BOLONG DAN ARYO SUSOGOL

HL Renjis Magalah

Daunan desa tampak mengering menjelmakan musim waktu itu. Penduduk desa berbondong membawa ratusan tampah tempat sajian tradisi Slametan turun-temurun sejak dulu jaman nenek moyang desa Pucangro meminta perlindungan dan berkah dari yang maha kuasa. Tabuh suara kentongan dan bedug ukuran 80 centimeter beriringan menghidupkan suasana waktu upacara Slametan. Semua hewan bangun dari tidur siangnya dan terdiam dari aktivitas mereka. Lamongan adalah satu dari sekian banyak kabupaten di Indonesia yang hidup dengan puluhan kearifan. Kepiting raksasa, Makam luhur, Tari-tarian, Sedekah bumi sampai lautan bening menghiasi kota.

Siapa sangka, sebuah desa kecil yang jauh dari keramaian itu berisi sebuah misteri dan kebanggaan besar tentang seorang sosok Sogol nama panggilan dari Aryo Susogol.
“Injing mbah” sapa Abas kepada Mbah Sogol dengan bahasa Jawa sambil berlaku sopan dan juga santun sebagaimana penduduk di kabupaten Lamongan bersikap rendah kepada yang lebih tua.

“Kira-kira kapan ya sesepuh kita yang kaya itu bisa melihatkan giginya pada kita?”
“Mungkin kalau dia sudah tidak jadi Kades No” cakap Abas dan Parmono pemuda desa Pucangro. Sejak menjadi Kepala Desa Sogol terkenal sebagai sosok wibawa, rajin dan pendiam. Sampai sepanjang jabatan ketika menginjak 15 tahun menjadi kepala desa. Setiap orang masih tetap menghormatinya.

Kampung Pucangro acapkali membicarakan Mbah Sogol yang tidak lain adalah tentang uang melimpah ruah milikinya. Uang itu adalah hasil ketekunannya sebagai tenaga ahli dalam bidang pemimpin ritualan doa. Kemampuannya yang sangat tersohor, bukan hanya di daerah kecamatan Kalitengah atau di desa Pucangro saja, bahkan di dunia internasional nama Sogol sudah sangat dikenal dengan berbagai penghargaan mengijapkan doa dalam setiap upacara selamatan lintas negara.

Mbah Sogol memiliki pengalaman yang luas. Konon, orang-orang menganggapnya memiliki ilmu tinggi. Setiap doa yang telah dipimpin olehnya di manapun tempat slametan digelar pasti akan membuahkan hasil yang luar biasa, mulai dari kerezekian, minta keselamatan, sedekah bumi sampai meminta anak. Sebagian besar para peserta yang mengikuti slametan pasti pulang dengan membuahkan hasil. Mbah Sogol tidak pernah mengganti sistem dan metode provesinya dari metode A ke metode B sampai ke metode Z dan kembali ke metode A lagi. Mbah Sogol tidak ingin terlalu banyak menggunakan model yang menurutnya hanya memelintir otak.

Kejadian pada usia muda membuat mbah So berubah 120?. Bayangan tentang kisah cinta antara dia dengan Surti seorang bunga desa di Pucangro membuatnya seakan hati tersayat-sayat tak berwujud. Itulah yang membuat senyum mbah So sangat mahal untuk keluar.

“ So ke mana?” sedikit pun tidak ada kata yang keluar untuk membalas sapaan Brahim salah satu saingannya dulu ketika memperebutkan bunga desa. Surti dulu memang cinta mati kepada Sogol, begitu pula sebaliknya. Tetapi karena dulu Sogol adalah anak yang penurut pada orang tua Surti pun tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkan sehingga surti memutuskan pergi dan menikah dengan Brahim.

Setiap perjalanan jarum Jam sesekali dering bel terdengar di rumah mbah So sampai-sampai tetangga terdekat menghafal kejadian itu, kejadian yang merupakan pemandangan jelas, sebuah rumah orang terkaya di desa Pucangro. Gemanya seakan memenuhi seisi desa sebagai tanda akan adaya tamu yang datang mengundangnya dalam acara selamatan ataupun hanya mengijapkan doa sederhana.

