Tan Malaka dan Tiga Pamflet Revolusioner

Bastian Gaguk

“Revolusi adalah mencipta”
–Tan Malaka, Aksi Massa (1926)

A. Biografi Tan

Tan Malaka, lengkapnya Ibrahim Datuk Tan Malaka, termasuk salah seorang tokoh bangsa Indonesia yang memiliki kisah dan semangat nasionalis yang luar biasa, tetapi juga kontroversial. Bukan itu saja, bagi banyak orang, apalagi mereka yang hanya pernah mendengar nama dan sepak terjang perjuangan politiknya dari mulut ke mulut, tokoh ini mengandung berbagai misteri sehingga menjadikannya legendaris.

Tan dilahirkan di Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, pada 2 Juni 1897. Seperti kebanyakan anak laki-laki Minang pada saat itu, Ibrahim menghabiskan masa kecilnya dengan mengaji di surau, bermain bola, berenang di sungai dan belajar silat. Meski berbadan kecil namun Ibrahim terkenal pemberani dan sering berkelahi[1].

Pada usia yang relatif muda Ibrahim sudah melakukan perantauan. Perantauan pertama yang dilakukannya adalah keluar dari nagari Pandan Gadang menuntut ilmu menuju Bukittinggi. Inilah pertamakalinya pembentukan alam pikiran Ibrahim berkembang dari sekadar alam pikiran seorang pemuda Minangkabau[2].

Di Kweekschool Bukittinggi, Tan Malaka mempesona seorang guru bernama Mr. Horensma. Ketertarikan Mr. Horensma terhadap kecerdasan Tan Malaka memotivasi guru Belanda tersebut untuk mengirimnya belajar ke sekolah guru di Belanda. Dalam umur yang masih sangat muda yaitu sekitar delapan belas tahun, Tan Malaka keluar dari kampung halamannya untuk merantau. Perantauannya tidak hanya meninggalkan nagari Pandan Gadang, tapi juga meninggalkan Minangkabau bahkan meninggalkan Indonesia menuju negeri Belanda. Saat ini pula perantauan kedua dimulai dalam siklus hidup Tan Malaka yang memperluas alam pikirannya menjadi alam pikiran seorang anak Hindia Belanda yang sedang belajar di negeri penjajah bangsanya. Cara pandangnya berangsur-angsur terbentuk menjadi cara pandang seorang anak negeri terjajah yang menginginkan kemerdekaan bagi bangsanya[3].

Di kota Harleem tempat ia menjadi murid sekolah guru, Tan Malaka sebenarnya sudah menunjukkan kemampuan berpikirnya yang khas, di mana di kemudian hari ketika dipoles dengan begitu banyak pengetahuan, logika serta dialektika membuatnya memiliki pemikiran yang brilian, dan penuh perhitungan. Di Belanda pula Tan Malaka mulai akrab dengan karya banyak pemikir seperti Nietzsche, Marx, Engels, Hegel, serta buku-buku Revolusi Perancis dan Revolusi Amerika yang di kemudian hari sangat berpengaruh terhadap pikiran Tan Malaka. Ia sangat suka sekali berada di toko buku di sudut Jakobijnesstraat (Jalan Jacobijn) untuk membeli buku atau sekadar melihat-lihat saja. Minat membacanya sangat besar sehingga ia seringkali harus menghemat biaya makan untuk membeli buku.[4]

Simpatinya terhadap kaum buruh yang ditindas oleh kaum kapitalis juga mulai tumbuh saat dia indekos di sebuah rumah milik keluarga buruh yaitu Tuan dan Ny. Van der Mij. Di sanalah ia simpati melihat kehidupan buruh yang diperlakukan ibarat kuda tarik. Saat ia kuat maka tenaganya dieksploitasi, namun begitu sang kuda sudah mulai loyo maka iapun dilemparkan seperti sampah.

Pada tahun 1919, Tan Malaka kembali ke Indonesia bekerja sebagai guru di perkebunan Senembah, Deli Serdang, Sumatera Timur. Tugas Tan Malaka adalah mendidik anak-anak para buruh perkebunan Senembah. Di sana ia kembali berhadapan dengan realitas buruh yang ditindas oleh tuan tanah[5].

Terjadi kegundahan di hati Tan Malaka. Dirinya dihadapkan pada pilihan terus menjadi pegawai Belanda dengan menahan sekuat-kuatnya rasa iba melihat penderitaan bangsanya, atau keluar dari pekerjaan tersebut dan membaktikan dirinya secara utuh untuk perjuangan merebut kemerdekaan. Akhirnya sebuah ijtihad pun dilakukan. Tan Malaka memutuskan untuk menyerahkan dirinya secara utuh untuk perjuangan menaikkan martabat bangsanya. Dia memutuskan untuk meninggalkan semua fasilitas eropa dan gaji besar yang diterimanya dari pihak perkebunan Senembah. Tan Malaka mulai fase baru dalam hidupnya yakni meleburkan diri menjadi aktivis dalam perjuangan kebangsaan secara total[6].

Pada tahun 1921 Tan Malaka berangkat menuju kota Semarang. Di Semarang, Tan Malaka bertemu dengan tokoh yang lebih senior dan menjadi ketua serikat buruh yaitu Semaun[7].

Melalui aksi, pidato, dan tulisan-tulisannya, Tan memantik semangat perjuangan menentang kapitalis imperialis Belanda. Gerak-gerik dan sepak terjang Tan membuat Belanda gerah. Berbagai upaya dilakukan oleh Belanda untuk membungkam Tan Malaka. Dari situ, Tan mulai hidup berpindah-pindah[8].

Di sepanjang hidupnya, Tan telah mengalami berbagai situasi: dari masa akhir Perang Dunia I, revolusi Bolsyewik, hingga Perang Dunia II. Di kancah perjuangan kemerdekaan Indonesia, Tan merupakan tokoh pertama yang menggagas secara tertulis konsep Republik Indonesia. Ia menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925, jauh lebih dulu dibanding Mohammad Hatta, yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pledoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928), dan Bung Karno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933)[9].

