Kurie Suditomo
http://majalah.tempointeraktif.com/
MALAM tidak saja layak dilukiskan dengan hitam. Pelukis Hanafi, 49 tahun, membuat malam dengan warna-warni alamiah: semburat oker dan oranye, hijau lumut, kuning terang, dan tentu saja hitam, putih, dan sekian banyak gradasi abu-abu di tengahnya.
Silakan melangkah ke Galeri Salihara di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Bersiaplah memasuki dunia malam yang abstrak milik Hanafi dengan kanvas-kanvas raksasa. Inilah dunia malam yang sejuk, yang toleran, dari pameran Of Spaces and Sha-dows, yang hadir hingga 26 Maret. Dengan rata-rata ukuran dua kali dua meter, mata kita dimanjakan dengan malam dalam garis dan torehan yang berawal dan berhenti di suatu tempat tanpa kira. Acak, tapi tetap menyimpan harmoni.
Sekali malam menjadi biru, dengan gurat-gurat menebal, menipis. Berkali-kali semburat cat membentuk bidang persegi panjang yang tak rata. Warna merah saga, yang di tangannya bisa menyala-nyala, kali ini jarang muncul. Ia hanya hadir sekali-sekali, seperti bercak darah penghabisan. Sisanya adalah malam yang membuat kita betah kerkelung di dalamnya: gelap, hangat, dan nyaman.
Ada total 24 kanvas yang hadir di sana. Hampir semuanya tanpa judul. Yang ukurannya masif, untuk ukuran tubuh manusia, membuat kita berpikir bagaimana tangan sang perupa bisa menjangkau bagian-bagian yang jauh. Tapi, melihatnya dengan saksama, kita bisa merasakan hadirnya alat bantu: rol untuk melempar warna hingga ke sudut ruang dan garu untuk membuat permukaan cat bertekstur. Tapi juga banyak ruang kosong yang tak tersentuh. “Kanvas melampaui anatomi saya,” kata Hanafi.
Satu-satunya yang berjudul adalah sebuah serial yang dipasang agak tersembunyi di belakang. Berjudul Pa-lestine Series, Hanafi menahbiskannya untuk syuhada yang tewas akibat serangan Israel akhir tahun lalu. Sebagian diberi tanggal, seperti batu nisan: Amjad Umvaithi, Basyari al-Wahsy, Muhammad Jihad Jabir, Yasir Galban, dan lainnya. Nama-nama itu, menurut Hanafi, ia dapatkan dari Internet.
Dan sang perupa tak berhenti pada lukisan. Di galeri, mata kita mudah bertumbuk pada sosok Hanafi bertelanjang dada dari resin. Jumlahnya ada tujuh: satu berjongkok memegang meteran dan enam lainnya berbaring di lantai dalam posisi fetal, menutupi wajahnya dengan bantal. Di atasnya melayang bantal-bantal seperti awan yang menggantung rendah. “Saya buat sendiri dari tanah liat, baru kemudian di-resin,” katanya.
Adakah lukisan tanpa nama, Palestine Series, dan ketujuh Hanafi dari re-sin itu berhubungan? Menurut Hanafi, ada. Benang merahnya adalah malam, momen ketika selubung terungkap dan segala alibi sosial ditinggalkan. Kala malam ia menelusuri ruang dan meng-ukur bayang-bayang. Dalam malam pula tekstur rumput, air kali, dan beba-tuan terasa demikian berbeda. “Rumput yang saya lihat bukan rumput yang kemarin,” katanya.
Jadilah serial lukisan itu berbicara tentang malam dan sosok resin Hanafi yang berjongkok membawa meteran itu untuk mengukur bayang-bayangnya sendiri. Judulnya persis seperti yang ditampakkan: Mengukur Bayang. Sedangkan bantal? Menurut dia, bantal-bantal itu menutup mata manusia, tapi memberikan penglihatan yang lebih luas dari sekadar pengalaman indrawi. Yang ini diberi nama untuk melukiskan kenikmatan yang melampaui itu: Under Pleasure.
l l l
Bila memahami lukisan Hanafi hanya bisa dilakukan oleh masing-masing kepala, lantas pertanyaannya: bagaimana si seniman membuatnya dari awal?