“Permisi mbah… saya mengundang mbah untuk memimpin doa dalam selamatan di desa kami”
“ya…”

Sahut mbah So menjawab sapaan salah satu dari dua orang utusan desa tetangga meminta bantuan Mbah So untuk memimpin ritual doa Sedekah bumi. Hanya beberapa kata yang keluar dari mulut tokoh bengis itu. Dalam suasana apapun mbah So selalu bersikap serius ketika berada di kampung tidak perduli itu orang lain atau keluarga sendiri sekalipun. Keterpaksaan menikahi Parmi pilihan orang tuannya adalah penyebab utamanya. Kejadian seperti itu sangat membuat kesal keluarga dan anak-anak mbah So.

Sampai suatu ketika saat mbah So pergi ke luar pulau,
“Bapak-bapak warga desa mari datang ke pendopo Sogol” diam-diam keluarga mbah So mengadakan sayembara untuk merubah raut mbah So yang senyumnya terkunci rapat-rapat tersebut.

“Bagi siapa pun yang berhasil menyembukan bapak kami uang 1 milyar berhak menjadi miliknya”
begitulah sayembara yang diadakan diam-diam oleh keluarga Sogol selama 14 hari Sogol pergi ke luar pulau. Suasana di desa Pucangro terasa hening dan sepi ketika anak-anak desa terlelap tidur waktu siang maupun malam hari. Apalagi jika tidak ada Soni salah satu anak desa Pucangro yang sangat lugu. Soni menjadi bahan penimbul tawa di desa itu. Sampai-sampai tidak sedikit pun waktu tersisa baginya untuk menahan godaan teman-teman sepermainannya.

“Long… kemari!, belikan aku roti”
“oh…ya, mana uangnya?”
“ini”

Sambil mengambil uang yang dilemparkan Doni kepadanya. Soni bergumam dalam hati. Soni berharap agar teman-temannya ramah dengannya setelah dia menuruti kemauan mereka. Maklumlah, memang karena Soni tidak pernah sedikitpun mengenyam pendidikan formal sehingga jarang dia mempunyai teman, begitu juga beberapa pelajaran tentang kehidupan. Orang-orang desa setempat sering memanggilnya dengan sebutan Bolong, Julukan itu diberikan sebab Soni sangat sering mEmakai pakaian yang serba compang-camping dan banyak lobang di sekitarnya.

Langkah terus mengikuti kompas batin yang terus menunjukkan perjalanan Bolong. Senja di awan sudah mulai menunjukkan mukanya. Tanpa sengaja Bolong melihat beberapa orang berkumpul mendaftarkan diri untuk mengiuti sayembara,
“Pak-pak saya Soni ingin mendaftar” Bolong pun mendekat sambil berteriak meskipun orang-orang dengan wajah kesal meremehkan Bolong yang lugu itu.

“ya… silahkan” keluarga sogol mempersilahkan bagi siapa saja yang ingin ikut sayembara.

Tiga hari telah berlalu setelah sogol datang dari luar pulau tidak satu pun orang yang bisa menyelesaikan sayembara itu. di tengah perjalanan dua orang bertabrakan dan saling terpental.

“Hei dasar bocah gendeng”
Bolong mendapatkan semprotan kata dari seorang kakek tua yang rapi dengan pakaian Jawanya.

“Sudah kakek-kakek kok suka marah”
“dasar bocah edan anak siapa kamu? Tidak sopan dengan orang tua”
“kakek kok tidak menasehati saya, mengajari toh, atau bertanya keadaan saya kok malah saya dimarahi. Siapa yang edan kek?”

Selama Bolong tidak melakukan kesalahan Bolong sangat berani walau dengan seorang kakek tua sekalipun. Duri berton-ton seakan jatuh menimpa kepala Bolong saat itu. Sedikit toleransi Mbah so menyapa Bolong
“Nama kamu siapa le…?”
”Sony mbah” jawab Soni agak sombong.