Hidup Tan berakhir di ujung senapan. Menurut Poeze, Tan ditembak mati di Selopanggung pada 21 Februari 1949. “Dia ditembak atas perintah Letnan dua Soekotjo dari Batalion Sikatan bagian Divisi IV Jawa Timur,” kata Poeze.Tragedi kematian Tan itu membuat Hatta kemudian memberhentikan Soengkono sebagai Panglima Divisi Jawa Timur dan Soerahmad sebagai Komandan Brigade. Sukarno tak mau kalah. Ia mengangkat Tan Malaka sebagai pahlawan nasional pada 28 Maret 1963[10].

B. Latar Belakang Penulisan Tiga Pamflet tentang Ekonomi Politik

Perjuangan di Surabaya memberi dorongan kepada Tan Malaka untuk menulis. Tiga pamflet yang ditulis Tan Malaka sebagai satu rangkaian yang saling terkait, masing-masing diberinya judul Politik, Rencana Ekonomi dan Muslihat. Kata pengantar yang ditandatangani Tan Malaka, semuanya dengan menyebut tempat Surabaya dan data berturut-turut 24 November, 28 November, dan 2 Desember 1945. Menurut Poeze, keterangan tentang tempat untuk dua pamflet Rencana Ekonomi dan Muslihat pasti tidak benar dan bertentangan dengan keterangan Tan Malaka sendiri dalam Politik, bahwa ia selama satu minggu ada di tengah kancah pertempuran, yaitu dari 17 sampai 24 November. Tan Malaka ingin ikut memperlihatkan kekagumannya pada perlawanan rakyat dan pada kawan-kawannya sehaluan di Surabaya. Pemberian data itu mungkin tepat untuk kata pengantarnya sendiri, dan untuk versi kasar dari naskah utama.[11]

Kata pengantar untuk Politik memuji kaum proletar, tani, dan pemuda di Surabaya, yang dalam tindakan dan semangatnya melampaui apa yang diamati Tan Malaka di Shanghai, Berlin, Mesir, dan Moskow. Tapi ia masih melihat adanya kekurangan dalam wawasan ideologi dan organisasi. Juga atas permintaan para pemuda ia menulis tiga pamflet itu, yang bersama dengan karyanya yang lain, Manifesto Pari, dapat digunakan untuk menganalisa situasi mutakhir. Ia terkendala oleh tiadanya perpustakaan, namun cukup untuk memandang Politik sebagai garis-garis besar sebuah buku panduan.[12]

Rencana Ekonomi mendapat kata pengantar yang paling panjang, dan terlepas dari isinya, di sini Tan Malaka membela kebijakan di masa lalu. Ia memperingatkan terhadap Tan Malaka palsu, yang telah digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk memecah belah gerakan revolusioner dan terutama gerakan komunis. Nama Tan Malaka dihitamkan, dan banyak anggota Pari yang menjadi korban selama 1935-1936. Tan Malaka palsu memberi perintah untuk bekerjasama dengan tentara pendudukan Jepang. Selanjutnya, Tan Malaka menunjuk pada risalah-risalahnya dari tahun 1924-1926, dimaksud untuk mempertahankan haluan aksi-massa PKI dan untuk mencegah masuknya provokasi. Itu sesuai dengan wewenang Tan Malaka yang diberikan Komintern kepadanya, yakni berupa advis, kritik dan veto. Kadar kebenaran antara Tan Malaka asli dan palsu juga bisa diukur melalui perbuatannya. Pelayaran ilegal dari Singapura ke Sumatra dan Jawa, serta penyembunyian dirinya di Bayah, memperlihatkan kepercayaan Tan Malaka pada aksi-massa. Sudah sejak 24 tahun lalu, dan selalu, ia masih menghendaki aksi massa.[13] Tan Malaka masih tetap menghindari tampil di depan publik. Dalam pamflet-pamfletnya ia mengembangkan garis-garis politiknya. Jika hal itu dipandang perlu, maka ia akan tampil memberikan pimpinan, tanpa peduli pada pengorbanan yang diminta.[14]

Bentuk sastra dari tiga pamflet ini patut diperhatikan. Ketiga-tiganya disusun sebagai percakapan bersama antara lima orang. Bentuk yang sangat tepat untuk mengemukakan soal-soal yang rumit dan dengan cara yang menarik untuk pembaca yang sangat luas. Dengan demikian tujuan pengajarannya bisa diungkapkan secara optimal dan dengan keleluasaan untuk memberi hiburan. Bentuk seperti ini tidak ada bandingannya untuk karangan sastra dan politik Indonesia. Pengalaman Tan Malaka sebagai sutradara sandiwara di Bayah tentu telah berpengaruh dalam memilih bentuk dialog karangan ini. Percakapan itu terjadi antara lima orang peserta, dan Tan Malaka memberi latar belakangnya. Mr. Apal selaku cendekiawan, Toke seorang saudagar golongan sedang, Pacul mewakili petani, Denmas selaku tokoh ningrat, dan Godam sebagai wakil buruh pabrik baja. Nama-nama mereka mengandung banyak arti. ‘Apal’ berarti tahu di luar kepala, sehingga Mr. Apal ialah lontaran kata olok-olok ironis; Toke ialah kata pinjaman dari kosakata Tionghoa untuk pengusaha atau majikan; Denmas ialah kependekan lazim dari kata Raden Mas; Pacul ialah kata Jawa untuk cangkul; sedangkan Godam berarti palu atau martil. Para pembicara mewakili kelas mereka masing-masing, tapi semuanya berpandangan maju dan siap untuk bertaruh sepenuh-penuhnya bagi kemerdekaan Indonesia. Latar belakang kelas mereka tentu saja menentukan sebagian besar reaksi-reaksi mereka. Dalam kisah itu Godam ialah pemuka mereka yang tak dapat dibantah, yang oleh mereka semua memang juga diakui demikian. Tan Malaka sendiri juga mengucapkan kata-katanya, bahkan berkali-kali ia berbicara secara langsung.[15]

C. Pamflet Politik[16]

Percakapan tentang politik ini terjadi antara Mr. Apal (wakil kaum intelegensia), Si Toke (wakil pedagang kelas menengah), Si Pacul (wakil kaum tani), Denmas (wakil kaum ningrat), dan Si Godam (wakil buruh besi).

