuan itu sering bercerita, betapa bahagianya dia hidup bersama suaminya. Sejak mereka mengikrarkan diri untuk saling memahami dan mencintai di sebuah taman kota 16 tahun lalu sampai sekarang, cintanya masih tetap sama.

Sama halnya dengan pendidikan, juga mampu mempengaruhi isi pikiran sastrawan dalam membuahkan ide-ide dalam karyanya. Seperti Chairil Anwar, A. A. Navis, Wildan Yatim, Ajip Rosidi, dan Trisnoyuwono ternyata banyak membaca buku karya sastra yang juga turut mempengaruhi kualitas karyanya.

Selain itu, ternyata pendidikan atau tempat bekerja sastrawan juga mempengaruhi isi cerita si pengarang atau sastrawan. Seperti yang kita ketahui di Medan, penulis sekaligus dosen muda, Win R. G. Juga pernah membuat cerpen berjudul “Zea Mays” (Medan Bisnis, 26 September 2010). Dapat dikutip: Seorang dosen muda berhenti di panggilan nama terakhir pada daftar hadir. Tampaknya dia heran akan sebuah nama itu. Beberapa detik kemudian, dia pun memanggil nama tersebut “Zea Mays”.

Berdasarkan contoh di atas, penulis ingin memberi gambaran bahwasannya karya sastra itu juga merupakan dokumen sosial. Bisa jadi dengan karya-karya itulah akan membawa cerminan masyarakat dengan berbagai cara. Bila kita ingin mengambil sisi positif dari karya-karya yang muncul dari latar belakang sosial sastrawan, tentu tidak akan pernah habis menjadi perbincangan. Di Medan juga telah banyak beredar buku-buku mengangkat unsur lokalitas dan digawangi oleh sastrawan-sastrawan senior di Taman Budaya Sumatera Utara.

Semoga saja perkembangan Medan dan sekitarnya juga takkan luput dari cengkraman pena sastrawan Medan baik itu dulu, sekarang, maupun di masa yang akan datang. Perharap penulis-penulis muda juga mampu terdongkrak ke permukaan persaingan sastra baik lokal maupun nasional demi menunjukkan kekayaan lokalitasnya.

Serambi KOMPAK, 19 Juli 2011.
07 Agt 2011: http://www.analisadaily.com/