Cucuk Espe
Lampung Post, 6 Agu 2011
SEBENARNYA gagasan teater “miskin” bukan hal baru dan pernah melanda Indonesia di tahun 1980-an. Kemiskinan dalam teater pun mengalami ragam makna sehingga menimbulkan implikasi yang berbeda dalam kerja kreatif. Kini wacana teater miskin kembali muncul, apa sebenarnya makna “miskin” di era modern ini?
Gagasan teater miskin (poor theatre) dipopulerkan oleh Jerzy Grotowski. Bersama kelompok Theatre Laboratory, Grotowski melakukan kerja-kerja eksperimental di bidang metode pelatihan aktor atau teknik akting.
Kerisauan Grotowski muncul terlebih ketika di saat itu kehadiran teknologi lewat media film dan televisi yang kemudian juga merambah ke dalam dunia teater, terutama melalui penataan cahaya, penataan musik, juga tata setting, justru menciptakan kemegahan-kemegahan artistik yang berlebihan sehingga penyatuan antara aktor dan penonton dalam sebuah peristiwa teater—yang diyakininya sebagai jantung teater—tidak terjadi secara alami. Nah, Grotowski secara lantang menyebut, inilah awal keruntuhan dunia teater.
Maka melalui kerja-kerja riset artistik yang mendalam ia hendak merevitalisasi kaidah-kaidah dasar teater melalui kekuatan seorang aktor. Bahwa baginya, apa yang paling penting dalam sebuah peristiwa teater, dan yang membuat ia berbeda dengan menonton televisi, adalah pertemuan langsung antara aktor dan penonton.
Ketika pertemuan ini terjadi, seorang aktor melalui media otot-otot wajah dan tubuhnya harus mampu menunjukkan ekspresi kemanusiaannya yang paling dalam. Artinya, bagi Grotowski, mestinya tak ada batas antara aktor sebagai individu dengan penonton yang kolektif. Maka di sanalah proses pembentukan diri keduanya terjadi. Penonton dapat menyerap pesan aktor dengan baik, dan aktor adalah cermin untuk dapat melihat dirinya sendiri.
Saya kira, kata miskin dalam konsep Grotowski jika dimaknai secara lebih luas dan kontekstual, adalah counter terhadap berbagai kemanjaan pekerja teater kita. Jika soal dana yang kerap dikeluhkan (karena teater seolah membutuhkan berbagai perangkat yang mahal), konsep “teater miskin” dapat menjawabnya dengan sangat bijak.
Tentu, sebelumnya harus tertanam sebuah pemahaman, sebagaimana yang diungkapkan Grotowski, teater miskin tidak menjanjikan kepada para aktor kemungkinan sukses dalam satu malam. Teater ini menolak konsepsi borjuis tentang suatu standar hidup. Tetapi mengusulkan penggantian kekayaan material menjadi kekayaan moral sebagai tujuan utama hidup ini.
Kemanjaan Borjuasi
Setelah memahami konsep miskin ala Grotowski, marilah kita melihat kondisi kekinian teater modern kita. Arus besar pragmatisme ternyata telah memberangus hakikat teater sebagai seni pertunjukan dan teater sebagai medium komunikasi intens—tanpa jarak—antara aktor (baca: seniman) dan masyarakatnya. Sekat itu muncul karena watak eksklusivitas yang hadir dalam ranah teater. Sebagai pertunjukan teater—jujur saja—semakin tidak nyaman dinikmati.
Dari sudut pandang proses eksplorasi estetis, keterjarakan dengan penonton adalah sah saja. Tetapi ruang jarak itu, perlahan menjauhkan teater dari publiknya sehingga teater terkesan sebagai tontonan kaum borjuis yang sulit dimengerti. Padahal—mengacu pada konsep miskin—teater selayaknya hadir dengan akrab, dekat, dan mampu melibatkan daya estetis penontonnya. Diakui atau tidak, teater kita memang miskin secara kebendaan, tetapi tidak miskin secara gagasan. Namun, dalam iklim modern–dalam kerja seni—gagasan justru “mengabdi” kepada hal kebendaan. Akhirnya, gagasan yang semestinya luar biasa harus mati gaya di hadapan keterbatasan sarana artistik.
Mau mengakui bahwa modal utama teater modern kita adalah kemiskinan itu sendiri. Dengan mengolah “kepapaan” artistik akan melahirkan cara pemanggungan yang intim dan egaliter. Bukan teater yang manja dan borjuis! Bagaimana?
***
*) Cucuk Espe, Penulis dan sutradara Teater Kopi Hitam Indonesia.