1. Arti Kemerdekaan

Tan Malaka mengawali pamflet tentang politiknya dengan percakapan menarik tentang artinya “Merdeka”. Percakapan sederhana itu dilakukan oleh Si Pacul dan Si Toke. Secara sederhana, “merdeka”, menurut Si Toke, dapat diartikan sebagai tidak adanya kesusahan, selalu riang gembira, seperti burung gelatik yang bisa terbang ke sana ke mari, dari pohon ke pohon mencari makan (hlm. 4). Namun, menurut Si Pacul merdeka semacam ini kurang memuaskan. Sang gelatik selalu diintai musuhnya (kucing, berang-berang, burung elang, dan manusia), karena tidak ada jaminan perlindungan dari adat atas undang-undang masyarakat (hlm.5). Ada kemerdekaan yang bersifat negatif, yaitu kemerdekaan liar. Segerombolan burung gelatik yang seenaknya memusnahkan hasil jerih payah petani dilambangkan sebagai kemerdekaan orang tak berusaha yang merampas hasil pekerjaan orang lain yang mengeluarkan tenaga. Merdeka semacam itu berarti merdeka merampas (hlm. 6). Maka dari itu, kemerdekaan perlu dibatasi.

Percakapan berlanjut ke arti lebih mendalam dari “merdeka”. Kemerdekaan itu tidak berarti boleh menjalankan kemauan diri sendiri saja, dengan tiada mempedulikan hak dan kemauan orang lain (hlm.7). Seperti di zaman Majapahit, kemauan liar diri sendiri dibatasi oleh Raja. Raja yang memimpin mestinya adil, bijaksana, dan berani gagah perkasa. Negara aman sentosa, kalau Raja itu sendiri sempurna kalau keluarga Raja itu sempurna, tak ada celanya. Tetapi akan menjadi celaka, kalau Raja itu jahat (hlm. 8).

Mr. Apal menanggapi bahwa Si Pengendali negara seharusnya adalah aturan atau Undang-Undang Dasar. Pembuat Undang-undang tersebut tergantung dari bentuk suatu Negara: (1) Monarki Absolut: Kemauan Raja tidak ada batasnya. Kelemahannya adalah Raja dapat menjadi sewenang-wenang. (2) Monarki Konstitusional: Kekuasaan Raja dibarasi oleh Undang-undang, yang dibuat oleh rakyat. Raja hanya menjadi lambang persatuan saja. Namun biayanya mahal. Rakyat mesti memikul semua ongkos raja dan keluarganya yang sebenarnya adalah kelas nganggur (hlm. 11). Republik: Negara diperintah menurut undang-undang. Perintah terletak pada Presiden dan para menterinya, serta Sidang Pusat dan Daerah, dan di tangan Mahkamah Tertinggi.

2. Arti Kedaulatan

Mereka kemudian membahas tentang kedaulatan. Di dalam negara republik seharusnya kedaulatan itu di tangan rakyat dan pada undang-undang yang dibikin oleh para wakil rakyat. Kalau para wakil rakyat menimbulkan kesangsian, maka Mahkamah Agung akan memeriksa kesesuaiannya dengan Undang-Undang Dasar. Jika Mahkamah Agung menimbulkan kesangsian, maka kedaulatan ada dalam Permusyawaratan Rakyat. Suara terbanyak menjadi suara putusan (hlm.13). Kedaulatan itu berarti “kemauan” atau “kekuasaan”. Di dalam “kekuasaan” terletak “hak lahir (keperluan hidup, makanan, pakaian, perumahan, gaji, dsb-nya) atau batin (bebas berkumpul, berbicara, menulis, melindungi harta, hak manusia)” rakyat.

Menurut Godam, pada kenyataannya yang berdaulat di semua negara merdeka di dunia ini adalah Kapitalisme dan Birokrasi. Birokrasi adalah perkakas memerintah dan administrasi yang di zaman kapitalisme menjadi perkakas menindas kaum pekerja. Kapitalis membuat kerumitan di dalam administrasi negara. Kesulitan administrasi itu memberi kesempatan pada kaum hartawan untuk menduduki administrasi itu. Mereka adakan sekolah menengah dan tinggi buat mendidik anak yang mampu mengadakan dan menjalankan administrasi yang sulit dan bertingkat-tingkat (hlm.21). Semua urusan birokrasi dan administrasi diatur oleh kapitalis. Akibatnya, kaum buruh tidak dapat merebut kursi dalam parlemen. Bagaimana mengatasi kebuntuan ini?

3. Aksi Murba

Si Pacul, Godam, dan Toke menimbang mana yang lebih baik antara Aksi Parlementer atau Aksi Murba. Aksi Parlementer jelas tidak mungkin, karena kaum buruh –yang walaupun anggotanya lebih banyak—tetap saja kalah keras teriakannya dibandingkan dengan calon wakil kapitalis. Di dalam parlemen, yang berteriak memajukan dan memuja-muja para calon kapitalis adalah fulus atau uang. Kaum Fulus selalu menang di era kapitalisme (hlm. 23). Inilah muslihat Kaum Kapitalis: mereka mempunyai benteng lahir pada golongan bankir, mempunyai tukang sulap yang tidak kelihatan dalam administrasi, yaitu birokrat. Kalau wakil borjuis kalah dalam parlemen ia minta bantuan pada tukang sulapnya. Kalau di sini ia kalah pula, baru minta bantuan pada polisi, yustisi, dan tentara (hlm.25).

Untuk menghadapi muslihat kapitalis itu, perlu diadakan Aksi Murba. Aksi itu tidak boleh gegabah. Segala sesuatunya harus dipikirkan. Kekuatan lahir dan batin pada lawan mesti dibandingkan dengan kekuatan lahir dan batin kita (proletar). Tidak boleh berkorban sia-sia. Tiap-tiap tetes darah yang mengalir, mestinya mendapatkan hasil yang seimbang. Singkatnya, jiwa suatu perjuangan adalah: (1) perbandingan kekuatan. (2) perkara tempo dan tempat. (3) memperhatikan syarat pemimpin: cakap, mampu menaksir keadaan saat ini dan esok, berkemauan baja, dan (4) tidak boleh berpegang pada satu teori saja kalau menyerang atau mempertahankan. Dia mesti cakap dalam mengadakan muslihat baru pada keadaan baru. Jiwa perjuangan itu berdasar pada disiplin. Disiplin itu sendiri berdasar pada keperluan bersama (sama kepentingan, sama tujuan, dan sama berjuang).