Keduanya kemudian berkenalan saling berjabat tangan untuk menyepakati damai. Melihat sikap mbah So yang rama Soni pun membalas dengan keramahan. Sifat seorang anak lugu desa Pucangro yang belum ada duanya. Keesokan harinya ditengah perjalanan menuju sawah mbah So bertemu dengan Soni kembali.

“Lo… Mbah Sogol?”
”Iyo le…” menjabat tangan mbah So, sambil tersenyum Soni merasa suasana nampak membaik. Jauh berbeda dari suasana kemarin ketika mereka saling bertabrakan meskipun tidak sedikitpun senyum keluar dari raut Sogol.

“Mbah saya akan melihat orang bermain musik mbah nanti malam!”
”Musik le…!”

Sahut mbah So dengan nada tinggi bersentak.
“Aku dulu juga suka lihat le… ketika masih muda dulu, malah mbah suka mbeso”
“mbeso itu apa mbah?”
sebuah pertanyaan yang muncul tanpa ada rasa gemetar dan malu sepontan keluar dari mulut Bolong. Memang kebiasaan orang-orang tua di kabupaten Lamongan gemar terhadap wayang dan gendhing-gendhing Jawa.

“besok kalau sudah besar mbah beri tahu”
di bawah pohon yang rindang samping pos kampling RT 5 sedikit demi sedikit mbah Sogol kemudian menceritakan kepada Bolong tentang masa mudanya dulu, kehidupan sederhana dan kenangan-kenangan dengan berbagai jerih payah kehidupannya termasuk masa ketika bagaimana anak muda jaman dulu mencari hiburan.

“Memang apa nama pertunjukan yang akan kamu lihat le…?” mbah so mendesak penasaran kepada Bolong ingin tahu nama pertunjukan yang akan dilihat karena sudah lama mbah So tidak mbeso untuk sesekali mengenang masa lalunya, apalagi melihat kehidupannya yang sudah sangat mapan dengan uang milyaran usaha ternak sapi selain profesinya sebagai tukang pemimpin ritual slametan.

“Ada sindennya le?”
“apa lagi sinden itu mbah?”
“ ya yang nyanyi itu lo le…”
“Oh…ada mbah!”.

Matahari memerah seakan mau pecah dan waktu sudah menjelang malam. Mbah So segera bergegas mengemasi semua persiapan untuk menghadiri pertunjukan yang diceritakan oleh Bolong. Mbah So menyetujui ajakan Bolong dan sangat bersemangat untuk pergi menuju pentas tersebut, meski jarak dari tempat tinggal mereka ke tempat pertunjukan lumayan jauh. Setidaknya perjaanan itu bisa membuat kaki kesemutan berhari-hari apalagi untuk kakek tua seumuran mbah So.

Kedua kaki di selonjorkan kemudian mbah So membuka tutup botol dan dituangkannya minyak tanah ke kedua kakinya sambil kedua tangan meratakan ke seluruh bagian. Perjalanan yang panjang membutuhkan persiapan prima menurut mbah So. Setepak demi setapak keduanya mulai merambat. Kemudian,
“Apakah itu tempat yang kamu maksud Son?”
Di depan terlihat bayak orang.
“Ching!”

Tanpa tersadar, memang kebiasaan bolong yang selalu sepontan tanpa control. Suatu benda terlihat menempel di kerah baju Bolong setelah Bolong bersin. Melihat kejadian itu pikiran mbah So seolah kurang ramah dan kesal dengan Bolong, ditambah lagi ketika jarak sekitar 100 m dari tempat mereka berdua sampai ke tempat pertunjukan terlihat ratusan orang berdiri, di antaranya bergoyang-goyang seakan girang hilang kesadaran layaknya seperti melihat terminal orang-orang setres.

