Sosok Parakitri T. Simbolon


penerbitkpg.com

Parakitri Tahi Simbolon lahir di tepi Danau Toba, 28 Desember 1947. Tempat kelahirannya di Pulau Samosir itu bernama Rianiate-berarti ‘hati yang riang’- yang merupakan salah satu desa pertahanan terakhir Parhudamdam, gerakan perlawanan rakyat terhadap penjajah Belanda sampai tahun 1916. Lulus SMP Katholik Budi Mulia Pangururan dan SMA Katholik Budi Mulia Pematangsiantar, dia sempat setahun penuh belajar di Seminari Menengah Pematangsiantar untuk memenuhi minatnya menjadi pastor. Namun kemudian dia melanjutkan studi di Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta dari 1967 sampai 1972. Karena situasi politik saat itu, dia mengurungkan niat menjadi dosen di sana.

Di luar rencana, dia mencoba melamar kerja di Departemen Luar Negeri di Jakarta dan dinyatakan lulus. Beberapa waktu kemudian dia mendapat bea siswa kerja sama Indonesia-Prancis untuk belajar di Institut International d’Administration Publique (IIAP), Paris (1974-1975). Laporan penelitiannya, Les Aides de Developpement et La Haute Volta, penelitian lapangan mengenai bantuan luar negeri untuk pembangunan ekonomi di Burkina Faso, ketika itu bernama Volta Hulu (La Haute-Volta), sekarang Burkina Faso, Afrika Barat, mengakhiri studinya di IIAP.

Sepulang dari Prancis, sejak Februari 1976, dia bergabung dengan harian Kompas. Di sinilah dia menulis kolom-kolomnya yang dikenal sebagai Cucu Wisnusarman, yang telah dibukukan dan diterbitkan oleh PT. Grafindo Mukti (1993) dan penerbit Nalar (2005). Tahun 1986-1990, dia dibiayai oleh harian Kompas untuk studi di Vrije Universiteit te Amsterdam dan pada 5 Februari 1991, dia mempertahankan disertasinya mengenai etnisitas dan perdagangan besar di kota metropolitan Jakarta. Karena etnisitas adalah produk sejarah, maka dia harus meruntut gejala itu dari tahun 1619, sejak Jakarta bernama Batavia. Kegemarannya akan sejarahlah yang mendorongnya melahirkan buku Menjadi Indonesia pada tahun 1995, buku pertama dari tiga buku yang direncanakan Kompas mengenai proses kebangsaan Indonesia.

Hobi menulisnya telah menghasilkan banyak karya, tak hanya berupa artikel maupun buku, dia juga pernah menulis skenario film. Salah satu skenario filmnya, yaitu Gadis Penakluk berhasil memenangkan Piala Citra dalam Festival Film Indonesia (FFI) pada tahun 1981. Di tahun 1982, skenario filmnya, Topaz Sang Guru yang disadur dari naskah drama Marcel Pagnol, Topaze, mendapat nominasi untuk aktor terbaik Piala Citra FFI. Dia pun melakukan beberapa penelitian pendahuluan, antara lain mengenai proses awal “Orde Baru”. Sebagian hasil penelitian tersebut diterbitkan sebagai artikel dalam Prisma, Desember 1977. Artikel tersebut Di Balik Mitos Angkatan ‘66, kemudian dimuat dalam buku kumpulan artikel pilihan Prisma, yaitu Analisa Kekuatan Politik di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 149-163.

Karya-karyanya yang memenangi sejumlah sayembara antara lain adalah novel Ibu (1969), pemenang sayembara mengarang cerita anak-anak muda UNESCO dan Ikapi, juara dua sayembara majalah Sastra (1969) lewat cerpen Seekor Ikan Gabus, dan novel Si Bongkok (1981) meraih hadiah kedua dalam sayembara mengarang novel Gramedia Kompas. Selain itu buku-bukunya yang lain adalah Kusni Kasdut (Gramedia, 1981), buku pegangan wartawan Vademakum Wartawan (KPG, 1997), Pesona Bahasa Nusantara Menjelang Abad ke-21 (KPG, 1999), kumpulan cerpen Tawanan (PBK, 2003), terjemahan Batas Nalar: Rasionalitas dan Perilaku Manusia (KPG, 2004).

Saat ini dia tengah menyelesaikan buku The Power of Prophecy Prince Dipanagara and The End of An Old Older in Java 1785-1855 karya Peter Carey. Sebuah buku tentang sejarah perjalanan kepahlawanan Pangeran Diponegoro.

Parakitri T. Simbolon adalah pendiri Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Sebenarnya ada seorang cendekiawan Batak Toba yg cukup bagus menguasai sejarah, filosofi, dan faktor-faktor yg mempengaruhi perubahan sosial dan pergeseran nilai-nilai anutan masyarakat Batak. Namanya Parakitri T Simbolon, seorang esais, cerpenis, novelis, wartawan/eks redaktur senior Kompas, ahli filsafat dan ilmu-ilmu sosial, yg sekarang memimpin kelompok penerbitan Kompas Gramedia (KPG). Untuk keperluan studi doktoralnya di Belanda, ia bertahun-tahun melakukan riset dan penelusuran tulisan-tulisan lak-lak dan pendapat para penulis asing, misionaris, pejabat pemerintah Hindia Belanda, dll, menyangkut alam dan manusia Batak, yg dituangkan dlm buku maupun kertas kerja (report, makalah, dll). Ia menguasai aksara dan bahasa Batak dng sempurna–membuat saya malu, yg terlanjur dicap paham budaya Batak hanya lewat sebuah novel sederhana berjudul SORDAM, yg kebetulan ber-setting alam dan bertokoh manusia Batak Toba.

***