4. Merdeka 100%

Musuh dalam suatu negara merdeka adalah kapital-asing. Indonesia tidak membutuhkan uang dari kapital-asing. Yang diperlukan adalah KEMERDEKAAN 100%. Kalau menolak kapital-asing, lalu bagaimana caranya mendapatkan uang? Semua hasil dari dalam dan atas tanah Indonesia ditambah pula dengan hasil lautnya yang kaya raya, minyak tanah, alumunium, intan-mas, perak-mutiara, teh, kopi, kina, kelapa, gula, getah. Itu semua adalah uang (hlm.34). Kalau kita sudah merdeka 100% untuk menguasai keluar masuknya barang asing, maka barulah kita bisa merdeka 100% menentukan “ARAH” industrialisasi di Indonesia, yakni menuju ke INDUSTRI BERAT seperti kilat. Baru sesudah mempunyai dan sanggup menyelenggarakan industri berat, baru kita bisa membuat alat kemakmuran dan alat pertahanan. Selama Indonesia belum mempunyai Industri Berat, selama itu pula INDONESIA MERDEKA terancam kemerdekaannya (hlm. 36). Namun itu bukan berarti menolak sama sekali masuknya kapital-asing. Yang menjadi ukuran adalah: Rakyat Indonesia jangan terancam kemerdekaan dan kemakmurannya. Bangsa tamu tetap aman dan makmur (hlm.36).

Si Godam kemudian mengakhiri pamflet tentang politik ini dengan beberapa kesimpulan, di antaranya: (1) Yang berhak menentukan nasib Rakyat Indonesia ialah kemauan, pelor, atau bambu runcingnya Rakyat Indonesia sendiri. (2) “MERDEKA 100%” adalah satu jaminan buat terus merdekanya Indonesia. Tanpa MERDEKA 100% Indonesia takkan bisa mengadakan kemakmuran cukup buat dirinya sendiri.(3) Dalam perang kemerdekaan, jiwa (psikologi) Murba, dan suara dunia umumnyalah (international public opinion) yang akan memberi putusan terakhir. Indonesia sekarang berjuang bukan saja buat Rakyat Indonesia sendiri, tetapi juga buat seluruh Rakyat tertindas dunia (hlm.39-41).

D. Pamflet Rencana Ekonomi Berjuang

Dalam brosur “Rencana Ekonomi Berjuang”, Tan Malaka membentangkan pahamnya tentang rencana ekonomi yang bisa dan perlu dijalankan oleh semua golongan yang ada di Indonesia, termasuk rencana ekonomi yang bisa dan perlu dijalankan sesudah kemerdekaan 100% tercapai. Menurutnya ada tiga paham yang perlu bahu membahu, yakni paham keislaman, kebangsaan, dan sosialistis. Semuanya berorientasi pada perebutan kemerdekaan nasional. Kelak sesudah kemerdekaan nasional tercapai pun perlu dicari persamaan yang mempersatukan paham-paham itu, yakni pada persamaan keperluan dalam satu Rencana Ekonomi yang Sosialistis. Tan Malaka menyertakan pula kritik atas kapitalisme, atas rencana ekonomi fasis dan demokratis.

1. Pandangan Atas Kapitalisme

Tan Malaka memaparkan tentang kapitalisme dan kritik atasnya. Ia mengambil contoh tentang tambang arang di Bayah, Banten Selatan di masa Jepang. Pada pertambangan tersebut dijumpai kapitalisme Jepang yang seolah berdasarkan perampokan terang-terangan. Jepang memperoleh keuntungan yang sangat besar dari pertambangan padahal mereka tidak mengeluarkan biaya apa-apa atas tanah, mesin, dan bahan bakunya. Karena itu kapitalisme yang dijalankan oleh tentara Jepang dalam 3 tahun di Indonesia disebut Tan Malaka sebagai kapitalisme merampok.[17]

Ia juga mengulas teori Karl Marx mengenai nilai-lebih, atau “tenaga yang tidak dibayar”. Keuntungan yang diperoleh kapitalis berasal dari menimbulkan nilai-lebih dengan cara memakai tenaga buruh lebih dari harga tenaga yang telah dipersekotkannya.[18] Keuntungan juga dari menambah intensifitas pekerjaan buruh dan mempertinggi kekuatan efisiensi mesin. Sebagai dampak proses produksi yang sedemikian itu, terjadi krisis di mana hasil produksi sangat melimpah dan harga barang menjadi turun. Krisis timbul akibat gangguan keseimbangan produksi-konsumsi dan penghasilan-pemakaian. Kapitalisme dengan demikian membawa kehancurannya sendiri dan krisis pasti terjadi dalam banjirnya hasil tersebut.[19]

Dari uraian itu, terlihat bahwa kapitalisme membawa pada produksi anarkis, yaitu ketika kapitalis menghasilkan semaunya tanpa suatu perhitungan terlebih dahulu. Tiap kapitalis berlomba mencari untung tanpa mempedulikan nasib buruh maupun seberapa banyak kebutuhan bersama atas hasil produksi.[20] Terjadi persaingan antar kapitalis dalam satu negara, juga persaingan antar negara kapitalis. Tiap negara kapitalis berlomba menanam modal dan memonopoli bahan maupun pasar di negera lemah itu bagi perindustrian negara induk. Inilah yang dinamai imperialisme, dan imperialisme berujung pada perang imperialisme, perang merebut jajahan. Dengan demikian, ringkasnya pada kapitalisme melekat perseorangan (individualitas), penghasilan anarkis, imperialisme, dan perang demi mencari keuntungan.

2. Rencana Ekonomi

Kapitalisme dengan produksi anarkisnya lalu coba dipertentangkan Tan Malaka dengan Rencana Ekonomi. Bila produksi anarkis berarti produksi yang semaunya dan tidak terkendali, maka Rencana Ekonomi ialah ekonomi yang dijalankan menurut rencana, ekonomi terkendali. Di dalamnya terdapat usaha mengatur produksi dan distribusi, atau usaha mengatur penghasilan dan pembagian hasil buat negara. Jadi, berbeda dengan dunia kapitalisme di mana penghasilan dan pembagian tidak diatur, dalam Rencana Ekonomi ada perencanaan penghasilan, pembagian hasil, dan gaji.[21] Semua mata-pencaharian dipakai untuk masyarakat. Lebih lanjut, kehidupan sosial pun harus dimasyarakatkan pula. Rencana Ekonomi itu sudah dijalankan di negara komunis, negara fasis, juga di negara demokratis Amerika:

– New Deal : Ekonomi Anarkis dicoba ditukarkan dengan ekonomi (sedikit) teratur yang digagas Roosevelt. Sesudah tahun 1929 timbul krisis hebat kapitalisme di Amerika. Untuk menata dan memperbaiki ekonomi, maka pemerintah menyuntikkan dana kepada perusahaan yang setengah bangkrut, juga memberi uang pada kaum buruh. Atas tindakan ini, umumnya roda industri mulai bergerak kembali.