“kenapa mbah?”
“apa-apaan itu? memangnya mbah sudah gak waras melihat pertunjukan ngawur itu”
ribuan pertannyaan timbul dalam hati Bolong melihat Mbah yang berjalan dengan hati tenang dari rumah hingga tujuan. Tetapi, tiba-tiba wajahnya mengusut sembari mengeluarkan pandangan sinis kepada Bolong.

“Embah ayo ke depan Mbah”
berkata Bolong menghibur Mbah So yang berwajah penuh dengan pertanyaan.
Gunung-gunung mulai menumpahkan lahar, langit berubah mendung, ombak dan lahar meneriakkan kemarahan ketika kedua mata mbah So melihat hanya tampak pertunjukan Orkes Amatiran di depannya saat itu.

Dengan ketekatan bulat saat itu Bolong terus menggelandang tangan dan sarung yang mengalung di leher Embah. Setapak dua tapak sampai sekitar 100 meter lagi sebelah Orkes amatiran berbelakangan dari tempat orang-orang asik berjoged, ternyata tampak sebuah pagelaran wayang kulit lengkap dengan peralatannya dan jajaran sinden yang bermacam-macam. Dari sinden asli pengiring berjalannya permainan wayang sampai sinden sewaan dari pemain orkes. Setelah itu wajah mbah So berubah dengan kesempurnaannya.

“weleh-weleh…”
sambil mengibas-ibaskan sarung dan menggerakkan kedua tangan serta kedua kaki menginjak-injak tanah mbah So merasa kegirangan merasakan kedatangan masa muda yang telah mengucilkannya kurang lebih 40 tahun lamanya. Tapi, tepat di samping Mbah So
” KRAK”

Bolong tiba-tiba meloncat menghindari Tai kerbau. Karena lapangan tempat pertunjukan wayang kulit itu digelar, hampir setiap harinya menjadi tempat para kambing, sapi dan kerbau bermain.

Kemudian Mbah So tertawa tanpa henti sekitar 10 menit lebih karena melihat celana pendek Bolong sobek setelah tragedi tai kerbau itu. Sungguh kasihan nsaib Bolong.
Sambil mencari tempat duduk Mban So merayu Bolong dan perlahan menceritakan tentang lakon wayang pada pertunjukan itu kepada Bolong.

Bukit-bukit luluh dan pepohonan tampak menunjukkan semi. Dengan penuh penyesalan dan terima kasih, Mbah Sogol sadar dengan perilaku angkuhnya pada setiap orang, apalagi untuk menyapa orang-orang di sekitarnya Sogol tidak menutup diri lagi. Masyarakat Pucangro pun kemudian sangat ramah kepada Susogol melebihi hari-hari sebelumnya.

Sungguh masyarakat dan keluarga Sogol tidak menduga kalau seorang Bolong, bocah kecil desa yang lugu itu bisa mencengangkan semua penduduk dan dunia. Senyum Mbah So yang terkenal sangat mahal kemunculannya. Ditambah lagi sikapnya yang bodoh dan lugu itu berhasil menaklukkan kekerasan hati Sogol dan akhirnya dia mendapatkan uang milyaran. Sejak saat itu Bolong diangkat oleh Sogol sebagai Mitra pembantu dalam setiap jadwal selametan.

_____________
HL Renjis Magalah, bernama asli Heri Listianto lahir 9 November 1989 di Surabaya, pendidikan: MI Islam Pucangro, MTs “Putra-Putri” Simo, MA Negeri Lamongan, kuliah di Unitomo Surabaya. Karya-karyanya pernah termuat di AKAR, Tabloit Telunjuk, Radar Bojonegoro, dst. Kumpulan puisi bersamanya: Mozaik Pinggir Jalan, Absurditas Rindu, Khianat Waktu (antologi penyair Jawa Timur), Jual Beli Bibir, Enjelai. Antologi Puisi tunggalnya Embun Pesisir Laut Utara. Anggota Forum Sastra Lamongan [FSL], Komunitas Mahasiswa Bahasa Unitomo [Komba Unitomo], dan Coretan Pena.