Tak berbeda jauh dari seniman lain, katanya. Melukis bagi Hanafi adalah soal cara pandang. Ia menjawab pertanyaan bagaimana, bukan sekadar apa. Ia tidak ingin menjadikan sesuatu, tapi ia mau menyuguhkan apa yang menjadi. “Ketika cat dan kanvas bertemu, saya memberikan kemungkinan seluas-luasnya ia bisa jadi apa,” katanya.
Hanafi mengatakan ia tak mendesain, mengubah, atau mengoreksi. Dia tak mengenal lukisan gagal. Selesai itu bukan berarti lukisan itu sudah tuntas. Ia mengukur selesai dari kecukup-an sebuah proses. Di dalamnya termasuk intensitas, keberanian, dan ketakterdugaan.
Dalam kerjanya, kata Hanafi, ia hanya mengenal dua rupa bentuk. Yang satu mengganggu dan yang satu membantu. Ia menunjuk lukisannya yang mengambil sosok punggung Bung Karno, yang dipamerkan di tempat yang sama akhir tahun lalu. Di situ, kata dia, Bung Karno menjadi alat bantu untuk menerjemahkan teks yang digariskan kurator. “Kalau tidak membantu, saya kembali ke nonfiguratif,” katanya.
Nah, yang nonfiguratif itulah yang masuk kategori bentuk yang mengganggu. Kurator Enin Supriyanto menjelaskan, justru ciri ini yang tampak pada banyak karya Hanafi yang berhasil. “Kita bisa menelusuri torehan dan guratan garis yang menjelujur perla—han atau melesat seolah mau menyobek kanvas,” tulisnya. Inilah sebuah kondisi keleluasaan dan ketakterdugaan perupanya, meminjam istilah Hanafi yang dipakai Enin, “keriangan mencipta”.
Sebuah keriangan yang panjang, seperti perjalanan hidupnya. Dalam peng-antarnya, Goenawan Mohamad menulis, selama sepuluh tahun Hanafi pernah memproduksi poster dan papan iklan untuk MSA Cargo di Jakarta dan mengerjakan pesanan gambar untuk Matari Advertising hingga 1998. Karyanya pun sempat sering muncul di majalah interior Laras.
Tak lama setelah itu, lukisan Hanafi meledak di pasar. Galeri-galeri berebut memintanya berpameran. Arsitek dan desainer interior ramai-ramai menggunakan karyanya sebagai dekor. Hingga kini, karya Hanafi bisa dijum-pai di resto-resto Ibu Kota. “Sampai pernah ada masa banyak orang menjadi Hanafi wanna-be,” kata arsitek Yori Antar, yang sejak 1990-an sudah tiga kali berkolaborasi dengan Hanafi.
Yori menyebutnya pelukis cepat. Dia sangat cair, mudah menyerap dan membuka diri. Ia pun tak berkeberatan melakukan kolaborasi dengan pihak lain. Kecairannya itulah yang justru membuatnya tak berhenti memperkaya diri. “Kolaborasi dengan saya, sepertinya ia justru mengasah mata arsiteknya,” kata Yori. Bisa jadi, dengan alasan yang sama pula Hanafi kini membuat instalasi untuk mendampingi lukisan-lukisannya. Selain dengan arsitek, Hasif Amini menyebutkan, Hanafi pernah berkolaborasi dengan penari, pemusik, penyair, aktor, dan fotografer.
Saat datang ke studio Hanafi di Sa-wangan, Goenawan menyaksikan bagaimana proses “keriangan mencipta”- Hanafi: mengenakan celana pendek dan bertelanjang dada, ia berdiri di hadapan kanvas besar. Di kanannya ada bak berisi akrilik, cat yang siap dipakai. Bersiap pula kuas, roler, garu, sarung tangan, dan pisau congkel. Seje-nak ia membungkuk dan lekas berdiri, menyapukan kuasnya ke kanvas, ke kanan, naik atau turun. Dalam tujuh menit sapuan-sapuan besar ia tuntaskan, dan setelah sepuluh menit berikutnya, ia berhenti sama sekali.
Begitulah Hanafi melukis malam.
23 Maret 2009