– Rencana Ekonomi Fasis: Jerman pasca kekalahan di Perang Dunia I menjalankan Rencana Ekonomi fasis dengan prinsip kontra-revolusioner terhadap kaum buruh di dalam negeri dan imperialis terhadap negara luar. Salah satu strateginya dengan mengalihkan sebagian tenaga produksi barang-barang kebutuhan pokok ke pabrik-pabrik baru pembuatan senjata. Politik yang digunakan Nazi menjunjung prinsip autarki, yakni menghasilkan barang atas dasar bahan dan tenaga sendiri, padahal tidak semua sumber daya dimiliki Jerman, dan juga barang-pakai seperti makanan dan pakaian tetap perlu diproduksi. Maka sebagai solusi, Jerman membuat ersatz, suatu barang gantian/substitusi. Contohnya, karena Jerman kekurangan minyak, maka mereka menyaring minyak dari batu arang yang banyak di sana. Rencana Nazi itu berjaya dan dunia hampir takhluk pada Jerman Nazi.

– Rencana Ekonomi Sosialis: dasar sosialisme ialah sama-rata dan tolong menolong. Di sini rencana ekonomi berarti urusan perekonomian yang teratur dengan maksud supaya produksi cocok dengan konsumsi, serta berdasarkan hidup sama-rata dan tolong menolong. Sari rencananya ialah menaksir hasil yang cocok dengan pemakaian, sehingga perlu direncanakan: l) Industri umumnya; 2) Mesin khususnya. Keduanya mesti dicocokkan dengan: 3) Gaji, dan 4) Perdagangan masuk dan keluar negara. Tingkat sosialisme ialah apabila semua alat penghasilan dalam kapitalisme sudah dimiliki oleh masyarakat. Pada tingkat ini pekerja menerima gaji menurut kecakapannya, tetapi mungkin pula sebagian lagi berupa “bagian-sosial”.

3. Rencana Ekonomi Untuk Indonesia

Pada brosur “Politik”[22], Tan Malaka telah sempat memaparkan rencana ekonomi jangka panjang bagi Indonesia. Tetapi dalam bagian ini ia lebih memfokuskan pada rencana jangka pendek, yakni pada Rencana Ekonomi Berjuang karena adanya beberapa keterbatasan. Keterbatasan itu antara lain dalam hal industri berat maupun industri ringan Indonesia banyak kekurangan mesin. Perindustrian Indonesia sebagai pusaka imperialisme Belanda pun amat pincang. Indonesia kekurangan mesin dan kain, tetapi kebanyakan barang bahan. Perdagangan luar negeri semestinya dapat menutupi kekurangan itu, tetapi saat itu perdagangan luar negeri terputus. Jurang Indonesia dan dunia luar tak bisa dijembatani selama Inggris-Nica menyerang Indonesia.

Sebab itu rencana terpenting ialah Rencana Ekonomi Berjuang untuk mencapai kemerdekaan 100% lebih dahulu. Kemerdekaan 100% itu pulalah yang sanggup memberi kesempatan kepada Indonesia untuk mendirikan Mesin-Induk dan Industri Berat Nasional. Suasana saat itu ialah suasana dalam perjuangan. Ada beberapa hal yang menguntungkan Indonesia yang langsung bersangkutan dengan Rencana Ekonomi Berjuang: 1) Iklim. Tidak ada musim dingin di Indonesia, sehingga tanaman tumbuh 12 bulan setahun. Makanan mudah direncanakan, dan pakaian cuma sedikit yang diperlukan. Pejuang bisa hidup dalam pondok kecil meneruskan perjuangan dan menghindarkan pesawat udara. 2) Penduduk Indonesia amat banyak, sehingga dapat diperoleh banyak prajurit. 3) Moral prajurit amat menggembirakan. Mereka bersemangat membela kemerdekaan. 4) Keadaan internasional amat memuaskan. Dunia internasional menaruh banyak perhatian pada kemerdekaan Indonesia.

Tujuan utama Ekonomi Berjuang ialah menghasilkan dan mengatur hasil bagi perang dalam jangka lama. Semakin tahan lama perjuangan, maka musuh makin lemah karena makin diprotes dunia dan makin kosong kasnya untuk melanjutkan penyerangan.

Syaratnya rencana ekonomi sosialis yang menonjol di masa berjuang itu, ialah: l) Menambah makanan dan pembagian makanan. 2) Mendirikan perusahaan tenun dan membagikan hasilnya. 3) Mendirikan pondok di tempat aman sebagai persiapan buat

penduduk kota. 4) Mengatur pertukaran barang. 5) Mempersiapkan hubungan dengan luar negeri. Tindakan pertama yang harus diambil ialah mengadakan l) Panitia menaksir, 2) Jabatan menjalankan taksiran atau Rencana, dan 3) Badan Penyelidik.

Di sini termuat pula kritik Tan Malaka, yakni andai sedari awal Republik Indonesia didirikan bisa memandang ke depan dan memegang teguh makna kemerdekaan, maka tentu sudah mempunyai Rencana Ekonomi Berjuang dan dapat menangkis serangan Inggris-Nica.

Jadi pada intinya, di masa penyerangan musuh saat itu, perlu mengadakan rencana. Bukan demi perekonomian yang kokoh karena kesempatannya belum ada, tetapi Rencana Ekonomi demi berjuang semata-mata. Pengaturan penghasilan dan pemakaian untuk berjuang harus segera dilaksanakan. Hasil itu mesti dicocokan dengan permintaan.

Tan Malaka percaya bahwa meskipun kaum imperialis membabi buta dan bisa menang, tetapi selama lahan terus ditanami menurut rencana ekonomi yang teratur rapi, dan semangat rakyat masih percaya pada hak kemerdekaannya, maka musuh akan bertekuk lutut. Kekayaan Indonesia yang istimewa akan mengizinkan rakyatnya bertarung lama dengan hidup miskin. Semua kekayaan dan kemegahan itu kelak akan kembali ke tangan Indonesia apabila sudah menang.

E. Pamflet Muslihat

1. Latar Belakang Peristiwa[23]

Pada Oktober 1945, pasukan sekutu datang diboncengi NICA (NICA = Netherlands-Indies Civil Administration adalah pemerintahan sipil Hindia Belanda , yang dibentuk di Australia saat Indonesia dikuasai Jepang). Pasukan sekutu yang berintikan tentara Inggris itu bertugas mengurus penyerahan, perlucutan, dan pemulangan tentara Jepang; membebaskan tawanan perang; memulihkan keamanan dan ketertiban; mencari dan mengadili para penjahat perang.

Sesuai hasil perundingan Inggris dan Belanda, setelah tugas sekutu selesai, status Indonesia kembali berada di bawah pemerintah Belanda (NICA). Tak pelak lagi, kesepakatan itu mengakibatkan pertempuran antara tentara Indonesia dan pasukan sekutu/ Belanda. Pertempuran terjadi karena pasukan sekutu melakukan provokasi sbb: menyerbu penjara Kalisosok untuk membebaskan seorang kolonel AL Belanda, menduduki tempat-tempat penting, dan menyebar pamflet agar rakyat menyerahkan senjata yang dirampas dari Jepang. Suasana semakin memanas ketika Brigjen Mallaby tewas. Sejak pagi hari 10 November 1945, Surabaya dibombardir dari darat, laut dan udara. Meski persenjataan tentara sekutu jauh lebih modern, namun rakyat Surabaya mampu bertahan hingga tiga minggu lamanya.

Upaya mempertahankan kemerdekaan dilakukan dengan cara militer dan cara perundingan. Selain perjuangan bersenjata, dikenal pula perjuangan diplomasi. Para pejuang diplomasi berupaya mendapat dukungan dan simpati dunia internasional serta tak lelah-lelahnya melakukan perundingan, mengingat kekuatan militer Indonesia ada di bawah Belanda. Perjuangan dilakukan baik melalui PBB, mau pun perundingan-perundingan antara lain perundingan Linggarjati, perundingan Renville, perundingan Roem-Roijen, Konferensi Inter-Indonesia, Konferensi Meja Bundar.

2. Muslihat

‘Muslihat’ yang dimaksud dalam naskah ini adalah taktik atau siasat untuk mencapai kemerdekaan, dan bukan ‘muslihat’ dalam arti negatif. Bangsa Indonesia harus bisa mengatur siasat menghadapi Inggris dan NICA yang memiliki persenjataan lengkap. Inggris dan NICA pada hakikatnya mau menjajah. Meski diserang dari darat, laut dan udara, namun rakyat Surabaya tetap bertahan. Kita tidak boleh dijajah kembali, kita harus bisa mengatur siasat. Kita harus bermuslihat dalam arti seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya.

Baru 3 ½ bulan berdiri, Republik Indonesia sudah menghadapi tantangan. Pertempuran melawan penjajah bukan hanya terjadi di Jawa, namun juga terjadi di Sulawesi, Kalimantan dan Sumatra. Rakyat Indonesia dengan tombak, bambu, golok dan tinju berani berjuang karena memiliki senjata lain yakni, kebenaran, keadilan, dan (rakyat) Murba. [24]

Agar perjuangan berhasil, harus diupayakan melalui jalan diplomasi. Jika melalui jalan kekerasan (cara militer), sulit bagi Indonesia untuk mendapat simpati dan pengakuan dari negara lain. Diplomasi Indonesia merdeka bukanlah diplomasi mengemis dan menerima. Diplomasi berjuang dan merebut, itulah diplomasi kita.

Kita harus waspada terhadap Inggris karena sejarah mencatat tabiat imperialismenya yang buruk pada bangsa-bangsa di Asia dan Afrika. Inggris tidak pernah berlaku jujur pada bangsa berwarna. Katanya Inggris hanya mau mengurusi tawanan Eropa saja. Nyatanya Inggris memasukkan NICA bersenjata lengkap, juga menggunakan organisasi damai seperti Palang Merah. Tatkala Inggris berhasil menduduki tempat-tempat penting, ketenteraman tercapai, lalu ia akan mengeluarkan boneka NICA dari kantongnya. Selama peraturan ekonomi, politik, dan sosial Inggris masih kapitalis, selama itu pula nafsunya untuk menjajah negara lain bergelora.

Agar suatu perjuangan berhasil, kita harus menghitung untung ruginya. Kira-kira ada 9 perkara, yakni: bumi iklim, keadaan internasional, cacah jiwa, kebatinan (moral), kemiliteran, kecerdasan, disiplin, persatuan, organisasi (hlm 136 – 143)

Tujuan perjuangan kini ada dua, yakni Merdeka 100% dan menyelenggarakan sendiri Industri Berat Nasional. Rakyat pemberontak boleh disusun dalam satu kalangan (platform). Yang penting adalah kontak, yakni ikatan yang kuat antara kalangan tsb dengan Rakyat Murba. Bagaimana cara mengadakan ikatan yang erat itu? Carilah suatu tuntutan yang bisa mengikat pikiran, perasaan dan kemauan. Kita percaya pada idealisme, namun idealisme itu harus berdasar pada materi, yakni benda dan kenyataan.

Di masa damai, tuntutan proletar pada kapitalis tentulah: naik gaji, pengurangan jam kerja, perbaikan rumah, dll. Di masa perang, tuntutannya adalah politik, menuntut dicabutnya kembali tentara asing dari bumi pertiwi. Setelah ini barulah tuntutan yang lain-lain bisa dibicarakan.

Program Kalangan Rakyat Berjuang ada 7, salah satunya adalah membagikan tanah pada petani melarat. Siasat pembagian tanah mempunyai 2 maksud, yakni siasat kemakmuran dan sebagai siasat memberontak. Dalam pembentukan susunan Kalangan Rakyat Berjuang, ada 3 bagian penting, yakni Bagian Politik, Bagian Pertahanan, dan Bagian Ekonomi. Bagian politik menentukan arah jalannya negara. Putusan terakhir tidak di Bagian Pertahanan karena pemerintahan militeristis di negara ratusan pulau ini bisa memicu perpecahan. Tiap-tiap bagian politik, masih dibagi-bagi lagi (hlm 158, 159).

Apakah syarat dan taktik strategi berjuang? Maka di atas segala-galanya yang terpenting tentulah keyakinan dan kekuasaan menang. Syarat-syarat berjuang ada 5 (hlm 162). Selain daftar “yang mesti dilakukan” maka ada daftar yang “jangan dilakukan” (hlm 162, 163, 164).

Inggris menuduh rakyat Surabaya membunuh opsirnya. Inggris tidak mau mengadakan pemeriksaan seksama terhadap tuduhan itu. Inggris menuntut rakyat dan tentara Indonesia dilucuti senjatanya. Padahal sekutu meminta Inggris untuk melucuti tentara Jepang, dan bukannya melucuti tentara Indonesia. Diplomasi Indonesia bukanlah diplomasi bertekuk lutut, diplomasi patah hati, separo jalan atau seperempat jalan. Diplomasi kita menghendaki kemerdekaan 100% sempurna. [25]

F. Tanggapan Kelompok dan Relevan Pemikiran Tan di Zaman Sekarang

Ada dua masalah bangsa lndonesia yang memprihatinkan Tan Malaka, yaitu: (1) Mengapa bangsa Indonesia dijajah begitu lama, (2) Bagaimana bisa mandiri sebagai bangsa setelah mengenyahkan penjajah dan bagaimana cara mengenyahkannya.[26] Menghadapi situasi bangsa Indonesia yang terjajah begitu lama, Tan Malaka berusaha menjawabnya tidak hanya dengan merunut kultur penyebabnya, tetapi sekaligus menunjuk pula pada bagaimana mengusir penjajah dan berusaha agar tidak pernah terjajah lagi. Penyebab pokok penjajahan menurutnya adalah sistem kapitalis-kolonialis dan feodalis. Maka soal keindonesiaan merdeka haruslah merupakan pemerdekaan yang total, baik di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, maupun sikap mentalnya.[27]

Propaganda melawan kapitalis dan feodalis demi mencapai kemerdekaan seratus persen tersebut disampaikan Tan melalui ketiga pamflet tersebut. Pamflet tersebut ditujukan untuk membangun kesadaran, menyatukan, dan menggerakkan massa—singkatnya, untuk menyulut semangat revolusi melawan penjajah dan kapitalis. Pada kenyataannya di zaman itu, pamflet tersebut tidak banyak memberi pengaruh apalagi menggerakkan rakyat proletar. Seolah-olah sia-sia. Namun, pemikiran-pemikiran strategis dan sistematis dari Tan Malaka, mengenai kemerdekaan total tersebut, amat mempengaruhi tokoh-tokoh politik Indonesia saat itu.

Tan memiliki kekhasan dalam berpolitik. Status sebagai buronan membuatnya tidak dapat berpidato secara terbuka di depan massa. Keadaan memaksanya untuk memilih cara berpolitik melalui tulisan-tulisannya. Pemikiran Tan Malaka dalam ketiga pamflet tersebut terkait erat dengan tulisan-tulisannya yang sebelumnya, yaitu Massa Actie (1926). Baik tiga pamflet ekonomi-politik maupun Massa Actie, keduanya sarat akan ide gerakan kemerdekaan revolusioner. Revolusi demi mencapai kemerdekaan hanya dapat diperoleh melalui strategi yang matang. “Hanya ‘satu aksi massa’, yakni satu aksi massa yang terencana yang akan memperoleh kemenangan, di satu negeri yang berindustri seperti Indonesia”, demikian ungkap Tan Malaka dalam Massa Actie.

Ide Tan Malaka merupakan alternatif baru dalam revolusi. Dalam brosur “Muslihat”, semakin terlihat bahwa Tan Malaka berlawanan dengan pandangan Sjahrir yang mengutamakan perundingan dan jalur diplomasi dengan pihak penjajah. Baginya diplomasi dalam memperoleh kedaulatan republik merupakan cara yang salah yang justru memperlemah posisi dan kedaulatan Indonesia. Rakyat harus menolak segala perjanjian yang tidak didasarkan atas kemerdekaan 100%, karena apabila tak didasarkan atas itu maka kemerdekaan akan merosot nilainya dan lambat laun akan dijajah kembali.[28]

Dalam menuangkan tulisan-tulisannya, Tan Malaka merupakan pemikir yang cermat mengamati kondisi di Indonesia. Ia seringkali menganalisa apa yang disebutnya sebagai “suasana” dalam dialog-dialog di buku “Merdeka 100%”. Meski Tan Malaka menganut Marxisme, konteks Indonesia yang berbeda turut menyebabkan munculnya beberapa pandangannya yang tidak selalu sejalan dengan teori-teori Marx. Misalnya pandangan mengenai negara. Menurut Marx, setelah terjadinya revolusi proletariat dan kesetaraan kelas, maka negara menjadi tidak diperlukan lagi, karenanya negara akan layu dan menghilang dengan sendirinya. Sedangkan Tan Malaka lebih condong sebagai nasionalis yang melawan imperialisme. Ia masih mempercayai fungsi negara dan bahkan mengusulkan suatu bentuk republik bagi Indonesia, di mana negara yang dicita-citakannya adalah republik yang dikelola oleh sebuah organisasi. Maka, revolusi baginya bukan semata-mata penghancuran negara kapitalis oleh kaum buruh, melainkan juga penumbangan kekuasaan imperialis kapitalis oleh rakyat. Dari sinilah negara Indonesia bisa muncul sebagai negara yang berdaulat.

“Ingatlah bahwa dari dalam kubur suara saya akan lebih keras daripada di atas bumi.” Demikian perkataan Tan Malaka dalam autobiografinya yang berjudul Dari Penjara ke Penjara Jilid II (1948). Sekalipun tubuhnya telah usang dan rusak, namun pemikiran dan semangatnya masih tetap relevan sampai saat ini. Tiga Pamflet tentang Ekonomi dan Politik bertujuan untuk menyadarkan negara ini agar menjadi lebih adil untuk seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat banyak yang melihat negara dikuasai atau diatur oleh pihak asing. Lalu masyarakat (miskin) rindu pada ideal Indonesia yang lebih baik. Masalah-masalah mendasar yang muncul di dalam tiga pamflet tersebut kembali muncul di zaman sekarang, yaitu masalah penindasan penguasa terhadap orang miskin dan lemah, birokrat pemerintah yang penuh muslihat, korupsi yang membudaya, ketimpangan ekonomi dan sosial, ekspansi dan eksploitasi imperialisme di negara-negara berkembang, dan sebagainya.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah saat ini bangsa Indonesia punya kesungguhan untuk mewujudkan kemerdekaan yang sepenuhnya atau tidak. Detail-detail pemikiran Tan Malaka yang bernada sosialisme dan komunisme mungkin tidak bisa diikuti saat ini, tetapi jiwa pemikirannya bisa kita petik. Menghadapi ketimpangan sosial misalnya, jelas Tan Malaka menginginkan pemihakkan dan perbaikan nasib orang kecil. Sedangkan menghadapi arus kapitalisme dan globalisasi, kita bisa memetik angan-angan Tan Malaka tentang ekonomi yang terencana dan kedaulatan ekonomi bangsa. Dari ekonomi yang terencana, kita bisa mengambil pelajaran bahwa secara jangka panjang pemerintah haruslah berperan lebih besar; bahwa ekonomi tidak bisa diserahkan begitu saja pelaksanaannya pada pasar, karena kepentingan kapitalis dan penguasa pasar hampir selalu bukan kepentingan rakyat kecil. Mengenai globalisasi, pikiran Tan Malaka tentang kedaulatan ekonomi bisa kita petik. Indonesia haruslah memperkuat industri dalam negeri dan membangun perekonomian yang semandiri mungkin. Bukan berarti tidak menjalin perdagangan luar negeri, tetapi barang-barang yang lebih unggul secara ekonomis untuk diproduksi di dalam negeri hendaknya diutamakan untuk diproduksi di dalam negeri. Ukurannya jelas, yaitu di satu sisi, rakyat Indonesia tidak terancam kemerdekaannya dan kemakmurannya. Di sisi lain, bangsa tamu tetap aman menanamkan investasinya dan nyaman dalam menjalin persaudaraan dengan Indonesia. Ide lain dari Tan Malaka yang terkesan sangat sederhana tapi dapat memberi dampak yang besar adalah proteksi pemerintah terhadap industri dalam negeri yang masih muda atau masih bertumbuh, yakni dilindungi dari gempuran produk asing. Jadi, sebenarnya kedaulatan dan kemerdekaan yang dicita-citakan Tan Malaka adalah kedaulatan dan kemerdekaan yang bersifat ke dalam maupun ke luar. Kemerdekaan itu tak lain tak bukan adalah kemerdekaan seratus persen.

G. DAFTAR PUSTAKA

Malaka, Tan, Merdeka 100%: Tiga Percakapan Ekonomi Politik, Bandung: Marjin Kiri, 2005.

Nasbi, Hasan, Filosofi Negara Menurut Tan Malaka, Jakarta: LPPM Tan Malaka, 2004.

Poeze, Harry A, Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1897-1925, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1988.

_____________, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, vol 1, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.

Seri Buku Tempo, Tan Malaka, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010.

Sutrisno, Mudji (ed.), Sejarah Filsafat Nusantara: Alam Pikiran Indonesia, Yogyakarta: Galangpress, 2005.

[1] Hasan Nasbi, Filosofi Negara Menurut Tan Malaka, Jakarta: LPPM Tan Malaka, 2004, hlm. 41.

[2] Hasan Nasbi,. ibid.

[3] Lih. Harry A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1897-1925, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1988, hlm. 24.

[4] Harry A. Poeze, ibid., hlm. 45.

[5] Hasan Nasbi, Op.Cit, hlm. 48.

[6] Hasan Nasbi, ibid.

[7] Harry A. Poeze, Op.Cit, hlm. 164.

[8] Sejak 1922 sampai 1949, Tan menjalani hidupnya di Luar Negeri, dengan bersembunyi dan berpindah-pindah. 13 Penjara pernah dihuni olehnya: 11 Penjara di Jawa (1922, 1946-48), Hongkong (1932), Filipina (1937). Lihat Seri Buku Tempo, Tan Malaka, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010, hlm. 9.

[9] Seri Buku Tempo, ibid., hlm. 3.

[10] Seri Buku Tempo, ibid,. hlm.132.

[11] Harry A. Poeze, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, vol 1, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008, hlm. 190.

[12] Harry A. Poeze, ibid.

[13] Harry A. Poeze, ibid., hlm. 191.

[14] Harry A. Poeze, ibid., hlm. 192.

[15] Harry A. Poeze, ibid., hlm. 192.

[16] Dirangkum dari Tan Malaka, Merdeka 100%: Tiga Percakapan Ekonomi Politik, Bandung: Marjin Kiri, 2005, hlm. 3-41.

[17] Tan Malaka, ibid., 53-55.

[18] Tan Malaka, ibid., 58, 61-62

[19] Tan Malaka, ibid., 70

[20] Tan Malaka, ibid., 79

[21] Tan Malaka, ibid., 84

[22] Tan Malaka, Merdeka 100%, 33-37

[23] Bdk. Sejarah untuk SMP kelas IX, Jakarta: Erlangga, 2006.

[24] Partai Murba adalah partai politik yang berdasarkan sosialisme, didirikan di Yogyakarta pada 7 November 1948. Lih. Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1990, entri: (1) Indonesia (2) Partai Murba

[25] Partai Murba dikenal sebagai partai yang selalu beroposisi pada penyelewengan-penyelewengan terhadap UUD ’45 dan Pancasila. Salah satu hasil oposisi partai ini adalah pembatalan sepihak hasil Konferensi Meja Bundar.

[26] Sutrisno, Mudji (ed.), Sejarah Filsafat Nusantara: Alam Pikiran Indonesia (Yogyakarta: Galangpress, 2005), 17.

[27] Sutrisno, Mudji (ed.), Sejarah Filsafat Nusantara, 17.

[28] Fahsin M. Fa’al, Negara dan Revolusi Sosial. Pokok-pokok Pikiran Tan Malaka, Yogyakarta: Resist Book, 2005, hlm. 145, 147.

Alam Pikiran Indonesia—STF Driyarkara: hasil diskusi kelompok untuk di presentasikan di kelas pada tanggal 28 November 2010… nama anggota kelompok ada di bawah ini

Fransiskus Padji Tukan – 0188403207, Harry Setianto Sunaryo – 0191310108, Jimmi Johannes B. – 0197310109, Rafina Murni Harahap – 0192110108, Riliana Oktavianti – 0192310108, Sebastianus Gaguk – 0183703206

***